Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 7
Jarum jam sudah lewat dua belas, namun belum ada tanda-tanda kehadiran Raka. Aruna duduk di ruang tengah, sesekali melirik ke arah jendela. Aroma masakan yang dimasak Bu Marni menggoda indra penciumannya, tapi tak sebanding dengan gelisah yang bergolak di hatinya. Ia sempat berpikir untuk menelpon, sekadar menanyakan kabar, namun jemarinya tak kunjung berani menyentuh layar ponsel.
Biar saja, batinnya. Aku ingin tahu, apakah ia orang yang bisa dipegang kata-katanya.
Dan seperti jawaban dari semesta, suara mesin mobil terdengar mendekat di halaman depan. Aruna segera berdiri, menahan napas sejenak. Dari balik tirai, terlihat mobil jeep hitam Raka perlahan memasuki pekarangan. Jantung Aruna berdetak lebih cepat, dan senyuman kecil tak tertahan muncul di sudut bibirnya.
Kenapa aku begini? pikirnya. Hey, Aruna... kamu ini perempuan dewasa. Sudah kepala empat. Bukan anak remaja yang sedang belajar mengenal cinta!
Tapi sungguh, perasaan itu sulit ia tolak. Ada geletar hangat di dada. Ada sesuatu yang membuatnya antusias, seolah kehadiran Raka bukan sekadar kedatangan seorang rekan kerja, melainkan seseorang yang lebih berarti dari itu meski ia sendiri belum tahu seperti apa.
Aruna membuka pintu dengan senyum yang sulit disembunyikan, seolah tak menyangka Raka sudah berdiri di depannya. "Lho, kamu sudah datang? Aku kira kamu masih di lapangan."
Raka membalas dengan senyum tenang khasnya. “Saya nggak enak kalau telat. Janji makan siang, ya harus tepat waktu.”
Seketika, dada Aruna terasa hangat. Bukan karena ucapannya, tapi karena kesungguhan yang jarang ia dapat dari seorang pria apalagi setelah bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang pernikahan yang hambar.
Mereka duduk di ruang tamu, saling bertukar cerita sambil menunggu Bu Marni menyiapkan makan siang di meja makan. Suasana terasa ringan namun akrab. Aruna tertawa kecil mendengar cerita Raka soal pengalaman terkena lintah saat mendaki hutan perbatasan. Raka pun tersenyum melihat Aruna yang tak hanya pintar bicara soal kebun, tapi juga menyenangkan diajak mengobrol.
Namun ketenangan itu mendadak pecah.
Ponsel Raka yang tergeletak di meja bergetar, nadanya khas untuk panggilan masuk. Mereka berdua secara refleks menoleh. Di layar muncul foto seorang perempuan muda, sangat cantik dengan rambut panjang dan senyum manis, menyilaukan.
Nama panggilan yang tertulis di layar membuat Aruna tercekat: My future.
Ia segera menunduk, pura-pura tak melihat, tapi matanya sempat menangkap jelas foto itu. Jantungnya berdetak lebih kencang, bukan karena cemburu, mungkin juga bukan karena terkejut ia sendiri tak yakin.
Raka terdiam sebentar, lalu dengan wajah datar ia mengambil ponselnya. “Maaf, saya permisi sebentar.”
Ia melangkah ke teras. Suaranya memang pelan, tapi suara di seberang terdengar cukup jelas dari balik kaca pintu.
“Raka! Kamu ke mana aja sih? Udah dua hari nggak ada kabar. Jadi nggak sih lihat-lihat venue tunangan? Jangan bilang kamu lupa!” Nada perempuan itu terdengar kecewa dan marah.
Aruna tetap di tempatnya, tapi pikirannya melayang jauh. Tiba-tiba ruang tamu itu terasa sepi. Suara sendok Bu Marni yang beradu dengan piring di dapur justru terdengar seperti gema. Ia menatap kosong ke arah pintu, lalu beranjak perlahan ke dapur, pura-pura membantu.
Beberapa menit kemudian, raka kembali masuk ke ruang tamu. Langkah kakinya terdengar mantap, tapi sorot matanya sedikit berubah. Tak seceria tadi, tak setenang biasanya. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Aruna yang memperhatikannya dari balik meja bar segera berdiri dan tersenyum, mencoba mencairkan suasana.
"Ayo kita makan dulu sebelum makanannya dingin," ajaknya ringan, sembari memberi isyarat ke arah ruang makan.
Raka mengangguk kecil. "Terima kasih, Ibu Aruna. Saya menghargai jamuan ini," ucapnya sopan, tapi tetap dengan raut wajah yang seperti sedang menimbang sesuatu dalam benaknya.
Mereka duduk berhadapan di meja makan yang tertata rapi. Aroma masakan yang menggoda tercium hangat di udara, namun Aruna bisa merasakan bahwa perhatian pria di depannya tidak sepenuhnya hadir di ruangan itu.
Sambil menuangkan air ke gelas Raka, Aruna mencoba membuka percakapan. “Kamu kelihatan sedang memikirkan sesuatu, Raka. Ada yang mengganggu?”
Raka menoleh padanya sejenak. Bibirnya tersenyum, seperti sedang menahan kalimat yang terlalu panjang untuk diucapkan sekaligus. Tapi akhirnya ia menjawab, pelan, “Tadi itu... tunangan saya. Sepertinya dia sedang tidak sabar dengan banyak hal.”
Aruna terdiam sejenak. Hatinya tercekat, tapi ia tetap menampilkan senyum terbaiknya. “Oh, begitu... memang, persiapan acara seperti itu kadang menyita emosi.”
“Iya,” sahut Raka singkat. Ia menatap piringnya sejenak sebelum akhirnya mulai mengambil sendok. “Kadang saya bertanya-tanya... apa saya sudah membuat keputusan yang tepat.”
Kalimat itu membuat tangan Aruna terhenti sejenak di atas meja. Namun ia tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk pelan dan membiarkan suasana makan siang itu mengalir dengan tenang, sambil dalam hatinya bertanya apa yang sebenarnya sedang bergemuruh di dalam dada pria itu?
Walaupun hatinya sedikit tercekat, Aruna tetap berusaha tenang. Ia menelan ludah perlahan, menjaga agar raut wajahnya tidak berubah. Ia tersenyum tipis, mencoba menutup gejolak yang diam-diam meletup dalam dadanya.
“Oh... jadi yang menelpon tadi itu tunanganmu ya?” tanyanya ringan, walau suaranya terdengar sedikit lebih pelan dari biasanya.
Raka menggeleng pelan. “Bukan tunangan... masih calon,” jawabnya, disertai tarikan napas yang dalam. “Tapi, ya... arahnya memang ke sana.”
Aruna mengangguk kecil, mencoba tetap rasional. Tapi di dalam dirinya, sesuatu seperti retak. Ia tidak tahu pasti sejak kapan pria itu mulai mencuri perhatiannya dan kini, tahu bahwa Raka sedang menuju ke jenjang yang lebih serius dengan wanita lain, rasanya seperti ditarik paksa kembali ke bumi.
Ia memilih diam sejenak, membiarkan hening menggantung di antara mereka, sampai akhirnya Raka kembali bersuara.
“Sebenarnya... ada hal yang ingin aku jujur.” Suaranya agak pelan, seolah sedang menyusun kata-kata agar tidak salah arah. “Semakin dekat dengan rencana pertunangan itu... aku justru semakin melihat sisi lain dari Rita. Bukan cuma soal emosi atau sikapnya yang berubah... tapi lebih dari itu, aku mulai bertanya pada diriku sendiri, apakah ini benar-benar yang aku mau?”
Aruna menoleh perlahan, memandangnya dengan sorot penuh perhatian.
“Aku sengaja mengulur waktu,” lanjut Raka, menatap tangannya sendiri yang menggenggam sendok. “Bukan karena aku ragu menikah, tapi karena aku ingin memastikan... bahwa aku akan menjalani hidup dengan orang yang tepat. Bukan sekadar karena sudah direncanakan. Dan makin ke sini, aku merasa... Rita bukan orang itu.”
Aruna menunduk perlahan. Ada desir hangat sekaligus getir yang melintas di dadanya. Ia tak tahu apa artinya semua ini bagi mereka berdua, tapi satu hal pasti kalimat itu membuka celah—celah yang tak pernah ia sangka akan hadir secepat ini.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor