Prayitno, seorang pria miskin yang nekat merantau ke kota besar demi mencari ibunya yang hilang, justru terperangkap dalam kehidupan penuh penderitaan dan kesuraman. Setelah diusir dari kontrakan, ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah milik Nyonya Suryati, yang ternyata menyimpan rahasia kelam. Teror mistis dan kematian tragis menghantui mereka, mengungkap sisi gelap pesugihan yang menuntut tumbal darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Terakhir
Rumah itu kini benar-benar hidup.
Sejak malam setelah mereka menemukan ruang bawah tanah, suara-suara dari dinding semakin sering terdengar. Langkah kaki yang tak terlihat, bisikan yang mengikuti dari balik pintu, bahkan kilatan bayangan hitam yang selalu melintas di cermin. Semua menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di rumah itu.
Nurul menjadi berubah setelah kerasukan itu. Ia kini menjadi pendiam dan lebih suka melamun.
Wajahnya terlihat pucat tatapan matanya sayu, tak lagi antusias seperti dulu. Nurul yang dulu begitu bersemangat dan selalu menghidupkan suasana rumah tiba-tiba menjadi pemurung.
Setiap malam ia selalu menangis tanpa suara, memeluk baju kecil peninggalan Danang. Ia masih belum bisa merelakan kepergian anak semata wayangnya. Baginya Danang adalah semacam hidupnya jadi wajar saja jika ia begitu terpukul atas kepergiannya.
Ia tahu, dan bisa merasakan, rumah itu masih mengincar mereka. Bukan hanya Danang, namun juga nyawanya dan juga suaminya Prayitno.
Suatu malam Nurul pun menyampaikan hal itu kepada Prayit, dan lelaki itu pun memiliki pemikiran yang sama.
"Kita sudah salah menerima tawaran Nyonya Suryati, harusnya kita tidak tergiur dengan tawaran itu, namun apa daya nasi sudah menjadi bubur, cukup kita jadikan ini sebagai pelajaran, bahwa tidak ada sesuatu yang gratis di dunia ini. Jangan tergiur dengan tawaran yang menjanjikan kebahagiaan semu, karena bisa jadi itu justru petaka buat kita. Yang terpenting sekarang kita harus mencari cara untuk keluar dari rumah ini,"
Prayitno tak bisa lagi tinggal diam.
Ia menemui Kyai Amin malam itu, membawa dua botol bensin, korek api, dan satu keputusan yang bulat.
“Kita harus bakar rumah ini, Kyai. Kita harus hentikan semuanya.” ucapnya dengan berapi-api
Kyai Anin terdiam sejenak. “Kamu tahu risikonya?” Kyai Amin menatap wajah Prayit mendalam
Prayit mengangguk, “Tahu. Tapi tidak ada cara lain, karena jika tidak begitu bisa saja pemilik rumah ini mencari tumbal lain, dan memanfaatkan orang-orang yang kesulitan seperti saya. Mungkin Danang bukan yang terakhir.”
Kyai Amin mengusap janggutnya. Lelaki itu tampak berpikir keras sebelum menentukan tindakan itu. Namun setelah beberapa saat ia pun menyetujui usulan Prayit dengan beberapa pertimbangan.
Dengan restu Kyai Amin dan bantuan beberapa warga yang sempat melihat kejanggalan di rumah itu, mereka mempersiapkan segalanya. Tapi ada satu hal yang tak mereka duga Nyonya Suryati mengetahui rencana mereka.
Namun meskipun begitu wanita itu tak mengambil tindakan. Entah apa yang ia rencanakan. Namun tatapannya menyimpan sejuta misteri.
Malam pembakaran pun tiba.
Prayitno dan Kyai menyusup ke dalam rumah dengan hati-hati. Nurul dititipkan di rumah warga. Bensin disiramkan ke lantai-lantai, ke dinding, ke tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah.
Namun sebelum korek api menyala, Nyonya Suryati muncul.
Tubuhnya berdiri di ambang pintu, dengan sorot mata membara.
“Kalian pikir bisa kabur dari perjanjian ini?" Kalian pikir rumah ini bisa dibakar begitu saja?”
Prayitno menggenggam korek api. “Saya tahu semua tentang pesugihan ibumu. Tentang tumbal. Tentang ibu saya. Dan tentang Danang.”
Suryati tertawa lirih, “Danang hanyalah awal, meskipun kamu membakar rumah ini, tetap saja perjanjian yang sudah di buat tidak bisa dibatalkan," sahut Suryati
Tiba-tiba, dari belakangnya, Nenek Mariani berjalan keluar. Kali ini, Wanita tua iyu benar-benar menjelma menjadi wanita muda. Seperti wanita berumur tiga puluhan, bahkan ia terlihat lebih muda dari putrinya Suryati. Ia menggunakan Gaun berwarna putih, dengan matanya merah menyala.
“Aku sudah kembali, Prayit. Terima kasih.” ucapnya dengan seulas senyum manis di wajahnya
Prayitno mundur, ia tahu dirinya sedang berhadapan dengan sosok wanita yang sering ia temui di dalam mimpinya. Meskipun ia sudah berubah menjadi wanita muda namun ia bisa melihat wajah asli Mariani melalui pantulan cermin di depannya.
Tak mau berdebat dengan wanita itu ia pun mulai menyalakan korek api dan melemparkan nya ke arah genangan bensin.
Api meledak seketika, merambat cepat ke seluruh sudut rumah. Suara jeritan tak manusiawi menggema dari dalam tembok-tembok. Wajah-wajah yang dulu muncul dalam lukisan kini tampak di balik kaca, berteriak minta tolong.
Semua warga langsung berlari meninggalkan rumah itu. Begitupun dengan Suryati, hanya Mariani dan Prayit yang masih berdiri di sana saling menatap.
Kyai Amin menarik Prayitno keluar, dan mereka lari menjauh.
Dari kejauhan, mereka menyaksikan rumah besar itu dilalap api. Api menjilat tinggi ke langit malam, menari bersama suara jerit kesakitan dari jiwa-jiwa yang selama ini terperangkap.
Namun di antara suara api dan kayu yang runtuh, terdengar bisikan yang tak akan dilupakan Prayitno:
“Tumbal belum habis, darah belum cukup, Kami akan kembali,"
Tiga minggu setelah kebakaran besar itu, rumah besar milik Nyonya Suryati kini tinggal puing-puing hangus. Api melahap segalanya, namun tidak ada yang bisa memastikan apakah jasad Nyonya Suryati dan Nenek Mariani benar-benar ikut terbakar.
Prayitno dan Nurul kini tinggal di sebuah kontrakan kecil yang disediakan warga desa tempat mereka berlindung. Meski hidup mereka sederhana, tak ada lagi bisikan gaib atau teror di malam hari. Tapi kedamaian itu… tidak benar-benar utuh.
Nurul mulai bermimpi aneh. Dalam tidurnya, ia sering melihat Danang berdiri di ambang pintu, memanggil-manggil ibunya dengan suara lirih. Wajahnya pucat, matanya kosong.
“Mas… Danang manggil aku tiap malam. Dia gak bisa pergi,” ujar Nurul dengan mata sembab.
Prayitno awalnya menganggap itu trauma. Tetapi beberapa hari kemudian ia pun bermimpi hal yang sama, kegelisahan kembali menghantuinya.
Suatu malam, Kyai Amin datang dengan kabar mengejutkan.
“Prayit, aku menemukan ini di reruntuhan rumah.” Ia menyerahkan sebuah kalung besi tua. Kalung dengan liontin berisi tulisan Jawa kuno, terukir dengan darah kering.
“Ini milik ibumu.”
Prayitno menggenggam kalung itu. Saat ia menyentuh liontinnya, penglihatan menghantam pikirannya.
Ia melihat ibunya, Ningsih diikat dalam lingkaran ritual. Melihat bagaimana Suryati muda menangis, tapi tak bisa menolak ibunya sendiri. Dan yang paling mengejutkan, ia melihat sosok kecil lain, anak laki-laki berdiri di pojok ruangan.
“Danang?” gumamnya.
Tapi bukan. Itu bukan Danang. Itu adalah bayangan dirinya sendiri.
Prayitno ternganga. Ia sadar ia pernah ke rumah itu saat kecil. Ia menyaksikan kematian ibunya. Tapi kenapa ia lupa?
“Ingatanmu disegel, Prayit,” ucap Kyai Amin
“Ritual itu bukan hanya mengambil ibumu. Tapi juga sebagian dari jiwamu. Dan itu sebabnya kamu kembali ke rumah itu, seolah ditarik oleh sesuatu.”
Prayitno memandangi kalung itu dengan mata kosong. “Jadi, aku bagian dari tumbal itu?”
Kyai mengangguk pelan. “Kamu... adalah pewaris kutukan itu.”
jd ngeri