Selama lima tahun pernikahan, Niken dan Damar tampak seperti pasangan sempurna di mata semua orang. Di balik senyum yang mereka pamerkan, ada luka yang mereka sembunyikan—ketidakmampuan untuk memiliki anak. Niken tetap bertahan, meski setiap bisikan tajam dari keluarga mertua dan orang sekitar menusuk hatinya.
Hingga badai besar datang menghantam. Seorang wanita bernama Tania, dengan perut yang mulai membuncit, muncul di depan rumah mereka membawa kabar yang mengguncang, dia adalah selingkuhan Damar dan sedang mengandung darah dagingnya. Dunia Niken seketika runtuh. Suami yang selama ini ia percayai sepenuh hati ternyata menusuknya dari belakang.
Terseret rasa malu dan hancur, Niken tetap berdiri tegak. Demi menjaga nama baik Damar dan keluarganya, ia dengan pahit mengizinkan Damar menikahi Tania secara siri. Tapi ketegarannya hanya bertahan sebentar. Saat rasa sakit itu tak tertahankan lagi, Niken mengambil keputusan yang mengguncang. Ia memutuskan untuk bercerai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoungLady, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
☀️☀️☀️
“Lihat, Niken, itu bukannya Damar?” bisik Fayola sambil menunjuk ke suatu arah.
Niken menghentikan langkahnya sejenak, matanya mengikuti arah tunjuk sahabatnya. Tepat di salah satu sudut pusat perbelanjaan mewah itu, tampak Damar sibuk melayani pelanggan di sebuah stand minuman. Tangannya cekatan meracik jus buah, bubble tea, dan berbagai minuman segar lain, sementara wajahnya tetap ramah, meski dikerubuti para pembeli yang mayoritas perempuan muda.
“Apa yang mantan suamimu lakukan di sini, Niken?” bisik Fayola sambil melirik geli.
Niken mengangkat bahu, sebuah senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Dia sedang membangun usahanya sendiri. Memutar harta hasil pembagian cerai agar bisa beranak pinak," celoteh Niken sekenanya.
Fayola mengangguk pelan. “Aku harus akui, dia gigih dan pandai meracik aneka jenis minuman. Aku rasa, dia bisa sukses dalam waktu cepat.”
Niken terkekeh pelan, memutar matanya. “Iya, dia memang bisa saja sukses. Tapi itu kalau Tania bisa menjadi istri yang bisa diandalkan. Kau pasti tahu maksudku, kan?”
Fayola tertawa geli. “Tentu saja aku tahu. Maksudmu, kalau saja Tania tidak cuma jadi beban dan bisa bekerja sama dengan Damar.” Fayola melempar pandangan ke arah Tania yang sedang berdiri di samping Damar dengan wajah cemberut.
Mereka berdua tertawa kecil, lalu melanjutkan langkah mereka menuju butik favorit. Di tangan masing-masing sudah ada beberapa kantong belanja berisi tas dan sepatu branded. Niken terlihat anggun dengan blouse sutra warna krem dan rok span hitam, sementara Fayola tampil modis dengan jumpsuit hijau zamrud.
Begitu keluar dari butik, keduanya sengaja memperlambat langkah, berjalan angkuh melewati stand minuman milik Damar. Fayola bahkan sedikit membenarkan rambutnya, tersenyum manis saat tatapan Tania menangkap mereka.
Di balik stand, Tania berdiri sambil memegang blender jus buah. Wajahnya cemberut, jelas terlihat kesal karena Damar dikerubuti para pembeli, terutama para wanita yang sengaja menggoda dengan candaan manis. Tatapan matanya lalu terarah pada Niken dan Fayola yang melenggang santai dengan tas belanjaan bermerk mahal.
“Sial…” gumam Tania lirih, bibirnya mengerucut kesal. “Hidup Niken terlihat semakin enak sejak bercerai dengan Mas Damar. Sementara aku?”
Tania menunduk, memandang celemek lusuh yang melilit di pinggangnya. Tangannya yang memegang blender terasa pegal. Beberapa tetesan jus menodai ujung jarinya. Hatinya perih melihat perbedaan nasib mereka. Dulu, dia pikir merebut Damar dari Niken akan membuat hidupnya lebih baik. Tapi nyatanya, kini dia malah berdiri di belakang stand, berkutat dengan buah-buahan, sementara Niken berjalan di antara butik-butik mahal, tertawa lepas bersama sahabatnya.
Damar, yang tak menyadari tatapan istrinya, terus sibuk melayani pembeli. Sesekali dia tersenyum, kadang tertawa kecil mendengar lelucon para pelanggan wanita. Tania meremas ujung celemeknya, berusaha menahan kekesalan yang membuncah di dada.
Sementara itu, Niken dan Fayola berhenti sejenak, berpura-pura memilih minuman di dekat stand. “Yuk, kita beli satu, sekadar nostalgia,” bisik Fayola nakal.
Niken tertawa pelan. “Baiklah. Sekalian biar Tania makin geram.”
Mereka memesan dua gelas jus mangga, lalu melenggang pergi sambil tersenyum puas. Tania hanya bisa memandangi punggung mereka menjauh, gigit bibir, dan meratapi nasib yang kini tak semanis yang dulu dia bayangkan.
"Awas saja nanti! Aku pasti akan membalas ledekan mereka!" lirih Tania.
"Jaga sikapmu di depan para pelanggan kita Tania!" omel Damar.
***
Suara mesin mobil menderu pelan, mengiringi perjalanan pulang Niken dan Fayola dari pusat perbelanjaan. Di kursi penumpang, Niken menyandarkan kepala di sandaran kulit, kedua matanya memandang kosong ke luar jendela. Sedangkan di kursi pengemudi, Fayola melirik sekilas sahabatnya, lalu menghela napas.
“Ken, aku serius. Kau tidak bisa terus-terusan menghindar dari pabrik,” ucap Fayola akhirnya, memecah keheningan.
Niken memejamkan mata sebentar, lalu mendesah. “La, sudah kubilang, aku serahkan saja semuanya ke kamu. Kamu yang pegang kendali pabrik itu sekarang.”
“Tapi kamu pemiliknya, Ken. Sesekali, muncul lah di sana. Pegawai-pegawai lama butuh melihat kamu hadir. Mereka menghormati kamu, tahu?” desak Fayola, nada suaranya lembut tapi tegas.
Niken menggeleng pelan. “Aku malu, La. Kamu sendiri tahu, sebagian besar dari mereka sudah bekerja sejak zaman Ayah dan Ibuku. Aku mengenal banyak dari mereka. Aku nggak sanggup membayangkan tatapan kasihan mereka padaku sekarang.”
Fayola memutar matanya, tapi dia menahan diri untuk tak memotong. Niken melanjutkan, suaranya lirih. “Bayangkan saja, aku… bercerai dari suamiku karena dia berselingkuh. Dan bukan sembarang perselingkuhan, La. Dia malah menghamili perempuan lain. Itu aib. Semua orang di pabrik pasti sudah tahu. Aku pasti sedang jadi bahan gosip di sana. Aku tidak sanggup bertemu mereka.”
Fayola menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya di kursi sambil tetap menggenggam setir. “Ya sudah, terserah kamu. Aku tidak akan memaksa. Tapi sewaktu-waktu kalau aku butuh kamu hadir di pabrik, kamu harus mau datang, ya?”
Niken menoleh perlahan, menatap sahabatnya dengan mata sendu. “La, aku benar-benar berterima kasih kau sudah mau mengurus semuanya. Kalau bukan kamu, mungkin pabrik itu sudah kacau sejak aku sibuk mengurus perceraian dan semua kekacauan di hidupku.”
Fayola tersenyum kecil, satu tangannya menepuk tangan Niken yang ada di pangkuan. “Sudah, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Ken. Hidup kamu tidak akan berakhir cuma karena satu lelaki brengsek. Kamu masih punya semuanya, termasuk pabrik itu. Jangan biarkan masalah pribadi membuat kamu menjauh dari yang kamu miliki.”
Niken hanya tersenyum samar, memandang kembali ke luar jendela. Lampu-lampu jalan memantul di kaca, menciptakan bayangan samar di wajahnya. Dalam hati, dia tahu Fayola benar. Tapi luka di hatinya masih terlalu segar, terlalu dalam. Untuk sekarang, dia hanya ingin sembunyi, meski untuk sesaat.
Mobil mereka terus melaju, membelah malam kota, membawa dua sahabat itu pulang — satu dengan kepala penuh rencana, satu lagi dengan hati yang masih belajar berdamai.
Bersambung ....