Tak kunjung memiliki keturunan, Amira terpaksa harus merelakan Suaminya menikah lagi dengan perempuan pilihan Ibu Mertuanya.
Pernikahan Amira dan Dirga yang pada awalnya berjalan harmonis dan bahagia, hancur setelah kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga mereka.
"Meski pun aku ingin mempertahankan rumah tangga kita, tapi tidak ada perempuan di Dunia ini yang rela berbagi Suami, karena pada kenyàtaan nya Surga yang aku miliki telah terenggut oleh perempuan lain"
Mohon dukungannya untuk karya receh saya, terimakasih 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rini Antika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 ( Surga Yang Terenggut )
Amira semakin menangis tersedu-sedu dalam pelukan Vania. Dia merasa nyaman dan terharu ketika ada orang lain yang peduli terhadap dirinya, apalagi selama ini tidak ada bahu tempat dia bersandar selain Suaminya.
Amira juga tidak mungkin bercerita terhadap orang lain tentang masalah yang selama ini dia alami dengan keluarga Suaminya, terlebih kepada Pak Adnan karena Amira tidak mau menambah beban pikiran Orang tuanya.
Selama ini Amira hanya bisa memendam semuanya sendirian. Dia tidak ingin menjadi Menantu durhaka jika sampai menceritakan kejelekan Ibu mertua dan Adik iparnya sendiri.
"Vania, ternyata Kakak masih belum sanggup berbagi Suami dengan perempuan lain," racau Amira dalam pelukan Adik iparnya tersebut.
"Iya Kak. Vania sangat mengerti bagaimana perasaan Kak Amira. Kakak yang kuat dan sabar ya. Vania yakin jika Kak Dirga sangat mencintai Kak Amira, dan cinta Kak Dirga untuk Kak Amira tidak akan pernah berubah dan berkurang," ujar Vania dengan terus berusaha menenangkan Amira.
Vania ikut merasakan kesedihan Amira, bahkan Vania ikut menangis juga, tapi dia tetap membiarkan Amira menghabiskan air matanya supaya perasaan Kakak iparnya tersebut merasa lebih lega.
Menit demi menit berlalu, akhirnya tangis Amira mulai mereda serta bisa dikendalikan. Amira pun secara perlahan melepas pelukannya dari tubuh Vania, lalu dia menghela serta mengusap wajahnya secara kasar.
"Vania, terimakasih banyak ya karena kamu sudah menyediakan bahu untuk Kakak," ucap Amira dengan suara parau.
"Kakak tidak perlu mengucapkan terimakasih, apalagi kita adalah keluarga. Selama ini Kak Amira juga selalu menghibur serta memberikan dukungan ketika Vania sedang sedih," ucap Vania dengan tersenyum.
Setelah merasa lebih tenang, Amira dan Vania bergegas memasak, apalagi Bu Meri sudah berteriak menanyakan makanan untuk sarapan, bahkan teriakan Ibu mertua Amira tersebut melebihi suara speaker Masjid.
"Amira, kenapa kamu lelet sekali?"
"Iya Ma, tunggu sebentar," ujar Amira.
Masakan kini telah matang, tapi Amira sama sekali tidak merasa berselera untuk makan.
"Vania, Kakak ke kamar dulu ya," ucap Amira setelah selesai menata makanan di atas meja.
"Sebaiknya Kak Amira sarapan dulu," ajak Vania.
"Kakak masih belum lapar. Nanti saja Kakak makannya kalau sudah lapar," ucap Amira.
"Untuk apa kamu mempedulikan perempuan mandul itu Vania. biarkan saja dia mati kelaparan," ujar Bu Meri dengan nada tinggi.
"Iya, perkataan Mama benar. Kehadiran si mandul hanya akan membuat kita tidak berselera makan saja," tambah Sinta.
"Kenapa Mama dan Kak Sinta_" ucapan Vania terhenti pada saat Amira menggelengkan kepalanya sebagai isyarat.
Amira sebenarnya merasa sakit hati mendengar ucapan Bu Meri dan Sinta, tapi dia sudah terbiasa dan kebal dengan perkataan-perkataan menyakitkan yang selalu dilontarkan oleh Ibu Mertua serta Adik iparnya tersebut.
"Vania, Kakak tidak apa-apa, jadi kamu jangan sampai berdebat dengan Mama dan Sinta. Sebaiknya sekarang kamu sarapan dulu sebelum berangkat kuliah," ucap Amira, lalu melangkahkan kaki menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
......................
Waktu saat ini sudah menunjukan pukul setengah satu siang. Akan tetapi, Amira masih enggan beranjak dari dalam kamarnya, bahkan dari pagi Amira masih belum makan.
Amira yang tengah berdzikir setelah selesai melakukan kewajibannya sebagai Umat muslim, masih bertahan di atas sajadah panjangnya ketika mendengar deru mobil Dirga memasuki halaman rumah keluarga Cakra dinata.
"Aku bisa beralasan sedang shalat, jadi aku tidak perlu menyambut kedatangan mereka," gumam Amira yang merasa enggan menyambut kepulangan Suami dan Istri keduanya, apalagi Amira masih belum sanggup melihat wajah Regina yang saat ini sudah menjadi madunya.
Amira memilih melanjutkan dzikir demi ketenangan hatinya, tapi beberapa menit kemudian terdengar suara salam diikuti suara pintu yang terbuka.
Amira tidak langsung menoleh karena dia tau jika yang datang adalah Sang Suami, dan dia lebih memilih menengadahkan kedua telapak tangannya untuk berdo'a.
Setelah selesai berdo'a, Amira baru menoleh serta menjawab ucapan salam Sang Suami yang sudah terlihat duduk di tepi ranjang.
"Wa'alaikumsalam. Maaf ya aku tidak menyambut kedatangan Mas Dirga dan Regina, soalnya aku sedang Shalat," ucap Amira dengan tersenyum manis untuk menutupi rasa sakit yang saat ini masih menyelimuti hatinya.
Dirga hanya mengangguk dengan sorot mata yang tidak lepas dari wajah Amira. Dia menatap lekat wajah Istrinya untuk menelisik dalamnya luka yang tengah Amira rasakan.
Dirga menghela napas secara kasar. Dia tau jika dari kemarin Istrinya pasti terus menangis. Selain Vania yang memberikan informasi tentang Amira yang terus menangis serta tidak mau makan, mata sembab sang istri juga tidak dapat membohongi dirinya.
"Sayang, apa Mas sudah melukai hati kamu?" tanya Dirga dengan mendekati Amira yang tengah melipat peralatan Shalat.
Amira mencoba menghindar karena untuk saat ini dia tidak mau disentuh oleh Dirga. Apalagi Amira kembali mengingat jika semalam Suaminya telah berbagi keringat dengan perempuan lain.
"Kenapa Mas bertanya seperti itu? Aku rasa sekarang semua itu sudah tidak penting lagi," ucap Amira dengan tersenyum tipis, tapi dia masih pura-pura menyibukan diri melipat peralatan Shalat.
Dirga kembali mendekati Amira, tapi kali ini Amira tidak bisa menghindar lagi karena Dirga menghimpit tubuh Amira pada tembok dengan jarak wajah yang sangat dekat.
"Mas kangen sekali sama kamu sayang," ucap Dirga dengan mendekatkan bibirnya pada bibir Amira, tapi Amira langsung melengos sehingga bibir Dirga hanya bisa menyentuh pipinya.
"Aku juga Mas," ucap Amira dengan terus memalingkan wajahnya.
Ketika melihat Dirga sedang lengah, Amira bergegas melepaskan diri dengan alasan ingin menyimpan Al-Qur'an.
"Aku mau menyimpan Al-Qur'an dulu Mas," ucap Amira, lalu melangkahkan kaki menuju rak buku.
Dirga terus mengikuti langkah Amira, lalu dia memeluk tubuh Istrinya tersebut dari belakang.
"Mas Dirga kenapa sih? Bukannya semalam Mas sudah mendapat kesenangan dari Istri baru Mas?" sindir Amira yang merasa kesal terhadap Suaminya tersebut.
"Amira_" protes Dirga, tapi dia tidak melanjutkan perkataannya supaya tidak melukai hati sang istri.
"Kenapa Mas? Aku berkata benar kan?" ujar Amira dengan tertawa kecil untuk menutupi luka hati yang tengah dia rasakan.
"Sayang, kamu tau sendiri kalau Mas terpaksa melakukan semua itu, jadi Mas mohon jangan berkata seperti itu lagi," ucap Dirga dengan mengeratkan pelukannya.
Amira akhirnya hanya bisa pasrah dalam pelukan Dirga, apalagi tidak dapat dia pungkiri jika dia juga sangat merindukan pelukan Suaminya tersebut.
Cinta adalah anugerah, tapi cinta juga bisa berubah menjadi musibah. Tuhan, semoga luka cinta yang aku rasakan bisa segera sembuh dan berganti dengan keikhlasan, ucap Amira dalam hati dengan menahan sesak dalam dadanya.
Terimakasih banyak kepada Teman-teman yang sudah berkenan membaca karya receh saya.
Semoga bacanya gak lompat-lompat serta bersedia membaca sampai ceritanya selesai.
Mohon dukungannya juga dengan tekan tombol like dan subscribe supaya Author semangat melanjutkan ceritanya. Sehat dan sukses selalu untuk semuanya, 🙏
*
*
Bersambung