NovelToon NovelToon
Object Of Desires

Object Of Desires

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Pengantin Pengganti / Romansa / Kaya Raya
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Elin Rhenore

Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1. Fair Play

Ruang persidangan sunyi, ketegangan menyelimuti, Vanya Anantari, seorang pengacara muda dengan reputasi yang masih dirintis, berdiri tegak di hadapan majelis hakim. Matanya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam berkas perkara dengan erat. Di bangku saksi, kliennya-seorang siswi SMA yang masih belia-menundukkan kepala, jemarinya gemetar. Kasus ini bukan sekadar pertarungan hukum bagi Vanya; ini adalah perjuangan melawan sistem yang kerap mengabaikan suara korban. Dengan napas yang dalam, ia bersiap mengajukan pertanyaan pertamanya, bertekad membuktikan bahwa keadilan bukan hanya milik mereka yang berkuasa.

Vanya mendekat kursi saksi, matanya yang semula tajam menatap kini terlihat melembut. Ada gemuruh di dalam dadanya. Kasus-kasus pelecehan seperti ini kerap kali muncul di tayangan televisi. Bagi orang yang menyaksikan kisah mereka dari depan layar televisi hanya akan ada iba, bagi korban ... kejadian tersebut merupakan sebuah mimpi buruk.

Vanya bisa melihat jelas mimpi buruk tersebut belum meninggalkan, Anisa-Korban pelecehan seksual oleh gurunya. Wajah gadis belia itu terlihat gusar, ia terus meremas-remas tangannya gelisah, takut jika orang lain akan menghakiminya. Vanya mendekat satu langkah lagi.

"Silakan perkenalkan diri Anda," pinta Vanya dengan suara yang setenang air di kolam, tidak ada yang tahu jika saat ini gemuruh di dadanya semakin menjadi-jadi.

Anisa mengangkat wajahnya, matanya tidak melepaskan Vanya. Saat ini, Vanya adalah tumpuan harapannya yang terakhir. Dia telah mempercayakan semuanya kepada Vanya sebagai pembelanya melawan gurunya sendiri. Vanya mengangguk, memberi isyarat kepada Anisa agar gadis itu membuka suara dan tak perlu takut.

"Nama saya Anisa Putri, saya siswi kelas 11 di SMA Nusantara."

Vanya kembali menganggukkan kepalanya dengan lembut, memberikan tanda pada gadis itu bahwa saat ini dirinya aman, tidak akan ada seorang pun yang akan menghakiminya.

Meyakini jika Anisa bisa menjawab pertanyaannya dengan lebih lanjut, Vanya lantas kembali mengajukan pertanyaan. "Bisakah Anda menceritakan apa yang terjadi pada Anda?"

Ruangan mendadak hening, bahkan suara nafas pun tak terdengar, seolah-olah mereka sedang menahan nafas mereka untuk bersiap akan kesakiksan yang diberikan oleh Anisa. Bahkan suara rana kamera wartawan terhenti. Ini sidang terbuka dan kasus ini sudah lebih dulu menyita perhatian publik.

Anisa menarik napas panjang sebelum berbicara, suaranya bergetar. "Pak Adrian, guru matematika saya... dia sering memanggil saya ke ruangannya setelah jam pelajaran. Awalnya, saya pikir itu hanya bimbingan biasa, tapi lama-kelamaan..." Suaranya tercekat, dan air matanya mulai mengalir.

Vanya menatap hakim sejenak, lalu kembali ke kliennya dengan suara yang penuh empati. "Tidak apa-apa, Anisa. Ambil napas dulu."

Di bangku penonton, seorang wanita-ibunda Anisa-terisak pelan, menggenggam tangan suaminya dengan erat.

Anisa menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. Ruangan masih hening, hanya terdengar suara napas tertahan dari beberapa orang yang ikut merasakan beratnya kesaksian ini.

"Dia mulai dengan menyentuh tangan saya saat menjelaskan soal," lanjut Anisa dengan suara pelan. "Lalu semakin lama, dia mulai mendekati saya... terlalu dekat dan Pak Adrian menyentuh area-area sensitif saya. Saya merasa tidak nyaman, tapi saya takut menolak. Dia selalu bilang ini hanya bentuk perhatian khusus untuk murid yang berprestasi."

Di bangku terdakwa, Adrian masih tampak tenang, tapi tatapan tajamnya pada Anisa menunjukkan ketidaksenangan. Vanya tidak membiarkan itu luput dari perhatiannya. Ia segera melangkah ke depan, memastikan Anisa tetap fokus pada dirinya, bukan pada tatapan mengintimidasi itu.

"Anisa," ujar Vanya dengan suara lembut, namun tegas. "Apakah ada saat di mana Anda mencoba menolak atau melaporkan kejadian ini?"

Gadis itu menggigit bibirnya, lalu mengangguk. "Saya pernah mencoba berbicara pada wali kelas saya, tapi dia hanya bilang agar saya tidak berpikiran buruk. Katanya, Pak Adrian adalah guru senior yang sangat dihormati di sekolah, dan mungkin saya hanya salah paham."

Sebuah gumaman marah terdengar di antara hadirin. Beberapa orang saling bertukar pandang, sementara ibunda Anisa menundukkan kepala, air matanya jatuh tanpa bisa dibendung.

Vanya menarik napas panjang. Inilah masalah yang selalu terjadi. Suara korban sering kali diabaikan, dianggap berlebihan, atau bahkan disalahkan. Tapi tidak hari ini. Tidak di pengadilan ini.

"Lalu, apa yang membuat Anda akhirnya berani melaporkan kejadian ini?" tanya Vanya, suaranya kini lebih dalam, membawa nada keberanian yang ia harap bisa menular pada gadis itu.

Anisa terdiam sejenak sebelum menjawab, suaranya lebih mantap. "Karena saya tahu ini bukan salah saya. Dan saya tidak ingin dia melakukannya pada orang lain."

Vanya tersenyum tipis. Itu dia. Kekuatan seorang korban yang memilih untuk melawan.

Pengacara Adrian, seorang pria berkacamata dengan setelan rapi bernama Rendra Adiatmaharaja, berdiri dari kursinya dengan penuh percaya diri. Dengan langkah mantap, ia berjalan ke depan, lalu menatap Anisa dengan sorot mata tajam yang penuh strategi.

"Izinkan saya bertanya, Anisa," ucapnya dengan suara datar namun menusuk. "Anda mengatakan bahwa Pak Adrian sering memanggil Anda ke ruangannya setelah jam pelajaran, benar?"

Anisa mengangguk, meski tubuhnya sedikit menegang.

"Dan selama itu, tidak pernah sekalipun Anda mencoba menolak atau keluar dari ruangan?"

Vanya segera berdiri. "Keberatan, Yang Mulia. Pertanyaan ini seolah menyiratkan bahwa korban bertanggung jawab atas pelecehan yang dialaminya."

Hakim menoleh ke arah Rendra. "Pengacara Adiatmaharaja, ubah pertanyaan Anda."

Rendra mengangguk kecil, tetapi senyumnya tipis, seperti seseorang yang masih yakin pada permainannya. "Baik, Yang Mulia. Saya hanya ingin memahami konteksnya." Ia lalu kembali menatap Anisa. "Anda bilang Anda takut. Tapi Anda tetap datang ke ruangannya berkali-kali. Mengapa?"

Anisa menggigit bibirnya, tetapi sebelum ia bisa menjawab, Vanya kembali bersuara.

"Keberatan lagi, Yang Mulia. Ini adalah pertanyaan manipulatif yang mencoba meragukan posisi korban."

Hakim menatap Rendra dengan tajam kali ini. "Pengacara Adiatmaharaja, harap ajukan pertanyaan yang lebih relevan dengan fakta kasus ini, bukan mencoba menekan saksi."

Rendra menarik napas, tetapi masih mempertahankan ketenangannya. "Tentu, Yang Mulia. Saya hanya ingin mengungkap bahwa tidak ada saksi lain yang bisa membuktikan klaim ini, selain kata-kata dari klien jaksa. Apakah ini cukup untuk menghancurkan karier seorang pendidik yang telah mengabdi lebih dari dua puluh tahun?"

Vanya mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, tapi ia tidak akan terpancing. Ia melangkah maju, menatap langsung ke mata Rendra.

"Justru karena itulah kita ada di sini, bukan?" katanya dengan nada tegas. "Karena terlalu sering, korban tidak dipercaya hanya karena kurangnya saksi. Karena terlalu sering, predator bersembunyi di balik reputasi mereka, sementara korban dibungkam oleh ketakutan. Tapi kali ini, kita tidak akan membiarkan itu terjadi."

Vanya menatap Rendra Adiatmaharaja berapi-api. "Anda mungkin lupa, kami sudah mengajukan bukti berupa rekaman suara dari saksi lain"

Rendra Adiatmaharaja menyilangkan tangannya, ekspresi wajahnya tetap dingin, tapi ada kilatan kegelisahan di matanya. "Tentu saja saya tidak lupa," balasnya dengan nada tenang namun tajam. "Namun, bukti itu masih harus diverifikasi keasliannya. Tanpa analisis forensik, siapa pun bisa merekayasa rekaman suara."

Vanya tersenyum tipis, lalu melangkah mendekati meja hakim. "Yang Mulia, kami telah menyerahkan rekaman ini kepada tim ahli forensik independen, dan hasilnya sudah keluar." Ia menaruh sebuah map di meja hakim. "Bukti ini telah dikonfirmasi asli, tanpa manipulasi, tanpa pemotongan."

Rendra tampak hendak berbicara, tetapi Vanya lebih dulu melanjutkan, suaranya semakin tegas. "Lebih dari itu, kami juga memiliki saksi tambahan yang siap memberikan kesaksian hari ini."

Rendra akhirnya kehilangan ketenangannya sejenak. Ia menoleh ke arah Adrian, yang kini tampak semakin pucat. Rendra mengambil nafas, mendapatkan ketenangannya kembali. Tidak mungkin ia kalah dalam persidangan yang sepele ini.

Hakim membuka map tersebut, membaca isinya dengan cermat, lalu mengetuk palu sekali. "Keberatan pengacara terdakwa ditolak. Pengadilan akan mendengarkan rekaman suara sebagai bukti tambahan."

Ruangan menjadi tegang. Vanya melirik Anisa, memberi anggukan kecil penuh keyakinan. Ini adalah momen penting-saat di mana kebenaran akhirnya berbicara.

Hakim memberi isyarat kepada petugas untuk memutar rekaman tersebut.

Klik.

Suara ruangan kecil terdengar samar. Kemudian, terdengar suara laki-laki yang rendah dan tenang, tetapi penuh tekanan.

"Jangan banyak bicara, ya. Kamu mau nilai matematikamu bagus, kan? Jangan membuat masalah untuk diri sendiri. Tidak ada yang akan percaya padamu, lagipula."

Sebuah isakan kecil terdengar di rekaman, suara seorang gadis yang jelas ketakutan.

"Tolong... saya ingin pulang..."

"Sudah, sudah. Tenang saja. Selama kamu diam, semuanya akan baik-baik saja."

Klik.

Keheningan menyelimuti ruang sidang.

Adrian tampak pucat. Tangannya mengepal di atas meja, sementara Rendra berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

Vanya kembali berbicara, suaranya lebih kuat dari sebelumnya.

"Yang Mulia, rekaman ini bukan hanya membuktikan bahwa terdakwa melakukan pelecehan, tetapi juga bahwa ia menggunakan posisinya sebagai guru untuk menekan dan mengancam korban agar tetap diam. Ini bukan sekadar dugaan-ini adalah bukti nyata dari pola perilakunya."

Rendra berdiri, mengatur jasnya dengan elegan sebelum melangkah ke tengah ruang sidang. Ia menghela napas, lalu berbicara dengan suara yang dalam dan terukur.

"Yang Mulia, saya mengakui bahwa tuduhan terhadap klien saya telah disampaikan dengan sangat meyakinkan oleh pihak jaksa. Namun, saya ingin mengingatkan kita semua bahwa hukum tidak bisa berdiri hanya atas dasar emosi dan opini publik. Hukum harus berdasarkan bukti yang tak terbantahkan."

Ia menoleh ke arah para juri dan hakim.

"Rekaman suara yang diputar mungkin terdengar memberatkan, tapi tanpa konteks yang tepat, apakah kita bisa memastikan niat sebenarnya? Apakah kata-kata dalam rekaman itu benar-benar membuktikan tindak kejahatan? Bukankah mungkin terjadi kesalahpahaman atau interpretasi yang berlebihan?"

Vanya menyipitkan matanya. Ia sudah menduga Rendra akan mencoba menanamkan keraguan di benak hakim.

"Lagi pula," lanjut Rendra, "klien saya adalah seorang pendidik terhormat yang telah mengabdi lebih dari dua puluh tahun. Apakah masuk akal jika seseorang dengan reputasi sebaik itu tiba-tiba melakukan hal seperti ini? Kita harus berhati-hati dalam menghancurkan hidup seseorang hanya karena tuduhan yang belum sepenuhnya terbukti tanpa keraguan."

Ia berbalik, berjalan mendekati meja hakim.

"Saya meminta Yang Mulia dan majelis hakim untuk mempertimbangkan semua aspek dalam kasus ini. Jika memang ada sedikit saja keraguan dalam tuduhan ini, saya meminta agar klien saya dibebaskan dari semua dakwaan."

Persidangan yang berjalan dengan tegang itu kini memasuki replik jaksa, seorang jaksa berdiri untuk membacakan replik mereka. Vanya dari tempatnya memberikan tatapan kepada keluarga Anisa untuk menguatkan, dirinya yakin jika hakim akan memberikan keputusan yang tepat.

Hakim mengetuk palu sekali.

"Setelah mendengar pembelaan dan replik, majelis hakim akan melakukan musyawarah sebelum memberikan putusan akhir. Sidang ditunda hingga pembacaan vonnis pada hari yang telah ditentukan."

Desas-desus memenuhi ruang sidang. Wajah Adrian tetap tanpa ekspresi, tetapi matanya terlihat gelisah. Sementara itu, Anisa menggenggam tangan ibunya erat, menahan napas dalam-dalam.

Vanya menatap ke arah kliennya, lalu memberikan senyum kecil yang penuh harapan. Sidang mungkin belum selesai, tetapi ia tahu bahwa mereka sudah sangat dekat dengan keadilan.

...***...

Hari Sidang Pembacaan Vonnis.

Ruang sidang penuh sesak. Para wartawan memenuhi bangku penonton, pena mereka siap mencatat setiap kata yang akan keluar dari mulut hakim. Di barisan depan, Anisa duduk dengan tangan gemetar, jari-jarinya saling meremas. Vanya, yang duduk di sampingnya, meletakkan tangannya di atas meja dengan tenang, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa ini adalah momen penentuan.

Di sisi lain ruangan, Adrian duduk dengan rahang mengatup. Jas mahalnya tak bisa menyembunyikan ketegangan yang mulai tampak di wajahnya. Sementara itu, Rendra Adiatmaharaja, pengacaranya, tetap berusaha menjaga ekspresi netral, meskipun matanya sesekali melirik hakim dengan penuh harap.

Hakim mengetuk palu tiga kali.

"Setelah mempertimbangkan seluruh bukti yang diajukan, mendengarkan kesaksian para saksi, serta menelaah pledoi dari pihak pembela dan replik dari pihak penuntut, majelis hakim telah mencapai keputusan."

Ruangan menjadi senyap. Napas tertahan di dada semua orang.

Hakim melirik berkas di hadapannya, lalu melanjutkan.

"Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian yang diajukan, serta berdasarkan Pasal 6, Pasal 14, dan Pasal 15 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, majelis hakim dengan ini menyatakan terdakwa Adrian Prasetya secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pelecehan seksual dengan penyalahgunaan kekuasaan."

"Dengan demikian, majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana berupa penjara selama 8 tahun dan denda sebesar Rp500.000.000,00, atau tambahan kurungan jika denda tidak dibayarkan."

Sorakan kecil terdengar dari bangku penonton, meskipun langsung ditegur oleh petugas keamanan.

Adrian tersentak di kursinya, wajahnya mendadak pucat. Ia menoleh ke arah Rendra, yang meskipun berusaha tetap tenang, tampak tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya.

Sementara itu, Anisa menangis, tetapi kali ini bukan karena ketakutan, melainkan kelegaan. Ia menatap Vanya, yang membalasnya dengan senyum penuh kemenangan.

Hakim mengetuk palu sekali lagi. "Sidang dinyatakan selesai."

Dengan itu, Adrian resmi digiring keluar ruang sidang oleh petugas, sementara di sisi lain, Anisa memeluk ibunya erat.

Di tengah keramaian, Vanya menarik napas panjang. Ia tahu, ini bukan hanya kemenangan bagi Anisa, tapi juga bagi setiap korban yang selama ini takut bersuara.

Hari ini, keadilan akhirnya berbicara.

...***...

Rendra menyandarkan tubuhnya pada sebuah pilar, mengamati kerumunan wartawan yang saat ini sedang sibuk mengerumuni Vanya dan keluarga korban. Rendra menghembuskan asap rokok dari mulutnya, menghilangkan penat dan stress akibat ulah isengnya sendiri-mengambil kasus pelecehan seksual seorang siswi-yang mana ia tahu betul, pengacara korbannya adalah Vanya Anantari.

Gadis itu, sudah beberapa kali membuat Rendra harus pusing memutar otaknya agar strateginya di pengadilan bisa berhasil. Beberapa kali gadis itu kalah, tapi Rendra akui itu tidak cukup memuaskan egonya karena kekalahan-kekalahan sebelumnya tidak memuaskan karena itu kasus kecil bagi Rendra. Sekarang di kasus yang cukup menyita perhatian masyarakat dirinya malah dibabat habis oleh gadis itu. Siapa yang menyangka. Rendra tidak merasa kalah, lagipula sejak awal dia sudah tahu kebusukan guru itu. Dia hanya bersenang-senang dalam persidangan meski kemenangan tidak berada di pihaknya.

Puntung rokok itu Rendra tekan pada asbak di sampingnya, puas ia melihat gadis itu girang karena kemenangannya ia memutuskan untuk pergi.

...*bersambung*...

...Object Of Desires | 2025...

1
👣Sandaria🦋
baca satu bab, Kakak. asik nih cerita pengacara saling bakutikam di ruang sidang, kemudian saling bakugoyang di ranjang👍😆
d_midah
selain cantik, yang aku bayangin pipinya yang gemoy☺️☺️🤭
Tulisan_nic
sidangnya siaran langsung apa gimana Thor?
Elin Rhenore: sidangnya siaran langsung, karena sifatnya terbuka untuk umum.
total 1 replies
Tulisan_nic
Baca bab 1 udah keren banget,aku paling suka cerita lawyer² begini.Lanjut ah
Elin Rhenore: terima kasih yaaa, semoga sukaa
total 1 replies
Ayleen Davina
😍
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025
Hallo Kak. Semangat berkarya ya 🫶
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025: seru ceritanya 🫶
total 2 replies
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
"istri saya" kulanjutin dah😂
Mei Saroha
ayooo kakak othorr lanjutkaann... yukkk bisa yuukkk
Elin Rhenore: sabar yaaaa hehehehe
total 1 replies
Mei Saroha
rendra bertekad untuk lindungi Vanya..
Mei Saroha
alurnya keren thorr
semangat nulisnyaa yaaaa
Mei Saroha
hareudangg euyyy
Mei Saroha
morning wood itu apa kak 😃😀😁
Mei Saroha
apakah keluarga rendra membunuh orangtua Vanya?
Siti Nina
Lanjut thor jgn di gantung cerita nya
Siti Nina
Nah lho perang akan segera di mulai
Siti Nina
Oke ceritanya 👍👍👍
Siti Nina
Meleleh gak tuh mendengar ucapan Renrda manis banget
Mei Saroha
wahh.. ini masuk KDRT bukan sih
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
good
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
nah, sumber masalah nya harus diusut nih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!