Ayla, pegawai biasa yang diangkat menjadi resepsionis di perusahaan terkenal, terpaksa menjadi wanita malam demi biaya pengobatan adiknya. Di malam pertamanya, ia harus melayani pria yang tak disangka—bosnya sendiri. Berbeda penampilan, sang CEO tak mengenalinya, tapi justru terobsesi. Saat hidup Ayla mulai membaik dan ia berhenti dari pekerjaan gelapnya, sang bos justru terus mencari wanita misterius yang pernah bersamanya—tanpa tahu wanita itu ada di dekatnya setiap hari. Namun, skandal tersebut juga mengakibatkan Hana hamil anak bosnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DENDAM
Seiring waktu berlalu tanpa terasa, rapat akhirnya selesai. Para kolega bisnis Rei pun mulai bersiap untuk bubar, satu per satu meninggalkan ruangan dengan langkah tenang namun tetap berwibawa. Rei yang sejak tadi duduk di kursinya segera berdiri, mengikuti gerakan rekan-rekannya yang saling berjabat tangan dan bertukar salam perpisahan. Meskipun mereka berpisah untuk sementara, malam nanti mereka akan kembali bertemu dalam acara penting yang telah lama dinantikan.
Di tengah kesibukan itu, Hido mendekat ke arah Leo, lalu dengan nada rendah namun penuh makna, ia berbisik sembari menepuk pundak pria itu, "Bersiaplah untuk acara terpenting tahun ini." Tak ada tambahan kata-kata lain, hanya pesan singkat yang menyiratkan betapa krusialnya malam ini bagi mereka semua. Setelah mengatakan itu, Hido pun melangkah pergi, bergabung dengan rekan-rekannya yang sudah lebih dulu keluar dari ruangan.
Di sisi lain, Vino yang juga hendak pergi, tiba-tiba menghentikan langkahnya tepat di depan Leo. Matanya menatap tajam seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Namun sebelum suasana berubah menjadi tegang, Kenzo yang berdiri di sampingnya tetap bersiaga, takut jika keduanya kembali bertengkar seperti sebelumnya. Ia tak ingin situasi yang sudah cukup terkendali berubah menjadi konflik yang tak perlu.
Vino menatap Leo dengan sorot mata penuh kemenangan, lalu dengan suara rendah namun cukup jelas untuk menusuk, ia berbisik dengan nada menyindir, "Setidaknya, meski aku tidak menang dalam acara nanti malam, aku sudah berhasil merebut Viola darimu."
Setiap kata yang diucapkannya begitu tajam, seolah sengaja menekan luka lama yang masih membekas di hati Leo. Vino tak menunggu reaksi apa pun. Setelah mengucapkan kalimat itu, ia segera melangkah pergi dengan penuh percaya diri, meninggalkan Leo dalam kebisuan yang mencekam. Ia tahu betul bahwa pria di depannya pasti sedang menahan gejolak emosi yang luar biasa. Kehilangan cinta pertama tentu bukan hal mudah, terlebih lagi jika orang yang merebutnya adalah seseorang yang selama ini menjadi pesaing terbesarnya.
Ya, Vino-lah yang telah merebut Viola dari Leo. Wanita yang dulu begitu dicintai Leo, kini menjadi miliknya. Namun, pernikahan mereka bukanlah sekadar kisah cinta biasa. Vino tidak menikahi Viola karena cinta yang tulus, melainkan karena ambisinya untuk mengalahkan Leo dalam segala hal, termasuk dalam urusan hati.
Sejak dulu, Vino selalu merasa kalah dibandingkan dengan Leo. Tak peduli seberapa keras ia berusaha, Leo selalu selangkah lebih maju darinya—baik dalam bisnis, pergaulan, maupun pencapaian hidup lainnya. Rasa iri yang terus tumbuh dalam hatinya perlahan berubah menjadi kebencian. Hingga akhirnya, ketika ia menyadari bahwa satu-satunya hal yang paling berharga bagi Leo adalah Viola, ia pun mengambil kesempatan itu.
Menikahi Viola bukan hanya tentang cinta bagi Vino. Itu adalah langkah strategisnya untuk menorehkan satu kemenangan atas pria yang selama ini membuatnya merasa rendah diri. Dan kini, setelah berhasil mendapatkan wanita yang menjadi cinta pertama Leo, ia merasa puas.
Sementara itu, Leo hanya bisa berdiri mematung, matanya menatap kosong ke arah kepergian Vino. Kata-kata yang baru saja didengarnya terasa seperti belati yang menghujam langsung ke jantungnya. Bukan hanya karena ia telah kehilangan Viola, tetapi karena kenyataan bahwa orang yang merebutnya tidak pernah benar-benar mencintainya, melainkan hanya ingin menjadikannya alat untuk menyakiti dirinya.
Hati Leo berkecamuk, namun ia tahu bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk menunjukkan kelemahan. Ia menggenggam tangannya erat, berusaha menekan emosi yang hampir meledak.
Kenzo menatap Leo dengan penuh perhatian, lalu dengan gerakan lembut namun tegas, ia menepuk punggung sepupunya, berusaha menyadarkannya agar tetap tenang. Ia bisa melihat jelas bagaimana rahang Leo mengeras, bagaimana matanya menyala penuh amarah, dan bagaimana kedua tangannya mengepal kuat, seakan menahan dorongan untuk meluapkan emosinya saat itu juga.
Leo diam, dadanya naik turun cepat menahan gejolak dalam dirinya. Ia tahu jika ia terpancing sekarang, itu hanya akan menjadi kemenangan bagi Vino. Tapi tetap saja, rasa kesal itu tak bisa begitu saja ia enyahkan. Dengan kesal, ia menghentakkan kakinya ke lantai, lalu tanpa berkata apa pun, ia berbalik dan melangkah cepat meninggalkan ruangan.
"Sialan!" gerutunya lirih, namun penuh dengan kemarahan yang tertahan. Ia bahkan tak ingin menoleh ke belakang, takut emosinya benar-benar meledak.
Kenzo hanya bisa menghela napas berat. Sejak awal, ia sudah menduga bahwa Vino tidak akan melewatkan kesempatan ini untuk memancing emosi Leo. Ia sangat mengenal cara kerja pria itu—senang bermain api dan menikmati saat lawannya terbakar dalam kemarahan. Dan kali ini, Vino berhasil, meskipun Leo tidak sampai meledak di tempat.
Kenzo menggeleng pelan, mendengus pelan sebelum menggumam dengan nada jengkel, "Vino, Vino... kau benar-benar pria rendahan yang tidak bisa menerima kekalahan, ya?"
Tangan Kenzo mengepal tanpa sadar, dadanya ikut dipenuhi rasa kesal setiap kali membayangkan wajah menyebalkan pria itu. Baginya, Vino bukan hanya sekadar saingan Leo, tapi juga seorang pria yang licik dan penuh kepura-puraan. Menggunakan cinta untuk melukai orang lain? Itu benar-benar cara orang pengecut.
Dengan langkah santai namun penuh pikiran, Kenzo melangkah keluar, mengikuti jejak Leo yang sudah lebih dulu pergi. Malam ini masih panjang, dan ia yakin, ini bukan akhir dari segalanya.
Saat jam kerja berakhir, suasana kantor mulai berubah. Para pekerja bersiap untuk pulang, beberapa merapikan meja kerja mereka, sementara yang lain berjalan menuju pintu keluar dengan langkah santai. Di antara mereka, Ayla juga bersiap untuk pulang. Ia meraih tasnya, memastikan semua barangnya lengkap, lalu berjalan menuju lift untuk turun ke lantai bawah.
Ketika pintu lift terbuka, ia segera melangkah masuk dan menekan tombol lantai tujuan. Namun, di tengah perjalanan, lift berhenti di salah satu lantai, dan pintunya perlahan terbuka. Saat itu juga, jantung Ayla berdegup lebih kencang ketika melihat siapa yang berdiri di depan lift.
Dua pria berkarisma dengan aura dominan berdiri di sana, memandang ke dalam dengan ekspresi tak terbaca. Siapa lagi kalau bukan Leo dan Kenzo, dua CEO paling berkuasa di perusahaan ini. Kehadiran mereka seolah membawa energi yang berbeda ke dalam ruangan kecil tersebut.
Ayla hampir refleks melangkah keluar, merasa tak mungkin ia berada satu lift dengan dua orang terpenting di perusahaan ini. Namun, sebelum ia sempat mengambil satu langkah pun, suara Kenzo yang tegas namun santai menghentikannya.
"Ah, masuk saja!" ujar Kenzo cepat, tanpa memberi celah bagi Ayla untuk menolak.
Ayla terdiam sejenak, menimbang situasinya. Tapi karena merasa tak punya pilihan lain, ia akhirnya mengangguk pelan dan kembali melangkah masuk ke dalam lift, membiarkan kedua CEO itu bergabung dengannya.
Pintu lift tertutup kembali, menciptakan suasana hening yang cukup canggung. Ayla bisa merasakan tekanan di sekelilingnya, terutama karena Leo tetap diam dengan wajah datarnya yang khas. Kenzo di sampingnya terlihat lebih santai, namun tetap membawa kesan kewibawaan yang tak bisa diabaikan.
Tak ada yang berbicara. Hanya suara mesin lift yang bekerja, sesekali terdengar napas ringan dari mereka bertiga. Ayla bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Setelah beberapa saat yang terasa lebih lama dari seharusnya, akhirnya lift mencapai lantai bawah. Pintu terbuka, dan Leo serta Kenzo melangkah keluar lebih dulu, tanpa terburu-buru namun tetap dengan langkah penuh percaya diri. Ayla tetap diam di tempatnya, memilih untuk menunggu mereka keluar sebelum ia sendiri melangkah.
Baru saja ia hendak berjalan lebih jauh, sebuah suara membuatnya berhenti.
"Ayla," panggil Kenzo, suaranya cukup jelas meski diucapkan dengan nada santai.
Ayla yang baru saja keluar dari lift segera menoleh, menatap Kenzo dengan sedikit bingung.
"Ada apa, Pak?" tanyanya dengan nada sopan, meskipun dalam hatinya, ia bertanya-tanya mengapa tiba-tiba ia dipanggil.