"Ka-kakak mau apa?"
"Sudah kubilang, jaga sikapmu! Sekarang, jangan salahkan aku kalau aku harus memberimu pelajaran!"
Tak pernah terlintas dalam pikiran Nayla Zahira (17 tahun) bahwa dia akan menikah di usia belia, apalagi saat masih duduk di bangku SMA. Tapi apa daya, ketika sang kakek yang sedang terbaring sakit tiba-tiba memintanya menikah dengan pria pilihannya? Lelaki itu bernama Rayyan Alvaro Mahendra (25 tahun), seseorang yang sama sekali asing bagi Nayla. Yang lebih mengejutkan, Rayyan adalah guru baru di sekolahnya.
Lalu bagaimana kisah mereka akan berjalan? Mungkinkah perasaan itu tumbuh di antara mereka seiring waktu berjalan? Tak seorang pun tahu jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 07 Kita Gak Bisa Balikan
"Nay!" panggil Tania sambil menepuk pundak sahabatnya itu.
"Astaghfirullah hal'adziim, Tania! Lo ngagetin banget sumpah!" Nayla mengelus dadanya, jantungnya berdebar karena kaget oleh ulah Tania.
"He he, habisnya dari tadi gue panggil-panggil lo gak nyaut-nyaut, sih!" ucap Tania sambil nyengir lebar.
"Iya, padahal dari tadi gue ikut panggilin loh Nay," tambah Alika sambil menaikkan alis.
"Masa sih?" Nayla mengerutkan kening. "Kok gue gak denger ya?"
"Ya mana kita tau. Lo lagi mikirin apa sih? Gue perhatiin, akhir-akhir ini lo sering banget ngelamun tau," ucap Tania menatap Nayla, penuh selidik.
"Ah gak kok," elak Nayla cepat-cepat dengan senyum gugup. Mana mungkin ia jujur kalau yang memenuhi pikirannya adalah kejadian Rayyan mencium bibirnya tadi pagi. Kalau dia cerita, bisa heboh seantero sekolah.
"Kalo lo ada masalah cerita aja Nay. Gue sama Tania siap dengerin lo," ujar Alika lembut.
"Iya bener. Kita jamin rahasia lo aman kok. Kita gak bakal nyebar-nyebarin," timpal Tania meyakinkan.
Nayla tersenyum kecil. "Iya, insyaallah kalo gue ada masalah gue pasti cerita. Sekarang ini beneran gak ada masalah."
Tania dan Alika saling pandang, lalu tersenyum. "Ya udah, yuk masuk kelas!" ajak Alika, semangat.
Mereka bertiga berjalan beriringan menuju kelas. Namun, baru beberapa langkah, Tania melirik Nayla dengan tatapan jahil.
"Eh Nay, by the way tadi yang nganterin lo siapa? Kok mobilnya beda lagi? Bukan mobil yang kemarin."
Nayla refleks membelalakkan mata, panik. Pandangannya mencari alasan. "I-itu... itu Kakak sepupu gue," jawabnya tergagap.
"Kakak sepupu? Lah, bukannya bokap lo anak tunggal ya?" Tania menyipitkan mata curiga.
"E-emm kakak sepupu jauh. Ribet kalo diceritain silsilahnya," jawab Nayla, menyesali kebohongan yang terlanjur keluar dari mulutnya.
Mereka pun sampai di kelas. Masing-masing duduk di bangku mereka. Tapi Tania masih penasaran. "Kakak sepupu lo itu cowok apa cewek Nay?"
Nayla menoleh santai. "Emangnya kenapa?"
Alika menyenggol lengan Tania. "Mungkin Tania mau minta dikenalin Nay," candanya.
Tania tertawa. "Ha ha, ya kali!"
Nayla menggeleng, tersenyum. "Cowok. Tapi dia udah punya istri."
Tania mendesah kecewa. "Yah padahal gue berharap dia masih single."
Alika dan Nayla hanya terkekeh. Tapi topik langsung berubah saat Ida menyinggung soal Dafa. "Eh Nay. Lo beneran mau putus sama Dafa? Gue masih gak percaya, sumpah."
Wajah Nayla langsung muram. Hatinya terasa diremas. Ia mencintai Dafa, hubungan mereka sudah berjalan lebih dari setahun. Tapi keadaan memaksanya untuk mengakhiri semuanya.
"Nay?" panggil Tania lembut.
Nayla menarik napas panjang, mencoba menahan rasa sesak di dadanya. "Iya gue lagi ada masalah. Tapi maaf, gue belum bisa cerita sekarang," ujarnya pelan.
Dan soal Dafa "Gue cuma ngerasa udah gak pantas buat dia. Gue bumi, dia langit. Kita gak akan pernah bisa bersatu, sama kayak air dan minyak."
Tania dan Alika hanya diam, membiarkan Nayla meluapkan isi hatinya.
"Dafa pasti gak setuju kan?" tanya Alika, mengingat betapa keras kepalanya cowok itu.
Nayla tersenyum getir. "Dia gak mau putus,Ka. Tapi gue harap dia bisa paham sama gue."
"Tapi alasan lo minta putus bukan cuma itu aja kan, Nay? Pasti ada alasan lain," kejar Tania.
"I-itu kar..."
"Selamat pagi, anak-anak!" Sebuah suara lantang dari guru memotong ucapan Nayla. Ia terselamatkan dari keterusterangan.
Pukul sepuluh tepat, bel istirahat berbunyi nyaring. Guru mereka pamit, dan siswa-siswi langsung berhamburan keluar kelas. Tapi Nayla, Tania, dan Alika memutuskan untuk menunggu suasana agak lengang.
"Hah, akhirnya istirahat juga," keluh Tania sambil meregangkan tubuh.
"Yuk, ke kantin!" ajak Alika dengan antusias.
"Mari!" sahut Tania.
Namun, sebelum melangkah, Ida menatap Nayla penuh selidik.
"Eh tapi Nay. Lo gak apa-apa? Mukanya lesu banget."
Nayla tersenyum kecil. "Gue fine-fine aja kok."
Mereka bertiga akhirnya berjalan menuju kantin, bercanda di sepanjang koridor.
"Kalian mau pesan apa? Biar gue aja yang pesen," tawar Alika ketika mereka sampai.
"Gue mie ayam, minumnya teh botol," jawab Nayla.
"Gue ikut pesen yang sama," tambah Tania.
"Oke tunggu di meja ya, gue pesenin."
Nayla dan Tania pun mencari tempat duduk kosong.
"Nay di pojok sana kosong tuh, enak buat nyantai," tunjuk Tania.
"Oke yuk."
Tidak lama kemudian, Alika kembali dengan nampan berisi pesanan. "Kebetulan lagi gak ngantri," katanya sambil duduk.
Mereka makan sambil bercengkerama santai. Namun, di tengah obrolan, Tania mengangkat alis. "Eh, perasaan tadi gue gak liat Pak Rayyan ya?"
"Iya gue juga," Alika mengiyakan.
"Dia emang gak ada jadwal ngajar hari ini," Nayla menjawab cepat, namun langsung menyesal karena keceplosan.
Tania dan Alika serempak menatapnya curiga. "Kok lo bisa tau?" tanya Tania mencurigai.
Nayla buru-buru meralat. "Ya nebak doang sih."
Tania mendengus. "Kirain lo beneran tau."
Nayla tertawa kaku. "Mana mungkin gue tau."
Namun kemudian Alika membuka topik yang membuat jantung Nayla berdegup lebih cepat.
"Eh jangan-jangan bener kata Dafa, Pak Rayyan bakalan dipecat gara-gara masalah dia?"
Nayla berhenti mengunyah. Pikirannya kalut. "Gak mungkin, Kak Rayyan pasti cerita kalo itu beneran terjadi," batinnya.
Tania mengangguk pelan. "Iya juga sih. Tapi inget gak, dulu pernah ada guru yang dimutasi karena bermasalah sama Dafa?"
"Ada kemungkinan juga sih," timpal Alika.
Nayla bangkit berdiri tiba-tiba. "Guys gue ke toilet dulu ya," pamitnya buru-buru.
"Eh lo makannya belum abis Nay!" seru Alika.
Nayla hanya melambaikan tangan sambil berjalan cepat. "Gue udah kebelet!"
Tania dan Alika saling pandang. "Ada yang aneh Ka," gumam Tania.
"Ya udah kita makan aja dulu," balas Alika pasrah.
Nayla masuk ke toilet, memastikan situasi aman, lalu segera masuk ke bilik. Ia mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor Rayyan.
"Hallo, assalamu'alaikum," terdengar suara Rayyan di seberang.
"Hallo Kak. Aku di toilet," ucap Nayla.
"Kalau di toilet kenapa malah nelepon?" jawab Rayyan terdengar tergesa.
"Aku mau tanya sesuatu."
"Apa? Saya lagi sibuk Nay."
"Apa Kakak dipecat dari sekolah?" tanya Nayla pelan.
"Siapa yang bilang?" suara Rayyan terdengar berbeda, sedikit ketus.
"Gak ada, cuma..."
"Kamu takut saya diberhentikan gara-gara si Dafa itu?"
"Bu-bukan gitu Kak. Aku cuma pengen tau aja. Soalnya Kakak tiba-tiba ke kantor, padahal udah seminggu Kakak di rumah terus."
"Saya ke kantor karena ada urusan. Udah saya bilang saya lagi gak ada jadwal ngajar."
"Ya udah, kalo gitu. Gak usah marah, dong," Nayla mendengus pelan.
"Saya tutup ya, saya sibuk."
Klik
Nayla mendelik ke ponselnya. "Dasar suami ngeselin!" gumamnya kesal.
Ia keluar dari toilet, namun langkahnya terhenti saat seseorang menghadang. "Dafa?" bisiknya.
"Kita harus bicara!" ucap Dafa serius sambil menggenggam tangan Nayla.
Nayla berusaha melepaskan genggamannya. "Daf mau bawa aku ke mana? Udah gak ada yang perlu dibahas."
Namun, Dafa terus menyeretnya menuju taman belakang sekolah.
Sesampainya di sana, Dafa berbalik menatap Nayla.
"Aku gak mau putus Nay. Aku gak bisa tidur mikirin kamu."
Nayla menggeleng. "Kita gak bisa balikan Daf."
"Jangan alasan kayak kemarin Nay. Kalo cuma soal status, aku gak peduli!"
Nayla menunduk, suaranya bergetar. "Justru karena itu Daf. Aku takut suatu saat orang tua kamu berubah pikiran. Aku gak mau nyakitin siapapun."
Dafa menghela napas panjang, matanya menatap Nayla dengan dalam. "Kalo masalah Papa kamu, aku bakal berjuang Nay. Gue bakal ngelakuin apapun biar Papa lo setuju."
Nayla menggeleng, hatinya perih. "Udah terlambat Daf."
Dafa memicingkan mata. "Atau... jangan-jangan ada cowok lain yang lo suka?"
Nayla menatapnya tajam. "Jangan ngarang! Gue cuma ngerasa gak pantas buat lo!"
Tiba-tiba, Dafa menarik Nayla ke dalam pelukannya.
"Please Nay. Jangan pergi dari hidup aku. Gue gak bisa tanpa lo."
Air mata Nayla jatuh, tangannya mengepal, tak tahu harus memilih apa. Ia juga tak sadar, dari kejauhan, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka dalam diam.