Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 7 - Azura
Sementara itu...
"Kurang ajar betul gadis itu!," teriak Rita sambil menepak meja. "Sudah ku rawat sejak kecil, ujung-ujungnya malah bikin malu keluarga ini!," lanjutnya sambil mondar-mandir di tengah ruangan dengan wajah yang merah padam.
Pesta pernikahan yang semula dirancang mewah dengan tamu-tamu kehormatan dan wartawan kini tinggal kenangan.
Balon-balon dekorasi masih menempel di langit-langit, namun ruang tamu kini dipenuhi raut kecewa… dan keserakahan.
"Memang dasar, Bu. Pantas aja selama ini hidupnya penuh air mata. Bikin acara penting kayak gini pun ditinggal kabur. Gak tau diri!," timpal Nadine yang ikut mendengus sebal sambil mengangkat alisnya.
"Kamu lihat sendiri kan? Wartawan tanya-tanya pengantinnya mana, keluarganya mana. Rasanya mau kubakar saja semua tenda di sana!," teriak Rita lagi sambil menunjuk nunjuk ke sembarang arah.
"Cuma untung saja, ayah bisa ngomong dikit-dikit buat nutupin semua. Tapi tetap aja! Rusak semuanya!," balas Nadine.
Adapun di sudut ruangan, Wirawan hanya duduk di sofa tua, menyilangkan kakinya sambil menatap kosong ke arah televisi yang tidak menyala.
Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Namun, kegaduhan itu berhenti seketika...
...saat seorang pria tua salah satu asisten Adrian masuk dengan membawa koper besar dan meletakkannya di meja.
“Ini titipan dari Tuan Adrian. Untuk keluarga pengantin perempuan… sesuai kesepakatan,” ucapnya datar, lalu pergi.
Sebelum asisten pak Adrian benar-benar pergi, Rita dan Nadine langsung memburu koper itu dengan mata yang rakus.
Klik!
Koper pun langsung dibuka sehingga membuat mata Rita dan Nadine langsung membelalak.
WOW!!!
Puluhan bundel uang rapi berjejer di dalamnya. Tidak hanya itu, sebuah amplop besar berisi dokumen properti dan transfer tambahan senilai satu miliar rupiah ikut disertakan.
"Oh Tuhan... ini... ini nyata?! Satu miliar lebih?!," pekik Nadine.
Rita semakin mendekat pada tumpukan uang itu dengan mata yang berkilat kegirangan. Lalu, ia mengelus-elus bundelan uang itu seperti sedang menyentuh anaknya sendiri.
"Ini… ini luar biasa…" desisnya pelan, lalu tawanya meledak. "HA HA HA HA HA! INI ADALAH AWAL KESUKSESAN KITA."
Kemudian Rita berdiri tegak, lalu mengangkat tangannya seolah memberi pidato.
"Lihat sendiri, Din! Hanya dengan menikahkan si tidak berguna itu, kita bisa hidup tujuh turunan! Rumah baru, mobil, liburan ke luar negeri… semua bisa kita beli! Hahaha!."
"Azura? Siapa Azura? Yang penting uangnya sudah masuk. Bye, pengantin boneka! Hahaha!," balas Nadine ikut bersorak, sambil memeluk bundel uang dan menari-nari kecil di tempat.
Di sisi lain, Wirawan masih diam di kursinya.
Wajahnya datar. Tapi dalam diamnya, matanya menyiratkan satu hal, kehampaan.
Bukan karena menyesal. Karena sejak lama ia sudah terbiasa kehilangan suara. Namun entah kenapa… malam ini, suara tawa Rita tidak lagi menyentuh hatinya.
Wirawan hanya menatap uang itu sebentar, menghela napas, lalu memalingkan wajahnya ke luar jendela.
**
"Tapi ingat, sekarang kamu sudah punya suami. Selain menjaga diri kamu juga harus menjaga suamimu."
Saat duduk dan masih dalam ketakutan, Azura teringat pesan mertuanya tadi siang.
"Apa yang aku lakukan? Meski pernikahan ini terpaksa, tapi dia suamiku sekarang. Apa aku harus takut seperti ini, atau aku harus berani menghadapinya?," pikir Azura. "Kalau aku memang sudah menjadi istrinya… aku harus bisa menghadapi ini. Setidaknya... aku harus mencoba."
Dengan sedikit ragu dan meyakinkan diri, ia membuka pintu kamar, lalu melangkah menuruni anak tangga dengan perlahan.
Sejauh mata memandang, suasana rumah begitu berbeda dari sebelumnya. Cahaya remang dari lampu gantung membuat bayangan-bayangan yang menakutkan di dinding.
Bau asap dan debu tercium dari arah bawah. Suara pecahan kaca yang diinjak pun masih terdengar sayup.
Azura mulai menuruni anak tangga. Langkah demi langkah, hingga akhirnya matanya menangkap pemandangan yang memilukan...
"Ya Tuhan..."
Ruang tengah seperti zona perang. Vas bunga pecah, kursi terbalik, bingkai foto berserakan, bahkan tirai yang menjuntai sudah robek sebagian.
Tapi yang paling mencolok adalah Rangga yang duduk di sudut ruangan, meringkuk dengan tubuh gemetar, memeluk lututnya sendiri sambil terus meracau…
"Ibu… jangan tinggalkan aku… jangan biarkan mereka menyuntikku… aku gak suka... gak suka lampu putih itu…"
Azura terpaku. Ia terenyuh. Ini… bukan sekadar amukan. Ini luka. Luka yang tidak semua orang bisa lihat. Seperti lukanya selama ini yang tidak di ketahui semua orang.
Azura melanjutkan langkahnya dan mencoba mendekati Rangga dengan perlahan.
Sementara para pelayan yang tadi mencoba menenangkan Rangga hanya berdiri tak jauh, sambil menatap Azura dan bertanya-tanya.
“Jangan mendekat, Nona…” lirih salah satu dari mereka sambil memberi isyarat,
Namun Azura hanya menggeleng pelan dan terus melangkah. Ia tahu risikonya. Tapi kata hatinya seolah mengalahkan rasa takutnya.
“Rangga…” panggilnya lembut.
Mendengar suara Azura, Rangga pun langsung mendongak dengan sorot mata yang tajam dan penuh kecurigaan. Seperti anak kecil yang ketakutan dan siap menyerang siapa saja.
"JANGAN DEKAT-DEKAT!! KAU MAU SUNTIK AKU JUGA YA?! KAU BUKAN IBUKU!!," teriak Rangga.
Reflek Azura menghentikan langkahnya. Lalu menunduk sejenak karena jantungnya berdetak tak karuan, namun ia kembali mengangkat wajahnya.
“Aku bukan ibumu… tapi aku bukan musuhmu, Rangga.”
Rangga memicingkan matanya. Lalu tangannya meraba-raba lantai seolah mencari sesuatu, mungkin benda untuk mempertahankan diri.
Azura melihat itu dan segera berkata, “Aku hanya ingin duduk di sini… bukan untuk menyakitimu.”
Dengan sangat perlahan, Azura duduk di lantai namun masih berjarak beberapa meter darinya. Lalu ia mencoba berbicara dengan nada selembut mungkin.
“Aku tahu kau tidak mengenalku. Aku juga... belum mengenalmu. Tapi... mulai hari ini, kita tinggal di rumah yang sama. Jadi setidaknya… izinkan aku mencoba mengenalmu," tutur Azura.
Seketika Rangga diam. Napasnya tersengal, seperti anak kecil yang baru selesai menangis. Matanya masih penuh luka dan trauma. Tapi untuk pertama kalinya… ia tidak berteriak.
Sedangkan Azura tetap di posisinya dan menunggu. Seolah menunggu lampu kecil itu menyala dalam gelapnya dunia Rangga.
“Aku lapar…,” ucap Azura pelan, yang mencoba membuka percakapan.
Rangga menatapnya. Tidak berkata apa-apa, tapi bola matanya mulai tenang. Sorotnya tidak semenakutkan tadi. Ia seperti kebingungan… dan ragu-ragu.
“Kalau kau juga lapar… mungkin kita bisa makan bersama. Hanya kita. Tanpa siapa pun menyuntikmu atau memaksamu,” lanjut Azura.
Beberapa pelayan saling pandang, seakan tak percaya. Seumur hidup mereka melayani keluarga itu, belum pernah ada yang berani berbicara seperti itu pada Rangga.
Rangga perlahan menunduk lagi dengan mulutnya yang terus komat-kamit tak jelas. Tapi saat Azura berdiri perlahan dan mengulurkan tangan dari kejauhan, ia tidak menolak.
Rangga tidak menjabat tangan Azura … tapi ia juga tidak mengamuk.
Azura pun hanya tersenyum tipis, dan berkata, “Tidak apa-apa kalau belum bisa percaya. Tapi aku akan tetap ada di sini.”
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong