PERINGATAN!!!! SELURUH ISI CERITA NOVEL INI HANYA FIKTIF DAN TIDAK RAMAH ANAK ANAK. PERINGATAN KERAS, SEMUA ADEGAN TAK BOLEH DITIRU APAPUN ALASANNYA.
Setelah membantu suaminya dalam perang saudara, dan mengotori tangannya dengan darah dari saudara-saudara suaminya, Fiona di bunuh oleh suaminya sendiri, dengan alasan sudah tak dibutuhkan. Fiona bangkit kembali, ke lima tahun sebelum kejadian itu, dengan tekad kuat untuk membalas Dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
Vergil melangkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka hingga hembusan napasnya terasa di wajah Fiona. Senyum sinisnya terukir, namun matanya tetap dingin.
"Kau tahu, Fiona," bisiknya, suaranya pelan dan mengancam, "jika aku menjadi Raja, kau akan menjadi orang pertama yang aku bunuh. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi ancaman bagi takhtaku."
Fiona diam, tidak gentar, menatap lurus ke dalam mata Vergil yang gelap, seolah ancaman itu hanyalah angin lalu. Ia membalasnya dengan senyum tipis, bukan senyum takut melainkan senyum penuh perhitungan.
"Kalau begitu, kau harus bersikap baik padaku sebelum itu terjadi," jawab Fiona dengan nada datar. "Jika kau tidak memperlakukanku dengan baik, mengapa aku harus membantumu menjadi raja?"
"Tanpa bantuanku, kau tidak akan pernah bisa meraih takhta. Aku punya informasi dan rencana yang tidak kau miliki, jadi pikirkan baik-baik. Tanpa bantuanku, kau akan hancur sebelum sempat menyentuh takhta."
Seringai Fiona memudar, ia tahu Vergil akan marah. Tapi dugaannya salah. Vergil tidak marah, justru mencium keningnya.
"Aku akan menjagamu," bisiknya. Suaranya terdengar begitu lembut, dan Fiona merasakan sensasi geli di lehernya. Sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Vergil tahu tanpa Fiona dia tetap bisa menyingkirkan semua saudaranya, tapi Fiona adalah hal baru yang menarik yang ingin ia pelihara dan mainkan, layaknya boneka porselen.
Mendengar bisikan itu, Fiona mendorong Vergil. Ia menatapnya dengan mata berapi-api. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau melakukan itu?!" tanyanya, suaranya naik satu oktaf, penuh dengan kebingungan dan kekecewaan.
"Kau seharusnya marah! Kau seharusnya melampiaskan amarahmu, bukan menciumku dan mengatakan hal konyol seperti itu!"
"Aku membantumu bukan karena aku percaya padamu, tapi karena ini adalah bagian dari rencanaku!"
Air mata mulai menggenang di matanya, air mata yang sudah lama tidak ia biarkan jatuh. Fiona tidak ingin lagi merasakan perasaan percaya. Ia tidak ingin lagi merasakan kehangatan yang bisa membuatnya kembali naif. Ia tak ingin lagi bergantung pada siapa pun.
Fiona kemudian menyerang Vergil, tapi Vergil dengan mudah menghindar. "Jangan memanipulasiku, Vergil! Aku sudah muak percaya dengan orang lain!" pekik Fiona, suaranya dipenuhi amarah.
Vergil tak membalas, ia hanya terus menghindar, hingga akhirnya ia berhasil memeluk Fiona dengan erat, mengunci pergerakannya. Fiona meronta, namun Vergil terlalu kuat.
"Dengarlah, gadis bodoh," bisik Vergil tepat di telinga Fiona. Suaranya tegas namun entah mengapa terdengar lembut. "Kau tidak perlu percaya padaku, atau pada siapa pun. Kau hanya perlu menjalani apa yang kau inginkan."
"Aku tidak tahu apa yang kau rasakan, aku tidak tahu mengapa kau berkata demikian, atau masa lalumu yang seperti apa, aku tak peduli. Tapi jangan lembek seperti ini! Dunia yang kejam ini hanya mengenal mangsa dan pemangsa. Jadi berhentilah menangis. Dan jadilah wanita yang kuat!"
Fiona terdiam, rontaannya berhenti, dan ia hanya bisa menangis dalam pelukan Vergil, membiarkan air matanya membasahi kemeja pria itu.
Fiona tertidur, tangisannya perlahan berubah menjadi dengkuran lembut. Vergil membiarkan beberapa saat, merasakan berat tubuhnya yang pasrah dalam pelukan.
Ia kemudian mengangkat Fiona, menggendongnya dengan hati-hati seolah takut memecahkannya, lalu membawanya menuju kamarnya. Vergil membaringkannya dengan perlahan di atas kasur, dan menatap wajahnya yang sembab.
Vergil mengepalkan tangannya, frustrasi. Ia kesal pada dirinya sendiri karena telah luluh pada gadis itu. Ia tidak seharusnya merasa kasihan. Ia tidak seharusnya merasa ingin melindunginya.
Vergil adalah Vergil, pangeran kejam yang hanya peduli pada kekuasaan. Tapi entah mengapa, saat melihat Fiona menangis, sesuatu dalam dirinya luluh. Vergil membenci perasaan itu, karena ia tahu, perasaan seperti itu akan menjadi kelemahannya.
Pagi harinya, saat terbangun, Fiona tidak menemukan Vergil di mana pun. Ranjang di sampingnya kosong, sudah dingin, dan tidak ada tanda-tanda pria itu pernah berada di sana. Ia bangkit, menyisir rambutnya yang kusut, lalu keluar dari kamar.
Fiona berjalan di koridor yang sepi, mencari-cari keberadaan Vergil di setiap sudut, namun pria itu tetap tidak ada. Ia merasa bingung. Apa yang terjadi tadi malam? Apakah itu semua hanya mimpi?
Tiba-tiba, sebuah suara menginterupsi. "Apa kau sedang mencari Vergil?" Suara itu ramah dan akrab, membuat Fiona berbalik.
Pangeran Tristan berdiri di sana, menyunggingkan senyum yang mempesona. "Atau lebih tepatnya... Kekasihmu?" tanyanya, matanya berkelip penuh rasa ingin tahu.
Fiona membeku di tempat, tidak menyangka Tristan akan muncul di sini. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena terkejut, tapi karena firasat buruk.
Tristan dikenal sebagai manipulator ulung yang selalu tahu cara memanfaatkan situasi. Fiona tidak bisa tidak bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ia inginkan?
"Hentikan omong kosongmu," kata Fiona dengan nada tajam. "Dia bukan kekasihku." Matanya menatap tajam ke arah Tristan, mencari petunjuk dari ekspresi ramah pria itu. "Di mana dia sekarang?"
Tristan hanya tersenyum, senyumnya tidak sampai ke matanya. "Aku bisa membawamu ke tempat dia berada," katanya, suaranya ramah, namun ada nada berbahaya di dalamnya. "Tapi itu tidak akan gratis, tentu saja. Ikut denganku."
Tanpa menunggu jawaban Fiona, Tristan berbalik dan mulai berjalan. Fiona menatap punggung Tristan, merasa ragu dan waspada. Namun, rasa penasaran yang besar akhirnya mengalahkan keraguannya. Fiona harus tahu di mana Vergil berada, dan apa yang telah terjadi. Ia mulai berjalan, mengikuti Tristan ke tempat yang tidak ia kenal.
Fiona tiba di sebuah ruangan bawah tanah yang gelap dan lembap, mengikuti Tristan. Bau darah dan besi menusuk hidungnya.
Di sana, ia melihat pemandangan yang membuat jantungnya berhenti berdetak. Vergil diikat pada sebuah tiang, tubuhnya penuh luka dan lebam. Di hadapannya, Felix berdiri dengan seringai kejam di wajahnya, memegang cambuk berdarah di tangannya.
Tristan dan Felix tertawa, menunjukkan bahwa mereka telah bekerja sama sejak awal untuk menjebak Vergil.
"Aku sudah menunggu lama," kata Felix, suaranya penuh kemenangan. Ia melangkah mendekat, menginjak tangan Vergil yang terikat, membuat Vergil meringis kesakitan.
"Kau tahu, Vergil? Kau hampir tidak memiliki celah. Kau selalu waspada, selalu curiga, selalu siap menyerang. Tidak ada yang bisa mendekatimu."
Ia melirik ke arah Fiona, lalu kembali menatap Vergil. "Namun, saat kau kembali ke kastil setelah menidurkan gadis ini, tatapanmu kosong, hatimu gelisah."
"Kau tidak bisa fokus. Saat itulah Tristan dan aku menyerang." Felix tertawa, tawanya terdengar seperti lonceng kematian. "Bagaimana rasanya, Vergil? Apakah menyenangkan, saat seseorang yang kau pedulikan menjadi kelemahanmu?"