Bijaklah dalam memilih tulisan!!
Kisah seorang penulis online yang 'terkenal lugu' dan baik di sekitar teman-teman dan para pembaca setianya, namun punya sisi gelap dan tersembunyi—menguntit keluarga pebisnis besar di negaranya.
Apa yang akan di lakukan selanjutnya? Akankah dia berhasil, atau justru kalah oleh orang yang ia kendalikan?
Ikuti kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembalasan Penulis Licik 07
...****************...
Aresya berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah ringan namun tertata.
Gaun lembut berwarna pastel yang dikenakannya bergoyang lembut seiring gerakan tubuhnya. Wajahnya tetap menampilkan raut tenang, bahkan saat ia menekan tombol lift dan menunggu pintunya terbuka.
Sesampainya di apartemen kecilnya, Aresya langsung mengganti sepatunya, melepaskan gaunnya dengan santai, dan mengenakan piyama tipis berwarna abu.
Lampu meja menyala temaram saat ia duduk di depan meja kerja yang dipenuhi coretan, catatan, dan sebuah laptop berwarna hitam matte.
Tangannya terulur membuka layar laptop, dan jemarinya langsung bergerak cepat.
[Catatan 04 | Hari Penetapan]
Daria Camaro… wanita yang selama ini kusalahkan dalam banyak sisi, justru yang paling mudah untuk ditaklukkan.
Aku tahu kelemahannya sejak pertama kali kulihat: anak laki-lakinya.
Dan sekarang... pernikahan itu terjadi—atau akan terjadi.
Kontrak dua tahun?
Menyenangkan. Dua tahun cukup untuk meruntuhkan istana keluarga itu dari dalam.
Arion Camaro... kau pria yang terlalu percaya diri. Terlalu kaku. Tapi aku tahu titik lemahm—
ting
Sebuah notifikasi masuk.
Pesan dari akun email baru yang dikamuflasekan sebagai penggemar.
“Aku melihat tulisanmu, AsymRo. Tentang ‘Pengkhianat di Balik Tirai’. Apakah itu fiksi atau… nyata?”
Aresya tersenyum tipis. Matanya menatap pantulan wajahnya di layar. Rambut hitam panjangnya menjuntai lembut di bahu. Wajah yang lugu, tenang, dan misterius itu terlihat cantik dan tenang. Namun di balik itu, badai tengah dirancang dengan teliti.
“Dua tahun…” gumamnya lirih, “cukup untuk membunuh semua nama besar itu tanpa darah.”
Ia mengetik satu kalimat terakhir sebelum menutup laptopnya.
Permainan baru saja dimulai.
...****************...
Langkah kaki Aresya terdengar pelan menuruni anak tangga apartemennya. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai, bergelombang alami.
Gaun selutut berwarna krem gading membalut tubuh rampingnya dengan manis, dan wajahnya seperti biasa—penuh kelembutan palsu.
Begitu keluar dari lobi gedung, matanya langsung menangkap sosok mobil hitam elegan yang terparkir rapi di area parkir gedung apartemen.
Seorang pria bersandar di pintu mobil dengan jas abu yang rapi, postur tubuh tegap, dan tatapan dingin yang seakan tidak pernah luluh oleh apa pun.
Arion Camaro.
Aresya mengulum senyum manis saat pria itu membukakan pintu untuknya tanpa berkata-kata. Ia masuk ke dalam mobil dengan tenang.
“Terima kasih sudah menjemputku,” ucap Aresya lembut, menatap lurus ke depan.
Arion tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan dan menyalakan mesin mobil. Keheningan menguasai perjalanan mereka. Seolah tak ada satu topik pun yang cukup penting untuk dibicarakan.
Setibanya di kediaman Keluarga Camaro, Aresya menatap bangunan megah dua lantai itu.
Taman depannya ditata rapi seperti taman kerajaan, dan aroma wangi elegan menyambut dari balik pintu yang dibukakan pelayan.
“Selamat datang, Nona,” ucap salah satu pelayan sopan.
Daria muncul dari arah ruang tamu dengan langkah pelan, didampingi perawat. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya hangat.
“Terima kasih sudah datang, Sayang,” ujar Daria sambil memeluk Aresya dengan lembut. “Hari ini kita akan mulai membicarakan rencana kalian.”
Arion berdiri di samping Aresya, masih dengan ekspresi datarnya. Alexander muncul tak lama kemudian. Tatapannya tajam, penuh curiga.
“Pernikahan kalian akan dilaksanakan minggu depan,” ucap Daria tiba-tiba.
Aresya terbelalak, berpura-pura terkejut.
“Minggu depan? Bukankah itu terlalu cepat, Tante?”
Daria menggenggam tangan Aresya dengan lemah.
“Tante mohon… waktu Tante tidak banyak. Tante hanya ingin menyaksikan hari bahagia Arion. Sekali saja. Sebelum semuanya terlambat.”
Aresya menghela napas pelan. Ia menunduk, berpura-pura bimbang.
Baiklah. Jika itu kehendakmu… pikirnya sambil menatap Daria. “Kalau begitu… saya setuju.”
Alexander menyipitkan mata. “Ini konyol. Kita bahkan belum tahu siapa dia—”
“Cukup, Alex,” potong Daria lemah. “Ini keinginanku.”
Alexander mendengus. Rahangnya mengeras, tapi ia tak berkata lebih.
Di sisi lain, Arion hanya menatap ke depan. Wajahnya datar. Ia tak bicara apa-apa.
Tak ada yang tahu, dalam diamnya, ia menyimpan rahasia kecil. Pernikahan ini bukan selamanya. Hanya dua tahun. Dan semua akan selesai.
Tak ada yang tahu. Kecuali Aresya.
Aresya menunduk pelan, menyembunyikan senyumnya yang muncul sepersekian detik.
Seminggu lagi. Lebih cepat dari perkiraanku… Tapi ini lebih bagus.
...***************...
Waktu terasa begitu cepat, seperti debur ombak yang menggulung tanpa jeda, menyeret segala keputusan yang belum sempat dipikirkan. Pernikahan yang tadinya hanya bayang-bayang samar, kini sudah berdiri tegak di ambang kenyataan.
Aresya diam. Tatapannya kosong menatap cangkir teh yang tak disentuh di hadapannya. Di hadapannya, Daria tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan getir di balik tatapan hangat.
"Maafkan Tante... jika semua ini terlalu tergesa."
Kata-kata itu melayang, ringan namun menusuk, menghantam ruang dalam yang bahkan tak sempat disiapkan.
“Tidak apa-apa, Tante. Jika ini bisa membuat Tante bahagia…” Kalimat itu menggantung, menyiratkan keikhlasan yang entah nyata atau semu.
Sebenarnya, inilah yang ia rancang. Tapi tetap saja, kejutan waktu membuatnya sedikit goyah.
Di sudut ruangan, Alexander berdiri kaku, menatap mereka dengan rahang mengeras.
“Ini konyol. Terlalu cepat. Siapa dia sebenarnya? Kita tidak tahu apa pun tentangnya—” Alexander berkali-kali mengucapkan kalimat itu.
“Sudah cukup, Alex…” Suara Daria terdengar lirih, namun tegas. “Tante sudah memutuskan.”
Alexander ingin melawan, namun kata-kata itu seperti jaring halus yang menahannya. Ia mendesah panjang, lalu membuang muka. Tak mampu berbuat apa-apa.
Dan Arion... pria itu hanya berdiri diam. Seolah semua ini bukan tentang dirinya. Tatapannya kosong, nyaris dingin. Tapi di balik diamnya, ia sedang menyimpan banyak hal.
Termasuk rencana.
Rencana yang hanya diketahui oleh dua orang: dirinya, dan Aresya. Sebuah pernikahan kontrak. Dua tahun. Lalu selesai. Tanpa ikatan hati, tanpa beban rasa.
Tapi benarkah akan semudah itu?
Aresya menatap Arion dari balik bulu matanya. Samar. Seperti bayang-bayang senja yang perlahan ditelan gelap. Mungkin, waktu akan berkata lain.
Karena waktu, seperti kuda liar yang tak bisa dijinakkan, selalu punya caranya sendiri untuk merobek rencana manusia.
...****************...
Senja menyelinap perlahan, menyapu langit kota dengan semburat jingga keemasan. Di sebuah balkon apartemen kecil, Aresya duduk sendiri. Angin sore membelai rambutnya, membawa serta aroma debu dan kenangan yang mengambang.
Di tangannya, ponsel menyala. Jari-jarinya sempat ragu, sebelum akhirnya mengetik pesan di grup kecil berisi teman-teman lamanya—orang-orang yang dulu tertawa dan menangis bersamanya, jauh sebelum hidup menjadi serumit sekarang.
"Aku akan menikah. Minggu depan.”
Pesan itu singkat. Datar. Seolah tak menyimpan apa-apa di baliknya. Tapi hatinya berdebar, seperti daun rapuh yang diterpa angin.
Notifikasi segera berdentang.
“SERIUS?! Aresya?”
“Kok tiba-tiba banget? Siapa cowoknya?”
“Kamu yakin? Kamu nggak cerita apa-apa ke kita…”
Aresya menatap layar, lalu menarik napas panjang. Ia tak tahu harus menjawab yang mana dulu. Karena sejatinya, ia sendiri belum tahu pasti, apa yang sedang ia yakini.
"Aku cuma ingin seseorang di sisiku. Mungkin caraku berbeda. Tapi kali ini… biarkan aku mencoba dengan caraku sendiri.”
Pesan itu dikirim tanpa ragu. Seolah kata-kata itu bisa menjelaskan semua yang tersimpan dalam diamnya. Tak ada nama Arion. Tak ada detail. Hanya kesan kabur yang sengaja ia biarkan.
Dan diam-diam, ia menggenggam ponselnya erat. Karena di balik semua ketenangan itu, ada sekelumit rasa takut… bahwa ia mungkin sedang berjalan menuju jurang, dengan mata terbuka dan hati separuh buta.
.
.
.
Next 👉🏻
Makasih tadi udh mampir. jgn lupa keep lanjut teyuz ya...
kita ramein dengan saling bertukar komen...