NovelToon NovelToon
Menjadi Ibu Sambung

Menjadi Ibu Sambung

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Cintamanis / Duda / Ibu Pengganti / Pengasuh / Pernikahan rahasia
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: CovieVy

Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.

Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.

Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.

#cintaromantis #anakrahasia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

7. Rumah yang Merindukan Ibu

"Pengganti Mama mereka? Maksudnya apa, Nek?" tanya Naila merasa tidak enak akan arah pembicaraan ibu dan anak di sana.

"Bukan. Mama bisa lihat sendiri? Dia itu hanya lah anak kemarin sore. Jangan sampai Mama mengira mereka orang yang sama," bisik Martin di telinga sang ibu dengan nada datar.

"Sepertinya, Naila bisa kita jadikan sebagai pengasuh bagi Rindu dan Reivan," terangnya lagi. Lalu, ia menoleh kepada Naila karena sempat melihatnya kaget atas pekerjaan yang tiba-tiba diserahkan terhadap gadis belia itu.

"Tapi, Mama tak butuh bantuan pengasuh. Mama masih kuat kok jaga mereka," ucap sang ibu dengan raut mengerut. Ibu itu memainkan jemari mungil Reivan.

Naila hanya bisa diam. Kata-kata Martin seakan memaksanya, tak memberi ruang untuk menolak. Ia meremat ujung kerudungnya gugup, sementara Rindu tetap menggenggam satu tangannya dengan erat.

"Naila, sebelumnya saya ingin bertanya kepadamu. Bukankah kamu tidak memiliki tujuan di kota ini? Daripada kamu terlunta-lunta tak jelas, sebaiknya kamu tinggal di sini bersama mamaku, membantu mama mengasuh kedua anakku," ucap Martin tanpa menunggu persetujuan gadis itu.

Ia berbicara seolah sedang menyampaikan perintah medis, singkat dan tak terbantahkan. Suaranya tetap tenang, tetapi nadanya tak memberikan kesempatan untuk berkompromi.

Terlihat sang gadis merenung, tetapi tangannya tak sedikit pun dilepaskan oleh putri sulungnya.

"Mama, ayo, Ma ... Mama di sini aja main sama kami," ucap Rindu dengan mata berbinar.

"Loh? Kok Rindu memanggilnya 'mama?' Dia ini bukan mama kamu," ucap sang nenek meralat panggilan yang diberikan cucunya.

"Ini mama Lindu. Mama udah pulang. Mama ga akan pelgi agi," rajuknya menatap perempuan yang telah beruban itu di ujung mata.

"Mama tahu, semenjak tadi Rindu tidak mau melepaskan Naila untuk pergi. Daripada kewarasanku hilang, aku bawa saja dia—" Martin menghentikan percakapannya.

Terdengar suara dering ponsel yang tadi ditaruh di atas meja di ruang tengah. Dengan cepat ia meraih ponsel tersebut. "Ma, aku harus pergi. Silakan Mama saja yang mewawancarai dia. Mama tidak bisa untuk tidak setuju. Kecuali Mama siap menghadapi Rindu." Sembari menjawab panggilan, ia pun berlalu tanpa pamit kepada sang putri.

"Nama kamu Naila, kan?" tanya wanita tersebut tak henti memperhatikan Naila dari atas hingga ke bawah.

"Iya, Nek," jawabnya sedikit tergidik dengan tatapan sang nyonya besar.

"Jangan panggil saya seperti itu! Saya terlalu muda jika menjadi nenek untukmu! Hmmm, semua orang memanggil saya dengan Bu Juwita, kamu juga bisa memanggil saya seperti itu!"

"Baik, Bu," ucapnya canggung.

"Kalau saya perhatikan lagi, kamu terlihat sangat muda. Apa kamu putus sekolah? Bukankah harusnya jam segini anak-anak seusiamu masih belajar di kelas?" selidiknya.

"Sebenarnya saya baru saja mendapat surat keterangan kelulusan, Bu. Bahkan, ijazah saya saja belum keluar. Ceritanya panjang sekali, Bu," ucap Naila yang telah merasa pegal berdiri semenjak tadi karena tidak ditawarkan duduk.

"Oh, ya. Maaf, ayo silakan duduk dulu!" Tangan Bu Juwita mempersilakan Naila duduk, dan Rindu telah terlebih dahulu berlari mengajak Naila duduk.

"Mama ga boleh takut. Kalau nenek nakal, bilang ke Lindu ya. Biar nanti Lindu yang akan lindungi Mama," ucap gadis kecil masih mengecilkan mata menatap sang nenek.

"Waduh, cucuku malah bela orang lain dibanding neneknya sendiri," seloroh Bu Juwita setengah geli akan tingkah gadis kecil itu.

"Rindu, kalau bicara dengan nenek, harus dengan sopan ya? Tidak boleh ngomong seperti itu," ucap Naila memberi nasihat dan langsung dibalas dengan anggukan kepala Rindu.

"Sekarang, Rindu harus minta maaf kepada nenek ya?"

"Maaf kan Lindu ya, Nek. Lindu udah nakal cama Nenek," ucap gadis itu menuruti perintah Naila.

"Waduh, Rindu benar-benar anteng ya sama Naila. Kenapa memanggilnya dengan mama?"

"Naila lihat foto-foto papa sama mama. Mama ini mirip sekali sama mama di poto papa," terangnya lagi.

Bu Juwita tertegun mendengar ucapan cucunya. Sejenak, ia menoleh ke arah foto yang terpajang di salah satu bagian dinding rumah ini. Foto resepsi pernikahan putranya dengan Rianti, beberapa tahun lalu. Dan ia tak memungkiri apa yang baru saja diucapkan cucunya ini. Bahkan, ia pun sempat tertegun di saat pertama kali bertemu dengan Naila. Wajah mereka cukup mirip meski pun Naila terlihat jauh lebih muda.

"Kamu berasal dari mana?" tanya Bu Juwita.

"Saya berasal dari pulau seberang, Bu—" Naila menceritakan alasan keberadaannya hingga sampai ke sini. Suaranya pelan, terkadang tercekat saat menyebutkan ayah dan ibunya yang sederhana. Sesekali, matanya memaling untuk menenangkan diri.

"Wah, berarti kamu pintar sekali ya? Bisa lulus jalur undangan sekaligus beasiswa di kampus itu. Padahal, kampus itu terkenal sangat sulit dijangkau. Martin juga lulusan di sana, sekarang ia membuka klinik dan sebagai pimpinan klinik yang ia dirikan." Tiba-tiba, raut wajahnya terlihat muram.

"Namun sayang, nasib keluarganya tidak sebaik ekonomi yang ia bangun," ucapnya lirih, dengan mata berkaca-kaca.

"Nah, itu yang ingin saya tanyakan Bu. Ke mana mama Rindu dan Reivan? Saat saya menanyakan mama mereka kepada Pak Martin, saya tak mendapat jawaban. Saya kan jadi heran, kenapa Rindu memanggi saya mama?" terang Naila.

Bu Juwita menghela napas berat. "Sebenarnya, ibu mereka Rianti, meninggal di saat melahirkan putra kedua mereka."

"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun," ucap Naila refleks. Sejenak, ia menatap wajah mungil Reivan di pangkuan sang nenek, lalu menoleh ke arah Rindu yang masih menyandarkan kepala di bahunya.

"Dan kamu juga harus tahu, bagaimana perasaan seorang dokter kandungan tetapi tidak bisa menyelamatkan istrinya sendiri dari kematian di saat melahirkan mereka?" Air mata Bu Juwita jatuh tak bisa ditahan.

Naila terdiam. Ia bisa membayangkan betapa sunyinya rumah ini, betapa rapuhnya dua anak yang ditinggal ibunya, dan betapa kerasnya dokter Martin menutupi semua luka itu dengan dinginnya sikap.

Setelah sadar, dengan cepat Bu Juwita mengusap air matanya. "Tapi sepertinya Tuhan memiliki jalan lain atas kisah hidupnya."

Bu Juwita menggenggam erat tangan Naila. "Mau kah kamu menjadi ibu beneran bagi mereka?"

"A-apa?" Naila melepas tangan Bu Juwita refleks. Bahkan, dia sengaja lari dari pernikahan untuk mengejar cita-cita yang sedikit lagi tercapai.

"Apa kamu keberatan?" tanya Bu Juwita lagi.

"Bu, saya ingin berkuliah. Saya ingin menjadi anak yang bisa membahagiakan ayah dan ibu di kampung. Bahkan, ke sini buru-buru karena lari dari pernikahan yang dipaksakan untuk saya," terang Naila dengan terisak.

"Kamu bahkan belum mengenal anak-anakku, belum mengenal keluargaku. Tapi lihatlah, cucuku sudah memanggilmu ‘Mama’ sebelum kamu sempat menetap sehari di sini."

Naila hanya tertunduk. Ia tahu, dunia ini kadang lucu—seseorang yang tidak ia kenal bisa menawarkan hidup baru, tapi ia juga tahu, hidupnya yang lama pun masih menggantung di ujung perjuangan.

"Hmm, kalau begitu, kamu boleh pergi. Karena yang saya butuhkan hanya menantu, bukan pembantu."

1
MomyWa
jangan jahat2 lah duo maut tu..
Eva Karmita
jangan buat pisah ya otor biarkan Martin dgn Naila tetap bersatu
SoVay: hihihi, simak terus ya kakaaa
total 1 replies
Safira Aurora
thor, mau ada eksien kah ini?
SoVay: ayo ikuti terus yaaa
total 1 replies
Safira Aurora
afa2an ini?
Safira Aurora
mungkin kamu sebenarnya anak pungut /Smile/
Safira Aurora
gletak gletuk bunyinta thor?
FieAme
aku kasih vote tapi janji harus keren kelanjutannya
SoVay: terima kasih yaaaah
total 1 replies
FieAme
bisa ga ya, ceritanya lurus2 aja thor?
arielskys
duh, dikirain keluarga mereka akan adem ayem
SoVay: minta doanya yaaaa
total 1 replies
Syahril Maiza
duet maut kerja sama
SoVay: harus semangat
total 1 replies
FieAme
weeeh, syukur laaah..martin tetep bela istri. wooi lah, jangan lama2 konfliknya thor
FieAme
walah, kemarin sibuk dunia nyata thor, waaah..aku mleyooott
Safira Aurora
udah Naila, gak perlu pikirkan marvel. katanya mau jd soleha
MomyWa
thor, kasian om apel. jodohkan sama azwa gih. dia pengen om2 kan 🤣
MomyWa
sabar ya om
MomyWa
makan tuh ego
MomyWa
nah, ini baru suamik. ga kayak cerita lain saat istri diserang keluarga hanya diam aja
MomyWa
soalnya mama yg jodohin mereka, bilang gitu ma..biar meisya paham
MomyWa
nah, lawan dong. jangan mewek aja
MomyWa
gemes euy sama meisya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!