Rania Vale selalu percaya cinta bisa menembus perbedaan. Sampai suaminya sendiri menjadikannya bahan hinaan keluarga.
Setelah menikah satu tahun dan belum memiliki anak, tiba-tiba ia dianggap cacat.
Tak layak, dan tak pantas.
Suaminya Garren berselingkuh secara terang-terangan menghancurkan batas terakhir dalam dirinya.
Suatu malam, setelah dipermalukan di depan banyak orang, Rania melarikan diri ke hutan— berdiri di tepi jurang, memohon agar hidup berhenti menyakitinya.
Tetapi langit punya rencana lain.
Sebuah kilat membelah bumi, membuka celah berisi cincin giok emas yang hilang dari dunia para Archeon lima abad lalu. Saat Rania menyentuhnya, cincin itu memilihnya—mengikatkan nasibnya pada makhluk cahaya bernama Arven Han, putra mahkota dari dunia lain.
Arven datang untuk menjaga keseimbangan bumi dan mengambil artefak itu. Namun yang tak pernah ia duga: ia justru terikat pada perempuan manusia yang paling rapuh…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa kau Sebenarnya?
“Tentu saja, karena ku memnag bukan jin. Mulutmu itu…” kesal Arven.
Rania segera turun, matanya berkeliling melihat ruagan itu dengan tatapan kagum. Hingga sampai pada sebuah cermin besar dengan aksen kristal yang indah—membuatnya merasa menjaddi seorang putri.
Di cermin itu Rania pun melihat pakaiannya, bukan pakaian miliknya—sudah di ganti dengan piyama mewah, matanya seketika membelalak, “Kau!” Teriaknya…
“Apa?” sahut Arven mendekat.
Plak!
Tangan Rania dengan ringan menampar Erven, membuat mata beningnya membesar. Bukan karean sakit, namun karena tidak percaya ada orang yang berani menampar putra putra mahkota Eryndor.
Kaelis yang baru saja masuk, ikut membelalak melihat tuannya di tampar wanita ini. “Apa yang anda lakuakn?” tanyanya kesal.
“Dia sudah melihat seluruh tubuhku tanpa ijinku,” jawab Rania tegas, rahangnya menegas menahan amarah.
“Apa buktinya?” sergah Arven tak terima.
“Piyama ini? bagaimana bisa ada di tubuhku?”
“Itu karena dia yang menggantinya, “ campur Kaelis, menunjuk pelayan wanita bisu yang berdiri di belakang.
Rania membelalak, rasa malu merayap di dadanya. Lalu ia tersneyum, menunduk menyembunyikan wajah.
“M—maaf, aku pikir…”
“Tuan Arven tidak mungkin berbuat mesum. Ini kartu namaku, aku sendiri yang menjaminnya.”
Kaelis yang sejak tadi kesal karena Archeon-nya ditampar, kini malah berubah pamer. Ia merogoh saku jasnya dan menyerahkan kartu namanya dengan bangga kepada Rania—yang jelas-jelas adalah menantu keluarga terkaya di kota itu.
Rania menerimanya. Begitu membaca nama dan logo di kartu itu, matanya langsung membesar.
“Tuan Kaelis… Elyon Corporation?” suaranya nyaris tercekat.
Kaelis mengangkat dagu. “Kau mengenalku?”
“Tentu saja.” Rania menelan ludah, canggung. “Kita memang tidak pernah bertemu. Tapi suamiku—Garren Luxford… uh, maksudku, mantan suami. Dia sering membahas Anda.”
Rania menunduk. Namun setiap beberapa detik, ia melirik Arven—yang sejak tadi menatapnya nyaris tanpa berkedip, seperti seseorang yang sedang mempelajari sesuatu yang tidak ingin ia lewatkan.
Kaelis kembali berdehem, kembali galak. “Bisa kau minta maaf? Kau sudah menampar orang yang salah.”
Rania mengalihkan pandangan ke Arven lagi. Ia menunjuk Arven dengan telunjuknya. “Apa dia… putramu?”
Arven dan Kaelis saling menatap sejenak, seperti saling bicara lewat tatapan.
Akhirnya Arven mengangguk pelan. “Iya, dia ayahku. Kenapa?”
Kaelis membelalak, nyaris terharu—tidak percaya mendengar seorang Archeon memanggilnya ayah begitu… lugas.
“Tapi…” Rania tertegun, “tadi Tuan Kaelis memanggilmu tuan?”
Kaelis tersenyum bangga, d4danya naik turun seperti habis memenangkan lomba. “Itu karena aku sangat menghargai putraku. Kalau orang lain memanggil anak mereka ‘kakak’ atau ‘adek’, aku memanggil putraku dengan… Tuan.”
Arven menoleh perlahan ke Kaelis, seolah bertanya dalam diam, apa kau serius mengatakan itu?
Kaelis membalas dengan anggukan mantap, tetap penuh percaya diri.
“Hhh… ya Tuhan. Aku melakukan kesalahan besar,” gumam Rania dalam hati. Rasanya ingin tenggelam di lantai marmer itu.
“Aku… aku minta maaf, Tuan…” ucap Rania lirih sambil menunduk dalam-dalam.
“Bukan begitu caranya,” potong Kaelis cepat. Ia langsung mempraktikkan cara membungkuk penuh hormat, khas etiket bangsawan Eryndor.
Rania buru-buru mengikuti gerakan itu, menunduk lebih rendah. “Maafkan aku, Tuan…”
“Arven,” sahut Arven lembut tapi datar. Matanya tetap terpaku pada Rania. “Namaku Arven Han.”
Rania menelan ludah. Ia mencoba lagi. “Maafkan aku… Tuan Arven Han.” Ia membungkuk sekali lagi, lebih dalam.
Kaelis dan Arven saling melirik. Keduanya menahan tawa… dan gagal. Tawa kecil lolos dari keduanya.
Namun ketika Rania mendongak, keduanya langsung terdiam dengan sangat cepat, seperti anak SD kepergok guru BK.
Rania meremas jemarinya cemas. “Bisakah kalian… memberitahuku aku sedang berada di mana?”
“Di VEnhouse, lantai tujuh puluh lima,” jawab Arven dengan suara datar tetapi tetap sopan. “Unitmu di bawah.”
Ia menunjuk lantai marmer yang mengilap, seolah lantai itu adalah petunjuk arah paling logis.
Rania memejamkan mata kuat-kuat, menahan malu yang naik sampai ke ubun-ubun.
“Ya Tuhan… jadi benar. Unit 75 ini milik pria aneh itu…?” gumamnya dalam hati.
Arven langsung mengerutkan kening. “Aku bukan pria aneh. Tolong berhenti mengatakan itu… bahkan dalam batin.”
Rania membelalak. Ia lupa—lupa total—bahwa pria ini bisa mendengar isi hati.
“Hehehe…” ia terkekeh kaku, wajah memerah. “Baiklah. Kalau begitu, saya… pamit dulu.”
Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju pintu.
Arven tertegun. Wajahnya merosot pelan, berubah sendu seperti seseorang yang baru saja kehilangan hewan peliharaan kesayangannya.
Namun Rania berhenti tepat sebelum memegang gagang pintu. D4danya terasa sesak. Dalam sekejap, potongan-potongan ingatan muncul—mobil misterius yang mengejarnya, Arven yang duduk di sampingnya di waktu yang tidak mungkin, dan tiba-tiba ia sudah di tempat ini… masih hidup.
Siapa dia sebenarnya? Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku masih hidup?
Pertanyaan itu menumpuk, mengiris d4da.
Apa pun itu… aku tetap harus berterima kasih padanya…
Rania membalikkan badan—kembali ke ruang tamu. Arven yang tadi terlihat sedih, seketika tersenyum saat melihatnya kembali mendekat.
Kaelis dari sudut ruangan mengamati, seolah sedang menonton drama favorit.
“Terima kasih,” ucap Rania tulus. Ia membungkuk sekali lagi. “Anda sudah menyelamatkan saya.”
Lalu ia menatap Arven lama—tatapan penuh tanya, penuh rasa ingin tahu.
Siapa kau sebenarnya…?
Arven membalas tatapan itu tanpa berkedip, seolah ia juga menunggu ucapan itu keluar dari bibir Rania.
*
Terimakasih sudah membaca karyaku.
Sehat selalu kesayangan.
Jangan lupa Komen, like dan Vote yaaa..
agar karya Biyaa bisa punya kesempatan nangkring di beranda NT hehe...
aaah dasar kuntilanak
toh kamu yaa masih ngladeni si jalànģ itu