TUMBAL
Hujan rintik membasahi terminal Tawang, Semarang, sore itu. Suasana kota besar menyambut dengan riuh dan hiruk-pikuk yang asing di telinga Prayitno. Ia berdiri di pinggir jalan, hanya membawa sebuah tas lusuh di punggung dan secarik kertas alamat yang ditulis ibunya sebelum merantau dua tahun lalu.
Ibunya, Ningsih, dulu pamit bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah besar. Tapi sejak pergi, tak pernah sekalipun mengirim kabar. Surat yang dikirim Prayitno ke alamat itu pun tak pernah dibalas.
Kini, dengan bekal seadanya, ia nekat datang sendiri menyusulnya.
Tapi alamat yang tertulis di kertas itu sudah berubah. Rumah itu kosong. Tetangga sekitar hanya berkata, "Yang tinggal dulu pembantu, tapi sudah lama tidak kelihatan."
Prayitno tampak kecewa.
Ia menatap rumah itu dari balik pagar besi, bangunannya besar dan angker, seperti ditinggalkan bertahun-tahun. Jendela-jendelanya tertutup rapat. Halamannya dipenuhi ilalang liar.
"Apa benar ibuku tinggal di rumah tua itu??"
Sesuatu tentang rumah itu, membuat tengkuknya meremang.
Hari demi hari berlalu. Prayitno tak menemukan ibunya. Tak ada sanak saudara, tak ada tempat untuk pulang. Ia pun bertahan hidup di kota dengan menjadi kuli pasar, tidur di emperan toko.
Tahun berganti. Hidup keras membuat tubuhnya mengerut sebelum waktunya. Namun di tengah kesusahan, ia bertemu Nurul, perempuan yang sama kerasnya dalam bertahan hidup. Mereka menikah, dan dari rahim Nurul lahirlah Danang, buah hati mereka yang ceria meski hidup serba kekurangan.
Namun penderitaan tak juga pergi. Danang tumbuh dengan tubuh yang lemah. Nurul sering jatuh sakit.
Pagi yang mendung di sudut Semarang membawa kabar buruk bagi Prayitno. Lelaki kurus berusia awal tiga puluhan itu berdiri di depan kontrakan reyot sambil memeluk Danang, putra semata wayangnya yang tengah demam. Sementara Nurul, istrinya, membenahi pakaian mereka yang sudah dikemas tergesa dalam dua tas lusuh.
Seorang wanita paruh baya bertubuh subur berdiri di depan pintu. Ia tampak kesal karena Prayit selalu telat membayar uang sewa rumah.
"Aku sudah kasih waktu, Prayit. Tapi kamu belum bayar juga. Maaf, kamu harus pergi hari ini," ujar pemilik kontrakan dengan nada tegas.
Prayitno hanya menunduk. Uang sudah tak ada, pekerjaan serabutan pun makin sulit didapat. Ia hanya bisa pasrah saat mereka bertiga melangkah meninggalkan tempat yang mereka sebut rumah, selama lima tahun terakhir.
Langit mendung semakin gelap saat langkah kaki mereka menuntun ke taman kota. Danang menggigil dalam pelukan Nurul. Sore itu, nasib seolah mempermainkan mereka.
"Mas, sepertinya kita harus bawa Danang berobat, panasnya semakin tinggi," ucap Nurul dengan nada panik
"Duit dari mana dek, jangankan buat berobat ada buat makan saja kita sudah bersyukur," jawab Prayitno pasrah
Lelaki itu menatap sendu wajah pucat putra semata wayangnya.
"Maafin Bapak Le," ucapnya sambil mengusap kening Danang
"Malam ini kita tidur dimana Mas??" tanya Nurul membuat Prayitno terkesiap
Lelaki itu menatap para tunawisma yang berbaring di emperan toko beralaskan kardus.
"Jangan bilang kita juga akan tidur di sini seperti mereka," ucap Nurul dengan mata berkaca-kaca
"Kalau tidak di sini dimana lagi, uang juga tidak punya, malam ini saja ya dek. Mas janji besok akan cari kerja biar kita bisa ngontrak lagi," jawab Prayit
Nurul hanya mengangguk Pasrah, menerimanya nasib sial mereka.
Sementara itu di tempat berbeda.
Suara lantunan kidung jawa kuno mengalun merdu membuat tubuh Suryati meremang. Wanita itu segera bangun dari tidurnya saat mendengar suara aneh dari kamar sang ibu.
Suryati merasakan suasana rumah besar itu tiba-tiba berubah. Tubuhnya meremang, suasana hangat di kamarnya tiba-tiba berubah dingin.
Pembantu-pembantu rumah itu pun mulai merasa tak nyaman hingga mereka keluar dari kamar mereka.
"Kalian kenapa ada di sini??" tanya Suryati saat melihat ketiga assisten rumah tangganya berkumpul di ruang tamu
"Aku takut Bu, suara nyanyian itu membuat saya tidak bisa tidur," jawab salah seorang pembantu
"Tadi saya lihat ada bayangan hitam melintas di lorong arah kamar Nenek," timpal yang lainnya
"Jangan ngaco, kalian ini pasti kebanyakan nonton film horor, cepat kembali ke kamar, aku gak mau lihat kalian ngumpul di sini!" seru Suryati dengan nada tegas
Meskipun mereka ketakutan tetap saja perintah sang majikan tidak dapat di tentang, "Baik Bu," jawab mereka serentak
Saat para pembantu itu hendak meninggalkan ruang tamu lampu rumah tiba-tiba mati membuat semuanya berteriak histeris.
Suara gemuruh halilintar menambah suasana semakin mencekam. Ketiga asisten rumah tangga saling berpelukan, sementara Suryati mencoba bersikap tenang, baginya ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal menakutkan.
Bola matanya tertuju pada kamar di ujung lorong. Hanya kamar itu yang menyala, padahal hari-hari biasa kamar itu selalu gelap.
"Ibu, sebenarnya apa yang terjadi padamu??" ucap Suryati dalam hati
Suryati mengusap liontin kalungnya sambil mengucap sesuatu. Tak lama lampu rumah kembali menyala. Ketiga asisten rumah tangga langsung berlarian masuk ke kamar mereka.
Sedan Suryati berjalan pelan menyusuri lorong menuju kamar sang ibu dengan dada yang bergemuruh.
Suryati berdiri tegang di depan pintu kamar. Tangannya tampak gemetar saat hendak membuka pintu kamar itu, hingga seekor kucing peliharaan Mariani tiba-tiba melompat keluar membuatnya tersentak kaget.
Selama ini kucing itu tak pernah keluar, ia selalu menemani Nenek Mariani, tapi entah kenapa malam itu ia enggan masuk ke kamar Nenek Mariani.
Suryati berusaha menangkap kucing itu dan membawanya masuk, tapi entah kenapa malam itu ia enggan masuk ke kamar Nenek Suryani.
Nyonya Suryati, wanita paruh baya yang tegas dan berwibawa, merasa ada yang tak beres. Ibunya, yang selama bertahun-tahun hanya terbaring seperti mayat hidup, kini bisa duduk, tersenyum.
Tubuh Suryani membeku saat ibunya tiba-tiba bangun dan tersenyum kepadanya.
"Ibu???" ucapnya gugup
Mariani menyeringai memperlihatkan giginya, membuat Suryani membeku.
“Dia sudah datang.” ucapnya sambil menatap ke jendela
"Siapa dia??" tanya Suryati dengan gugup
"Seseorang yang akan menyelamatkan kehidupan ku sudah datang, kamu harus segera menjemputnya,"
Mariani kemudian turun dari ranjangnya. Wanita tua itu kemudian duduk di kursi rias dan merapikan rambutnya.
"Dimana aku bisa menemukan orang itu??" tanya Suryati mendekati sang ibu
Suryati tahu kalimat itu bukan sekadar omong kosong. Ia telah lama mengetahui bahwa ibunya terikat pada sesuatu yang lebih gelap, sebuah perjanjian lama yang melibatkan makhluk gaib.
"Aku harus bersiap menemuinya, kamu harus membantuku Yati," jawab Mariani
"Baik Ibu, tapi apa yang harus aku lakukan???"
Mariani memutar badannya menatap lekat kearah putri semata wayangnya.
"Bawa dia ke rumah itu???"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
slmt karya barunya kk smgt yaaaa
2025-04-26
4
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
jangan2 rumah yg sempat di lihat Prayitno waktu awal datang nyusul ibunya
2025-04-26
3
☠ᵏᵋᶜᶟ 𝕸y💞Sarinande⒋ⷨ͢⚤
Aku hadir lagi Thor 🥰🥰
maaf nih cuma mau tanya... Tawang... stasiun atau terminal??
maaf klu ada salah 🙏🙏
2025-04-27
2