Aluna, 23 tahun, adalah mahasiswi semester akhir desain komunikasi visual yang magang di perusahaan branding ternama di Jakarta. Di sana, ia bertemu Revan Aditya, CEO muda yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti drama. Aluna yang ceria dan penuh ide segar justru menarik perhatian Revan dengan caranya sendiri. Tapi hubungan mereka diuji oleh perbedaan status, masa lalu Revan yang belum selesai, dan fakta bahwa Aluna adalah bagian dari trauma masa lalu Revan membuatnya semakin rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Aluna kembali ke ruang kerjanya, tapi ia terkejut saat mendapati meja kerjanya sudah hilang. Belum sampai ia berakhir dengan keterkejutannya tiba-tiba kak Dimas datang menghampiri.
"Aluna, apa yang terjadi? Apa yang pak Revan katakan?" tanyanya dengan cepat, ia juga tampak cemas.
Aluna hanya bisa menggelengkan kepalanya, tubuhnya kaku. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.berada di ruangan itu lima belas menit saja sudah membuat jantungnya ingin berpindah tempat, bagaimana kalau setiap hari berhadapan.
Mati aku ...., Aluna menepuk keningnya, jadi dia benar-benar serius ya? Atau ia ingin balas dendam karena aku sudah menyewanya waktu itu?
Aluna menghela nafas, rasanya seluruh tulang belulangnya sudah tidak berada di tempatnya lagi, ototnya terasa tidak berfungsi. Ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai dengan tatapan kosong, tentu hal itu membuat kak Dimas panik, kak Dimas segera meminta yang lain untuk mengambilkan air minum untuk Aluna.
"Minumlah dulu." kak Dimas menyodorkan gelas itu dan Aluna dengan sekali tegukan menghabiskan isi gelas itu hingga kosong, rasanya tenggorokannya benar-benar kering.
"Aku kayaknya akan mati deh, kak Dimas." ucap Aluna lemah membuat Dimas bingung.
"Apa yang terjadi? Apa pak Revan menyakitimu? Atau kamu di pecat sebagai karyawan magang?" tanya kak Dimas penasaran.
Aluna hanya terus menggeleng dengan semua pertanyaan yang kak Dimas ajukan.
"Lalu apa yang terjadi? Kenapa pak Bastian meminta OB buat mengemasi barang-barang kamu, bahkan meja kamu?"
"Pak Revan minta Aluna buat kerja di bawahnya langsung."
Seketika mata kak Dimas melebar menatap Aluna, "Jadi barang-barang itu_?"
Aluna menganggukkan pasrah, "Iya kak, barang-barang dan mejanya di pindahkan ke ruangan pak Revan."
Seketika wajah khawatir kak Dimas berubah menjadi senyum bahagia, "Bagus dong itu. Tidak pernah loh sebelumnya pak Revan sampai seperti itu sama anak magang."
"Sepertinya pak Revan dendam sama aku," gumam Aluna lirih tapi masih bisa di dengar oleh kak Dimas karena posisi mereka yang cukup dekat.
"Dendam? Dendam apa?" tanya kak Dimas
Aluna yang sadar dengan kata-kata nya sendiri segera menggelengkan kepalanya dan mengulas senyum agar kak Dimas tidak curiga, "Enggak kok kak, aku hanya bercanda. sepertinya bentar lagi waktunya pulang. Sebaiknya kita siap-siap, kak."
"Kamu benar, baiklah ayo siap-siap." kak Dimas pun akhirnya berdiri kemudian membantu Aluna untuk berdiri, " untuk sementara pakek tempat duduk yang ada aja kalau nggak mau ke ruang pak Revan, tunggu setengah jam lagi udah waktunya pulang."
"Baik, kak."
***
Langit sore ini cukup cerah, cahaya mataharis enja menerobos jendela kaca kafe tempat Aluna dan Tifani duduk, sesekali Tifani menutup pelipisnya dengan tangan karena masih merasa panas, berkali-kali Tifani mencroll group kelasnya, ia merasa tidak ada yang aneh tapi melihat ekspresi wajah sahabatnya yang tidak bersemangat itu, sepertinya ia telah melewatkan sesuatu.
Brakkkkk
Aluna terjingkat, "Fani, apa-apaan sihhhh!?" protesnya saat merasakan terkejut.
Tifani tersenyum dan kembali duduk setelah menggebrak meja, "Gue pikir dari tadi lagi duduk sendiri, rupanya ada orang di depan gue."
"Apaan sihhhh....," Aluna menghela nafas kemudian kembali menatap ke arah jendela di sampingnya, menatap lalu lalang jalanan di seberang kafe tempat mereka nongkrong.
"Lagian dari tadi diam aja, Lo kenapa sih?"
Aluna menoleh ke arah sahabatnya, mengerucutkan bibirnya, "Gue bakal mati berdiri kayaknya, Fan." sambil menunjukkan ekspresi ingin menangis.
"Lo di pecat dari tempat magang?" tanya Tifani mulai khawatir dan Aluna menggelengkan kepalanya.
"Lalu? Lo dimarahi sama bos?" tanya Tifani lagi dan sekali lagi Aluna menggelengkan kepalanya.
"Trus apa dong?"
"Mulai besok gue harus satu ruang sama CEO, Fan." ucap Aluna sembari cemberut tapi berbeda dengan Tifani yang mengedipkan matanya berkali-kali, bibirnya juga tersenyum.
"Itu serius?" tanyanya tidak percaya dan Aluna mengangguk kepalanya.
"Lo udah naik jabatan sebelum selesai magang dong artinya?!"
"Nggak gitu, gue tetap jadi anak magang yang gajinya nggak ada."
Tifani berdiri dan meraih kedua bahu sahabatnya itu, ia menggoyang sebentar dan menatap intens pada sahabatnya itu, "Apapun itu ...., tetap saja itu bagus. Artinya peluang buat jadi karyawan tetap itu bakal terbuka lebar."
Aluna tetap tidak terpancing dengan senyum Tifani, ia melepaskan tangan Tifani dari bahunya kemudian duduk dan menghela nafas, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kayu yang tengah ia duduki, "Lo nggak tahu, Fan. Betapa songong dan dingin CEO itu."
"Tapi tampan kan? Masih muda kan?" tanya Tifani dengan mata yang masih berbinar.
"Lo sudah lihat orangnya kok." ucap Aluna malas.
Tifani mengerutkan keningnya, sepertinya ia tengah mengingat-ingat sesuatu, "Kapan...? gue nggak ngerasa ketemu."
Aluna menghela nafas lagi, "Cowok dingin yang waktu itu kita sewa tanpa sengaja buat manasin Dirga."
Mendengar ucapan Aluna, Tifani begitu terkejut hingga ia menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan telapak tangan, "Lo serius ......?"
"Iya!" jawab Aluna dengan tegas, "Dan ini juga gara-gara lohhhh. Coba kalau loh nggak ngaku-ngaku kalau dia calon suami gue,"
"Hehhhh ..., rumit sekali hidup loh."
"Emang."
Bersambung
Happy reading