Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.
Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Cahaya di Antara Duri Bukit Barisan"
Hampir tiap hari, Liana datang ke tenda Johan.
Nggak selalu pas matahari tinggi. Kadang pagi, kadang sore.
Tapi selalu ada alasan buat ke sana. Atau, setidaknya, alasan yang bisa diceritakan ke orang lain.
Biasanya: nyuci baju para pekerja ladang.
Nyuci. Bilas. Jemur.
Selesai? Duduk sebentar di dekat tenda Johan. Ngobrol. Atau cuma diam bareng.
Kelihatannya biasa aja.
Tapi nggak ada yang benar-benar biasa kalau lo tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan.
Mungkin ini kebetulan.
Atau mungkin juga—memang ada hal-hal yang sengaja disusun semesta.
Dua orang yang sama-sama sepi. Sama-sama hancur. Tapi belum nyerah.
Yang jelas, nggak ada yang curiga.
Termasuk ayah angkat Liana sendiri.
Buat si lelaki tua itu, Liana bukan cuma anak dari panti asuhan yang dia bawa pulang bertahun-tahun lalu.
Dia cahaya terakhir. Sisa nyala dari hidup yang udah lama padam.
Istrinya mati.
Ditikam anak buahnya sendiri yang mabuk dan nggak sadar. Ayahnya langsung membunuhnya saat itu juga.
Dan sejak itu, hidupnya kayak film yang tiba-tiba di-pause.
Gelap. Datar.
Liana adalah satu-satunya alasan dia masih mau bangun tiap pagi.
Masih mau jalan. Masih mau makan.
Masih mau... hidup.
Sejak kejadian itu, lelaki tua itu berubah total.
Nggak lagi kenal kata “lunak”.
Terlalu melindungi. Terlalu takut kehilangan.
Buat dia, Liana bukan anak lagi—dia benteng terakhir.
Dan semua yang berani lihat Liana lebih dari tiga detik?
Langsung jadi target kemarahan.
Nggak ada kompromi.
Nggak ada negosiasi.
Jadi jangan heran. Liana tumbuh dalam sunyi. Nggak kenal dunia luar. Jauh dari pelukan teman. Jauh dari tawa ringan gadis seusianya. Hidupnya... sepi. Tapi dia udah biasa.
Satu-satunya temanya hanyalah Broto.
Tubuh Broto keras kayak batu.
Tangan kekar. Suara berat.
Kalau ngomong, kayak petir yang nahan diri buat nggak nyambar.
Dia guru bela diri Liana dan orang kepercayaan ayahnya.
Sekaligus pengawal yang nggak pernah jauh dari pagar rumah.
Kalau Broto ada, Liana bisa napas lebih panjang.
Kalau Broto pergi, Liana balik lagi jadi angin.
Ada, tapi nggak kelihatan.
Ada, tapi kesepiannya lebih terasa dari apa pun.
Tapi semua itu mulai geser... sejak ada Johan.
Lelaki asing. Nggak banyak bicara. Tapi kehadirannya kayak hujan pertama setelah musim panjang yang bikin tanah retak-retak.
Dia bangun tenda di tepi sungai.
Nggak jauh dari tempat Liana biasa nyuci.
Kebetulan?
Mungkin.
Atau mungkin juga—dua doa diam yang akhirnya ketemu di tengah.
Pagi itu, Liana datang bawa setumpuk baju kotor.
Langkahnya pelan. Nafasnya naik-turun.
Aroma tanah basah nyampur sama bau sabun cuci yang murah tapi jujur. Setelah menyelesaikan tugasnya, baru ia mampir ke tenda Johan.
“Hei, Jo. Lagi apa?”
Liana datang sambil senyum kecil. Capek, tapi hangat. Kayak sore yang tenang habis hujan.
“Lagi bikin kopi nih, Lia. Mau?”
Johan menjawab sambil tiup asap rokok kretek. Tipis. Kayak kenangan yang belum sempat benar-benar hilang.
“Boleh. Yang manis ya… kayak aku.”
Liana nyengir. Bercanda. Tapi nadanya pelan. Nggak berlebihan.
Mereka duduk berdua.
Nggak terlalu dekat. Tapi cukup buat ngerasa ditemani.
Kayak dua burung kecil yang nyandar di dahan yang sama. Nggak saling ganggu, tapi saling paham.
Johan mulai cerita.
Tentang perjalanannya.
Tentang hutan. Tentang kota-kota besar yang ramai dan asing.
Tentang mimpi yang belum sempat dijemput.
Liana dengerin. Sesekali ngangguk. Sesekali cuma diam.
Tapi pelan-pelan... pintu yang lama dia kunci mulai kebuka.
“Aku suka baca buku, Jo.”
Kalimat itu keluar di sela angin sore.
“Broto yang bawain. Dia juga yang ngajarin aku baca. Kalau dia pulang dari tugas, suka bawa novel kecil. Kadang cerita pendek. Tapi…”
Ia diam sebentar.
Nafasnya pelan.
“Dia juga kejam. Kalau lagi marah, bisa nyiksa siapa aja. Dia sangat kuat, hasil tempaan alam, dia pernah gulat sama beruang dan dia menang”
Johan nggak langsung jawab.
Dia ngangguk pelan. Serius.
Kalimat berikutnya keluar setelah beberapa detik yang sunyi.
“Berarti Broto itu tembok paling gede yang harus kita lewatin… kalau mau kabur dari sini.”
“Untungnya… dia lagi nggak ada. Katanya ditugaskan ke luar kota. Nggak tahu kapan pulangnya,” jawab Liana sambil menatap air sungai yang mengalir tanpa suara.
“Lia… kamu tak pernah coba kabur dari sini?”
“Dulu, waktu Ibu masih ada… aku nggak pernah kepikiran. Hidupku terasa cukup, penuh cinta. Tapi sejak Ibu pergi, semuanya berubah. Ayah berubah. Dan sejak itu juga… pekerja-pekerja mulai berdatangan—orang-orang hilang, dipaksa bekerja di sini. Dunia kami jadi kelam. Ayahku... bukan lagi ayah yang dulu.”
Johan menatapnya dengan iba. “Kadang kehilangan orang yang paling kita cintai... bisa mengubah dunia jadi begitu gelap. Bahkan matahari pun tak bisa menghangatkannya lagi.”
Liana diam, membiarkan kata-kata Johan menyusup ke hatinya.
Hari-hari berikutnya mereka lalui sambil merancang pelarian. Penuh bisik, penuh kehati-hatian. Johan mempercayai naluri Liana, dan Liana mempercayakan harapannya pada Johan.
Pada suatu siang yang murung, mereka menyusuri hutan. Liana menunjukkan jalur rahasia—rute tercepat menuju desa terdekat. Melewati akar-akar yang mencuat, daun basah, dan jalanan setapak yang seperti terlupakan oleh waktu.
Namun di tengah langkah, Johan tiba-tiba berhenti. Sesuatu menarik perhatiannya. Sesuatu yang bisa saja mengubah segalanya…
“Tunggu sebentar, Lia,” ucap Johan, menahan langkahnya secara tiba-tiba.
Liana menoleh. Pandangannya menelisik wajah Johan, seolah ingin mencari sesuatu di balik kerutan kening yang tiba-tiba muncul. “Ada apa, Jo? Apa yang kau lihat?”
Johan menunjuk ke arah semak yang tumbuh di tepi jalan setapak. Daunnya lebar, batangnya menjalar rendah, dan dari sela-selanya mencuat akar menyerupai sosok mungil manusia.
“Itu… mandragora,” gumam Johan pelan. “Tanaman yang katanya… akarnya mampu menidurkan siapa pun yang menghirupnya. Bahkan bisa membawa mereka ke dalam mimpi-mimpi yang tak jelas antara kenyataan dan khayalan.”
"Tapi aneh deh, biasanya mandragora tumbuh di daerah beriklim sedang hingga kering, seperti padang semak, lereng berbatu, atau tanah liar di sekitar Laut Tengah seperti kawasan asia barat daya, Eropa Selatan hingga Afrika Utara. Mungkin ini sebuah keberuntungan" ucap Johan sambil memastikan kalau ini benar benar tanaman Mandragora.
Liana menatap tanaman itu, matanya menyipit. “Kau tahu cara menggunakannya?”
“Aku pernah baca di sebuah artikel tua. Mungkin… ini bisa jadi kunci bagi rencana kita.”
Senyum kecil terbit dari bibir Liana, seperti kelopak bunga yang merekah perlahan. “Kau punya ide?”
Johan mengangguk. “Kita bisa membuat senjata tidur dari akarnya. Rebus, larutkan dalam air. Bukan untuk menyakiti, hanya untuk menidurkan.”
Tanpa banyak kata, mereka mulai mengumpulkan akar-akar itu. Tangan mereka bekerja dalam senyap, seperti tengah menggenggam harapan yang rapuh—tak boleh terburu, tak boleh goyah.
Setelah jumlahnya cukup, Johan berkata lembut, “Nanti, aku akan merebus akar-akar ini. Kamu tinggal mencampurkannya ke air minum mereka—air untuk memasak, air untuk mengisi kendi-kendi mereka.”
Liana terdiam. Matanya menerawang, seolah ada badai yang sedang reda di dalam dirinya.
“Tapi Jo… apakah itu akan membunuh mereka?” bisiknya. “Aku tak ingin menjadi sebab seseorang kehilangan nyawa. Terlebih… mereka adalah keluargaku.”
Johan menatap Liana dalam-dalam. Tak ada nada gurau dalam suaranya, hanya ketegasan yang tulus. “Tidak akan, Lia. Mandragora hanya membuat tidur… dan bermimpi. Dengan takaran yang tepat, mereka akan tertidur cukup lama untuk memberi kita waktu.”
Liana menunduk. Ia sedang berbicara dengan rasa bersalah dalam dirinya. Tapi ia tahu, jalan keluar kadang harus ditempuh meski di sepanjangnya penuh duri dan pilihan yang berat.
Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Baiklah. Kita akan coba.”
Hari-hari berikutnya berubah menjadi latihan kesabaran. Johan dan Liana bekerja dalam diam, menyusun rencana seperti orang merangkai bait puisi dalam gelap—pelan, hati-hati, dan penuh harap. Mereka menakar langkah, memperkirakan kemungkinan, dan membayangkan setiap rintangan.
Suatu sore, saat angin hutan terdengar seperti bisikan rahasia, mereka duduk di tepi sungai, berbicara tentang apa yang akan mereka lakukan setelah semuanya usai.
“Aku ingin ke kota,” kata Liana lirih. “Belajar. Duduk di bangku sekolah seperti anak-anak pada umumnya. Aku ingin mengajarkan orang-orang membaca. Menulis. Seperti yang Broto lakukan padaku.”
Johan tersenyum, menatap matahari yang bergeming di langit yang mulai gelap. “Kau akan hebat, Lia. Kau punya sesuatu yang tak bisa dibeli dengan uang: keberanian dan hati yang besar.”
Kemudian, sebelum matahari benar-benar larut, Johan berkata, “Sebelum hari itu tiba, mari kita saling mengenal kelemahan dan kekuatan kita.”
Johan membuka percakapan lebih dulu. “Aku tahu tanaman-tanaman liar. Mana yang bisa dimakan, mana yang beracun. Aku juga bisa membuat obat-obatan sederhana. Tapi… stamina tubuhku tak begitu kuat. Aku tak bisa berlari jauh dengan beban berat.”
Liana menatapnya, lalu mengangguk. “Kalau begitu, serahkan soal perlindungan padaku. Aku ahli bela diri. Di ladang ganja ini, hanya Broto yang belum pernah aku kalahkan. Selama dia tak ada, aku bisa jadi perisai kita. Tapi Jo… aku takut gelap. Saat malam datang tanpa cahaya, tubuhku gemetar, seolah ada sesuatu dari masa lalu yang membekapku.”
Tak ada tawa. Hanya hening yang lembut. Dan dari hening itulah lahir rasa percaya.
Dua jiwa, dua kekuatan, dua ketakutan. Mereka tahu, pelarian ini bukan hanya demi mereka berdua. Tapi juga demi banyak orang yang tak punya suara, yang hidupnya dirampas, dan yang hanya bisa berharap dari balik jeruji hutan yang begitu luas.