Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Panggilan Tak Terduga
Pagi itu di kantor pusat Rahardian Group, suasana tampak sibuk namun hening dan teratur, tipikal perusahaan korporat kelas atas. Lantai marmer memantulkan bayangan orang-orang berjas yang berjalan tergesa.
Di lantai paling atas, Adit duduk di kursi kebesarannya, memutar sebuah pena mahal di jari-jarinya. Di hadapannya, Pak Hadi, manajer HRD senior yang rambutnya sudah memutih, berdiri sambil menyerahkan sebuah map biru.
"Ini data yang Bapak minta tentang Saudari Nayla Anindya," ujar Pak Hadi dengan nada hormat.
Adit membuka map itu. Lembar pertama menampilkan pasfoto Nayla dengan latar belakang biru. Wajahnya terlihat lebih muda di foto itu, mungkin diambil beberapa tahun lalu saat baru lulus kuliah. Matanya berbinar penuh harap, berbeda dengan sorot mata lelah yang Adit lihat kemarin siang.
Adit membaca ringkasan profilnya:
Lulusan S1 Manajemen dari universitas negeri ternama. IPK 3.65 (Cumlaude). Pernah aktif di organisasi mahasiswa.
"Potensinya bagus, Pak," komentar Pak Hadi, melihat bosnya terdiam cukup lama. "Tapi karirnya sepertinya mandek. Dia sempat vakum kerja dua tahun—kemungkinan cuti melahirkan dan mengurus anak—lalu baru bekerja lagi di PT. Sinar Logistik sebagai staf admin biasa selama tiga tahun terakhir."
"Gajinya sekarang?" tanya Adit tanpa mengalihkan pandangan dari kertas.
Pak Hadi menyebutkan angka. Sebuah angka UMR Jakarta pas-pasan.
Adit mendengus pelan. Angka itu bahkan lebih kecil dari biaya perawatan bulanan satu mobil mewahnya. Bagaimana wanita itu bisa menghidupi anak dan neneknya dengan uang segitu di Jakarta? Kekaguman Adit pada ketangguhan Nayla bertambah satu poin lagi.
"Divisi Logistik di bawah Pak Broto sedang butuh Senior Staff Admin untuk proyek Apartemen Cempaka, kan?" tanya Adit.
"Benar, Pak. Kami sudah pasang iklan lowongan seminggu lalu tapi belum dapat kandidat yang cocok. Kebanyakan pelamar fresh graduate yang belum tahan banting di lapangan."
"Panggil dia," perintah Adit tegas, menutup map itu. "Bilang kalau kita menemukan profilnya dari database LinkedIn atau jobstreet—karang saja alasan yang masuk akal. Saya mau dia diwawancara besok. Dan Pak Hadi... tolong pastikan prosesnya adil, tapi prioritaskan dia jika kemampuannya memang sesuai."
"Baik, Pak. Tapi... maaf jika saya lancang, apakah dia kenalan Bapak?" tanya Pak Hadi hati-hati. Jarang sekali CEO muda ini turun tangan langsung mengurusi rekrutmen staf level menengah.
Adit menatap Pak Hadi tajam, namun bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Dia orang yang pernah menyelamatkan aset paling berharga perusahaan ini, Pak Hadi."
Pak Hadi mengernyit bingung, tapi tidak berani bertanya lebih lanjut. "Aset berharga? Saham? Dokumen rahasia?" batinnya bertanya-tanya.
"Laksanakan, Pak Hadi."
"Siap, Pak."
Sementara itu, di sebuah ruko pengap di Jakarta Timur.
"Naylaaa!"
Teriakan membahana itu membuat Nayla yang sedang menginput data di komputer tua tersentak kaget. Ia buru-buru berdiri.
"Iya, Pak?"
Seorang pria paruh baya dengan perut buncit dan kemeja yang kancingnya hampir lepas menghampiri meja Nayla. Itu Pak Joko, bos pemilik ekspedisi tempat Nayla bekerja. Wajahnya merah padam.
"Kamu gimana sih kerjanya?! Itu klien dari Surabaya komplain, katanya barang yang sampai kurang dua koli! Kamu salah input surat jalan lagi ya?!" bentak Pak Joko, semburan ludahnya nyaris mengenai wajah Nayla.
Nayla menunduk, tangannya meremas ujung rok. "Maaf, Pak. Tapi saya sudah cek dua kali kemarin. Yang memuat barang ke truk itu Bagian Gudang, Mas Tono. Saya hanya input sesuai kertas yang dikasih Mas Tono."
"Alah! Jangan nyalahin orang lain! Kamu itu admin, tugasmu ngecek! Kalau ada selisih, kamu yang tanggung jawab! Potong gaji kamu bulan ini buat ganti rugi!"
Mata Nayla membelalak. "Tapi Pak... ganti ruginya berapa? Gaji saya bulan ini saja sudah habis buat bayar kontrakan..." suaranya tercekat.
"Bodo amat! Siapa suruh nggak teliti! Udah, sana urus lagi! Jangan sampai klien kabur gara-gara kamu!" Pak Joko menggebrak meja Nayla, lalu pergi masuk ke ruangannya sambil membanting pintu.
Nayla terduduk lemas di kursinya. Air mata menggenang di pelupuk matanya, tapi ia tahan sekuat tenaga. Rekan kerjanya yang lain hanya menunduk, pura-pura sibuk, tidak berani membela.
Potong gaji.
Dua kata itu terasa seperti vonis mati. Bagaimana ia bisa beli susu Nando minggu depan? Bagaimana kalau Nenek sakit lagi?
Nayla menatap layar komputernya yang buram. Rasanya ia ingin berteriak, ingin lari, ingin berhenti. Tapi ia tidak punya pilihan. Ia butuh pekerjaan ini, seburuk apapun lingkungannya.
Drrt... Drrt...
Ponsel Nayla di atas meja bergetar. Sebuah nomor telepon rumah (landline) dengan kode area Jakarta Selatan 021-52xxxx masuk.
Nayla menghapus air matanya kasar, menarik napas panjang untuk menetralkan suaranya, lalu mengangkat telepon. Mungkin itu komplain dari klien lain. Ia harus siap dimaki lagi.
"Halo, selamat siang, PT. Sinar Logistik," sapa Nayla dengan suara serak namun profesional.
"Selamat siang. Bisa bicara dengan Ibu Nayla Anindya?" Suara di seberang sana terdengar sangat sopan, suara seorang wanita muda yang renyah.
"Saya sendiri. Ini dengan siapa ya?"
"Perkenalkan Bu Nayla, saya Siska dari HRD Rahardian Group."
Jantung Nayla berhenti berdetak sedetik.
Rahardian Group?
Perusahaan raksasa yang gedung pencakar langitnya sering ia lihat dari kejauhan itu? Perusahaan yang iklannya ada di mana-mana?
"I-iya, Mbak Siska. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Nayla gugup. Pikirannya langsung curiga. Penipuan? Pinjol?
"Begini Bu Nayla, kami sedang mencari kandidat untuk posisi Senior Staff Admin di divisi Properti & Logistik. Tim Talent Acquisition kami melihat profil Ibu di portal pencari kerja dan merasa kualifikasi Ibu sangat cocok dengan yang kami butuhkan. Apakah Ibu Nayla sedang terbuka untuk kesempatan karir baru?"
Nayla ternganga. Mulutnya terbuka sedikit tapi tidak ada suara yang keluar.
Kesempatan karir baru? Di saat ia baru saja diancam potong gaji? Apakah ini mimpi? Atau doa Nenek yang menembus langit?
"Halo? Bu Nayla? Masih tersambung?"
"Eh, iya! Masih, Mbak!" jawab Nayla cepat, nyaris berteriak saking semangatnya. "Maaf, saya... saya kaget. Beneran ini dari Rahardian Group?"
Terdengar tawa kecil yang sopan dari seberang. "Benar, Bu. Kantor kami di Rahardian Tower, Jalan Jendral Sudirman. Kalau Ibu berminat, kami ingin mengundang Ibu untuk wawancara user besok pagi jam 10.00. Apakah bisa?"
Besok pagi? Itu artinya ia harus izin kerja. Pak Joko pasti akan marah besar. Tapi... persetan dengan Pak Joko. Kesempatan seperti ini mungkin tidak datang dua kali seumur hidup.
"Bisa, Mbak! Sangat bisa. Saya akan datang," jawab Nayla tegas.
"Baik. Undangan resminya akan saya kirim via WhatsApp dan email ya, Bu. Di sana ada detail lokasi dan dokumen yang perlu dibawa. Sampai ketemu besok, Bu Nayla."
"Terima kasih banyak, Mbak Siska. Selamat siang."
Klik. Sambungan terputus.
Nayla menatap ponselnya dengan tangan gemetar.
Rahardian Group.
Ia pernah mendengar rumor kalau gaji admin di sana bisa tiga kali lipat dari gajinya sekarang. Plus asuransi kesehatan, plus bonus tahunan.
"Ya Allah..." bisik Nayla.
Di seberang ruangan, Pak Joko keluar lagi dari ruangannya sambil berkacak pinggang. "Nayla! Ngapain bengong?! Kerjain itu laporannya!"
Kali ini, bentakan Pak Joko tidak lagi terdengar menakutkan bagi Nayla. Suara itu terdengar kecil, seperti gonggongan anjing chihuahua di kejauhan.
Nayla menatap bosnya itu, lalu kembali menatap layar komputer. Ada api semangat baru yang menyala di dadanya.
"Tunggu saja," batin Nayla. "Kalau aku diterima besok, detik itu juga aku akan lempar surat pengunduran diri di mejamu, Pak Tua."
Di kantor Rahardian Group, Adit menerima pesan singkat di ponselnya dari Pak Hadi.
Undangan interview sudah dikirim dan dikonfirmasi, Pak. Dia bisa datang besok jam 10.
Adit tersenyum puas. Ia berdiri, berjalan menuju dinding kaca besar di ruangannya yang menghadap ke hiruk-pikuk Jakarta di bawah sana.
"Selamat datang di duniaku, Nayla," gumamnya. "Mari kita lihat, apakah kamu masih sekeras kepala itu saat berhadapan dengan kontrak kerja profesional."
Tanpa Adit sadari, ia sedang menunggu hari esok dengan antusiasme yang aneh. Bukan antusiasme seorang CEO yang akan mendapat karyawan baru, tapi antusiasme seorang pria yang ingin melihat lagi wanita yang telah mengusik egonya.
...****************...
Bersambung....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️