Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca
Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—
“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”
Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.
Diam.
Nggak nyaut sepatah kata pun.
Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭
Malu? Jelas.
Tapi sialnya, malah keterusan.
Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.
Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.
Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...
Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!
Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gugup
Goresan tinta itu muncul sebagai jawaban atas rentetan pertanyaannya yang panik. Kevin tidak menatapnya. Matanya tertuju pada bloknot, seolah sedang menyusun strategi perang, bukan biografi palsu.
Latar belakangku sederhana. Yatim piatu. Bekerja untuk hidup. Cukup.
“Cukup?” pekik Ala, suaranya melengking tertahan. Ia melanggar aturan lima detik bahkan tanpa sempat menghitung.
“Cukup katamu? Nadira itu bukan manusia seperti petugas sensus penduduk, Kevin! Dia itu sejenis itu agen KGB versi arisan! Dia bakal ngorek sampai ke akar-akarnya, sampai dia tau golongan darah kakek buyut lo cuma buat mastiin lo bukan ancaman buat dinasti palsu yang dia bangun!”
Kevin mengangkat kepalanya, tatapannya datar. Ia mengetuk tulisan ‘Cukup’ itu dengan ujung pulpennya. Final.
“Nggak, nggak bisa!” Ala menggeleng panik, tangannya bergerak-gerak liar.
“Oke, oke, gue yang bikin ceritanya. Dengerin. Nama lo Kevin Pulu— pulu .. .. Atau siapa kek nama belakang lo?”
Kevin hanya diam menunggu.
“Oke, itu nggak penting! Lo pengusaha muda. Punya start-up di bidang... ehm... teknologi ramah lingkungan! Iya, itu kedengeran pinter! Lo yatim piatu, tapi lo dapet warisan dikit dari kakek lo, terus lo puter jadi modal. Lo kerja di kafe ini cuma buat riset pasar, buat memahami psikologi konsumen kelas menengah. Gimana? Keren, kan ide gue?”
Kevin menatapnya sejenak, lalu kembali menulis.
Terlalu rumit. Kebohongan terbaik adalah yang paling sederhana.
“Tapi ini nggak cukup buat ngelawan Mak Mak mode sen kanna belik kiri kayak dia!” desis Ala frustrasi.
Kevin menulis lagi, kali ini dengan huruf kapital yang tegas.
SERAHKAN PADAKU.
Ala ingin protes lagi, tapi ada sesuatu dalam ketegasan tulisan itu, dalam tatapan mata Kevin yang tak tergoyahkan, yang membuatnya bungkam. Ia mengembuskan napas kalah.
"Tapi...."
Iya atau tidak sama sekali.
“Oke. Oke, gue percaya sama lo. Tapi kalo nanti gue keliatan bego, denda sejuta lo gue anggep lunas.”
Kevin hanya mengangkat sebelah alisnya, sebuah gestur yang jelas berarti, Mimpi saja.
.
.
.
.
.
.
Pukul setengah tujuh malam, Aruntala berdiri di depan gerbang rumahnya yang menjulang seperti benteng, jantungnya berdebar seirama dengan deru mesin mobil yang baru saja berhenti di seberang jalan. Ia sudah mengirimkan pesan berisi alamat dan ancaman terselubung untuk si Tuan pacar sewaannya: “Awas kalo lo dateng pake seragam barista.”
Namun, yang ia lihat saat Kevin melangkah keluar dari mobil sedannya yang biasa saja membuat napasnya tercekat karena alasan yang salah.
Kevin mengenakan kaus hitam polos yang pas di badan dan celana jins belel yang sepertinya sudah menjadi sahabat karibnya. Santai. Terlalu santai. Seolah ia akan pergi menonton pertandingan bola, bukan memasuki kandang singa betina yang sedang lapar.
“LO SERIUS?!” sembur Ala begitu Kevin mendekat, suaranya berbisik penuh amarah.
Mata Ala melotot hampir keluar, tapi Kevin ya santai bahkan terkesan tidak peduli.
“Gue bilang pakai baju bagus! Ini makan malam, Kevin, bukan festival musik indie! Nadira bakal ngulitin lo hidup-hidup cuma karena liat robekan di lutut lo itu!” Ala menunjuk tepat di bagian dengkul Kevin.
Kevin menatap penampilannya sendiri, lalu menatap Aruntala dengan ekspresi bingung, seolah tidak mengerti letak masalahnya. Ia merogoh ponselnya.
“Nggak usah ngetik!” potong Aru panik, menarik lengan Kevin menjauh dari sorot lampu gerbang.
“Kita nggak punya waktu. Ya Tuhan, tamat riwayat gue. Rencana gue hancur bahkan sebelum kita masuk.”
Kevin berhenti, lalu dengan tenang menunjuk ke arah mobilnya. Ia memberi isyarat agar Aru mengikutinya.
“Mau ngapain? Ganti celana sama ban serep?” gerutu Ala, tapi tetap mengekor dengan pasrah.
Kevin membuka pintu belakang mobilnya. Di sana, tergantung dengan rapi di dalam sebuah kantong jas hitam, adalah sebuah dunia yang berbeda. Ia membuka ritsleting kantong itu, menampakkan kemeja putih yang disetrika sempurna dan sebuah setelan jas berwarna biru gelap yang potongannya terlihat sangat mahal.
Mata Aru membelalak.
“Lo... lo bawa itu semua?”
Kevin mengangguk. Tanpa ragu, ia mulai melepaskan kaus hitamnya di sana, di bawah temaram lampu jalan. Untuk sesaat, Ala terpaku.
Punggungnya tegap, otot-ototnya terbentuk samar di balik kulitnya. Lalu, dengan gerakan yang cepat dan tanpa kesia-siaan, ia mengenakan kemeja putih itu, memasukkannya ke dalam celana jinsnya untuk sementara. Kevin membuka pintu depan, duduk di kursi pengemudi, dan dengan beberapa gerakan cepat, ia sudah berganti celana panjang bahan yang serasi dengan jasnya.
Terakhir, ia menyisir rambutnya ke belakang dengan jemarinya dan menyemprotkan parfum yang aromanya maskulin dan berkelas.
Saat ia melangkah keluar dari mobil lagi, Ala merasa seolah sedang melihat orang yang sama sekali berbeda. Pria di hadapannya bukan lagi barista yang pendiam. Ia adalah seorang eksekutif muda yang tajam, elegan, dan memancarkan aura kekuasaan yang tenang. Transformasi itu begitu total dan cepat hingga membuat Aru pusing.
“Anjir,” hanya itu kata yang berhasil keluar dari mulut Aru.
Kevin menatapnya, mengangkat sebelah alis seolah bertanya, Sudah cukup bagus?
Aru menelan ludah.
“O-oke, ini... ini lebih dari cukup. Ayo, sebelum Iblis mulai ritual pemanggilan arwah karena kita telat,” ujar Ala asal menutupi rasa gugupnya. Mereka pun melangkahkan kaki menuju rumah.
.
.
.
.
Ruang makan keluarga Santosa terasa seperti medan perang yang didekorasi dengan vas kristal dan lukisan mahal. Udara terasa berat oleh aroma masakan mewah dan ketegangan yang pekat.
Di ujung meja, Bram Santosa, ayah Ala, duduk dengan wajah lelah yang dipaksakan tersenyum. Di seberangnya, Nadira dan Sion duduk berdampingan seperti dua predator yang menunggu mangsanya masuk perangkap.
“Nah, ini dia bintang malam kita,” sapa Nadira dengan suara semanis madu beracun saat Ala dan Kevin masuk. Matanya langsung memindai Kevin dari ujung rambut hingga ujung kaki, senyumnya sedikit memudar saat melihat penampilan Kevin yang tanpa cela.
“Dan kau pasti... Kevin. Aru banyak bercerita tentangmu.”
Sebuah kebohongan yang terang-terangan. Sok kenal banget , padahal Ala tidak pernah bercerita apa pun pada Nadira.
Kevin hanya mengangguk sopan, matanya tenang dan dingin.
“Silakan duduk, Nak Kevin,” kata Bram, suaranya terdengar tulus.
“Senang akhirnya bisa bertemu dengan pria yang berhasil mencuri hati putri saya satu-satunya ini.”
“Dia nggak nyuri, Yah, aku yang kasih sukarela,” sahut Ala cepat sambil menarik kursi untuk Kevin.
Sion tertawa kecil, tawa meremehkan yang membuat darah Aru mendidih.
“Jadi, Kevin. Apa kesibukanmu selain... membuat kopi di warung kecil itu?” tanyanya, penekanan pada kata terakhir itu penuh dengan hinaan.
Ala baru saja akan menyemprotnya, tapi Kevin lebih dulu meletakkan tangannya dengan ringan di lengan Aru, sebuah isyarat untuk diam. Ia kemudian mengeluarkan bloknot kecil dan pulpen dari saku jasnya. Nadira dan Sion saling bertukar pandang penuh kemenangan.
Ah, jadi begini cara dia berkomunikasi.
Kevin menulis sejenak, lalu menunjukkan bloknotnya pada Bram.
Saya sedang membangun sesuatu, Om. Kopi adalah bagian dari prosesnya.
Jawaban yang cukup ambigu, tapi tidak buruk. Bram mengangguk-angguk, tampak terkesan.
“Membangun sesuatu? Itu bagus. Anak muda memang harus punya visi.”
“Visi untuk jadi juru parkir mungkin,” cibir Sion pelan, cukup untuk didengar semua orang.
“Sion!” tegur Bram lemah.
“Maaf, Yah. Aku hanya penasaran,” kata Sion, kini menatap Kevin dengan sorot menantang.
“Keluarga besarmu di mana, Kevin? Apa mereka setuju kamu berhubungan dengan putri seorang pengusaha besar seperti Aru?” cubit Sion sambil meneguk air pelan.
Ini dia. Serangan langsung ke titik yang paling rentan, latar belakang yang mereka rekayasa. Jantung Aru berdebar kencang.
Kevin tampak tidak terpengaruh. Tangannya bergerak lagi di atas kertas. Kali ini, ia menunjukkannya langsung pada Sion.
Saya yatim piatu. Jadi saya tidak perlu izin dari siapa pun.
Keheningan menyelimuti meja makan. Jawaban itu begitu lugas dan telak hingga membuat serangan Sion terdengar kejam dan tidak berempati. Wajah Sion memerah karena malu dan marah.
Nadira mengambil alih.
“Oh, kasihan sekali,” ujarnya dengan simpati palsu yang memuakkan.
“Pasti berat ya, hidup sendirian. Lalu bagaimana kamu menghidupi diri sendiri? Jangan salah paham, saya hanya khawatir dengan masa depan Aru. Kami ingin memastikan dia bersama orang yang bisa menjaganya.”
Ala mengepalkan tangannya di bawah meja. Ini adalah penghinaan yang dibungkus dengan kepedulian.
Kevin tersenyum tipis, senyum pertama malam itu, dan senyum itu terasa sangat berbahaya. Ia menulis lagi, kali ini lebih lama. Ia memastikan semua orang bisa membacanya.
Tentu saja berat, Tante. Tapi kesulitan mengajarkan saya lebih banyak hal daripada kemudahan. Saya mungkin tidak punya warisan keluarga, tapi saya punya sesuatu yang lebih berharga, kemampuan untuk membangun semuanya dari nol. Aruntala akan aman bersama saya.
Bram Santosa menatap Kevin dengan sorot mata baru. Ada kekaguman di sana. Pria tua itu sudah muak dengan arogansi kosong Sion. Di hadapannya kini ada seorang pemuda yang, meskipun memiliki keterbatasan, menunjukkan ketenangan dan kepercayaan diri yang luar biasa.
Makan malam berlanjut dengan siksaan serupa. Setiap pertanyaan licik dari Nadira dan Sion dimentahkan oleh jawaban singkat, cerdas, dan tak terbantahkan dari bloknot Kevin. Ala, yang awalnya panik, kini mulai merasa takjub. Kevin tidak sedang bertahan, ia sedang mengendalikan permainan. Keheningannya adalah perisai sekaligus pedang.
Saat hidangan penutup disajikan, Sion yang sudah frustrasi setengah mati, memutuskan untuk melancarkan serangan terakhir.
“Sudahlah, Yah, Ma. Jangan terlalu keras padanya,” kata Sion dengan nada dibuat-buat bijaksana.
“Kita harus menghargai usahanya. Tidak semua orang seberuntung kita. Begini saja, Kevin,” ia mencondongkan tubuhnya, menatap Kevin dengan tatapan merendahkan.
“Kalau kau butuh pekerjaan yang lebih... menjanjikan, hubungi saja aku. Mungkin ada posisi kurir atau staf gudang yang kosong di perusahaan. Gajinya lumayan, kok.”
Itu adalah puncak dari penghinaan. Ala nyaris melompat dari kursinya.
Tapi Kevin hanya menatap Sion dengan tenang. Ia meletakkan sendoknya, mengelap bibirnya dengan serbet, lalu perlahan merogoh saku bagian dalam jasnya. Bukan bloknot.
Kevin mengeluarkan sebuah dompet kulit hitam yang elegan, membukanya, dan mengambil selembar kartu nama dari dalamnya. Kartu itu terbuat dari kertas tebal berkualitas tinggi, dengan desain yang sangat minimalis.
Dengan satu gerakan halus, ia mendorong kartu itu melintasi permukaan meja yang mengilap, berhenti tepat di hadapan Sion.