Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Pagi ini udara cukup sejuk, tidak terlalu dingin, tidak terlalu panas. Aku bangun lebih awal dari biasanya, mungkin karena tadi malam aku nyaris tidak tidak bisa tidur karna percakapan kU dan mas Arif tadi malam. Meski hati ini masih merasakan sesak, namun aku tetap menyiapkan sarapan seperti biasanya.
Pagi ini aku memasak nasi goreng, telur mata sapi, dan potongan buah, serta membuat teh untuk mas Arif dan susu untuk Maira. Sesederhana itu sarapan yang kU hidangkan untuk kami bertiga.
Tak lama, Maira keluar dari kamarnya, dia tampak senang sekali karena akan berangkat sekolah dia membawa tas sekolah mungilnya. “Mama Amira… pagi,” sapanya kepadaku
Aku tersenyum lembut. “Pagi, Sayang mama, Yuk sayang kita sarapan dulu.”
Maira duduk dan mulai makan, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Mama, apakah mama sekarang sedang sedih?" Kata Maira kepadaku. " tidak sayang mama tidak sedih"
"Mama berbohong kan, tadi malam saat aku terbangun, aku melihat Mama menangis di depan ruangan kerja Papaku, apakah papa kU jahat kepada mama"
" Tidak Sayang, Mama tidak apa-apa" Amira. Setelah mengobrol aku mendengar langkah kaki dari arah tangga. Itu langkah kaki Mas Arif. Ia muncul dengan wajah lelah dan kurang tidurnya, ya aku yakin tadi malam dia pasti juga susah tidur sepertiku, entah dia memikirkan mantan istrinya atau memikirkan perkataan kU tadi malam, aku pun bingung.
Apakah di hatinya ada rasa bersalah terhadapku karna telah berbicara seperti yang dia ucapkan tadi malam terhadapku, entahlah aku tidak tau.
aku memberanikan diriku untuk menyapanya.
“Pagi,” ucapku hati-hati.
“Pagi,” jawabnya singkat.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami bertiga duduk di meja makan bersama. Tidak banyak bicara, hanya suara sendok dan garpu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Tidak sesuram biasanya. Tidak seasing biasanya.
Papa, hari ini papa yang antar aku ke sekolah ya?” Kata Maira
" Papa tidak bisa mengantarmu sayang, kamu sama Tante Amira saja ya" kata Mas Arif
Aku refleks menoleh ke arahnya. “Kamu mau mama yang antar?”
Dia mengangguk. “Iya. Boleh ma,
"Ayo mama antar.”
Mas Arif melirikku sekilas, ekspresinya sulit ditebak. Mungkin dalam hati dia bertanya-tanya mengapa maira memanggil kU mama. Tapi dia tidak berkata apa-apa.
Setelah sarapan, aku menggandeng tangan kecil Maira menuju mobil. Mas Arif ikut mengantar sampai ke depan pintu. Saat aku hendak membuka pintu mobil, dia memanggil pelan.
“Amira…”
Aku menoleh. “Ya, Mas?”
Dia terlihat ragu, tapi akhirnya berkata, “Terima kasih… sudah tetap ada.”
Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Aku masih di sini, Mas. Tapi sampai kapan, aku belum tahu.”
Aku masuk ke mobil, menatap Maira yang sudah duduk manis di kursinya. Di dalam cermin spion, aku sempat melihat mas Arif masih berdiri di depan rumah, menatap kami pergi. Untuk pertama kalinya, aku melihat raut wajahnya yang tidak lagi datar dan dingin seperti ada sesuatu yang pelan-pelan mulai runtuh di dalam dirinya.
Aku berharap pelan-pelayan mas Arif bisa merasakan apa yang aku rasakan kepadanya, semoga aku dan mas Arif bisa dekat seperti saat ini aku sudah dekat dengan putri.
Aku teringat akan perbincangan kami yang tadi malam, dada kU kembali terasa sesak, sakit hanya itu yang aku rasakan saat ini. Aku mencintai Mas Arif, tapi dia tidak bisa mencintaiku.
Dengan luka, dengan sabar, dengan doa yang diam-diam kukirimkan setiap malam: agar suatu hari, hatinya terbuka. Tidak untuk melupakan, tapi untuk menerima aku.
Bukan untuk menggantikan Rani.
Tapi untuk berjalan bersama dalam kenangan yang baru.
Dan di antara semua pikiran itu, ada satu perasaan yang paling kuat:
Aku ingin membuat Rani bangga, kalau saja ia masih bisa melihat ke dunia ini.
Aku ingin dia tahu... aku akan mencintai Mas Arif dan Maira, sebaik mungkin. Seperti janji yang pernah ia bisikkan dalam surat terakhirnya.
Aku berjanji dalam hati.
Aku akan mencintai mereka. Meski jalannya penuh luka. Meski bayangannya tak pernah benar-benar hilang.
Aku... akan tetap bertahan untuk sebuah hubungan yang aku inginkan,
Malamnya, ketika aku bermain bersama Maira, aku selalu teringat akan Mas Arif, itu selalu yang menjadi pengusik didalam hatiku, melihat Maira yang sangat bahagia ketika duduk bersamaku, mendengarkan dia bercerita tentang sekolahnya, bagaimana dia bermain bersama temannya, aku merasa senang, teringat dulu Maira tidak menerima kehadiranku dirumah ini.
Namun secara perlahan aku mulai mendekatinya, yang awalnya dia menolak kU sampai akhirnya dia mau menerimaku, bahkan sekarang dia juga memanggil kU dengan sebutan Mama.
Aku kira sebelumnya mendekati Maira yang sangat sulit, ternyata tidak, lebih sulit mendekati Mas Arif. Aku merasa hidup ini tidak adil bagiku, kenapa aku yang harus mencintai Mas Arif terlebih dahulu, mengapa tidak dia saja yang mencintaiku. Padahal yang meminta perjodohan itu dia bukan aku.
Asik melamun, tiba2 maira memanggilku, dan mengajakku untuk pergi ke kamarnya, karna dia sudah mengantuk, dan besok pagi dia akan bangun pagi untuk berangkat ke sekolah. Aku membawanya kedalam kamarnya dan membuka buku cerita untuk memberikan cerita kepada Maira.
Jam sudah mmenunjukkan pukul setengah 9 malam, namun Mas Arif Belum juga pulang kerumah. Begitulah mas Arif setiap harinya selalu pulang larut malam. Bahkan makan malamnya pun aku tidak tau dia makan dimana, sudah makan atau belum.
Ketika aku masih berada dikamar Maira, aku mendengar suara pintu dibuka dari luar, dan ternyata itu Mas Arif sudah pulang. Aku keluar dari kamar maira, sambil mengapa Mas Arif.
"Mau dibikinkan kopi atau teh Mas?"
"Teh saja" Katanya singkat.
Sebelum membuatkan teh untuk mas Arif, aku ke kmar menyiapkan air hangat untuk mandi mas Arif, setelah semuanya selesai aku pergi ke dapur.
Aku menuangkan air kedalam panci untuk di panaskan, setelah Selesai membuat teh aku membawa teh ke ruang kerja mas Arif, tetapi dia tidak berada disana mungkin saja dia belum siap mandinya.
Amira berlalu ke kamar putri sambungnya, dia melibat Amira tidur dengan sangat nyenyak sekali, dia tersenyum melihat cara tidur anak sambungnya yang sangat lucu sekali.
Sedangkan Arif yang berada dikamar ya, ternyata saat ini merasa bersalah dengan ucapannya malam itu kepada Amira, dia bingung harus bersikap seperti apa, Tapi yang dia tau didalam hatinya ada kepedulian nya terhadap istrinya itu.
Arif heran mengapa Amira tidak masuk kedalam kamar mereka, apakah dia belum selesai membuat teh kata Arif dalam hatinya, siapun penasaran dan pergi ke dapur ternyata disana tidak ada Amira sama sekali, dan dia berjalan menuju ruang kerjanya, ketika melewati kamar putrinya dia melihat Amira didalam ya.