Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.
Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.
Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.
Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Istri Narendra
Mobil hitam itu meluncur pelan di antara jalanan kota yang mulai sepi. Dari kursi penumpang, Livia menatap keluar jendela, lampu jalan memantul di kaca, membias bersama pikirannya yang masih berantakan.
Tangannya bergetar halus di pangkuan, pergelangan kirinya kini kembali memerah setelah genggaman kasar Dimas tadi.
Tanpa berkata apa-apa, Narendra menepikan mobil di depan sebuah apotek 24 jam.
“Pak…?”
Belum sempat Livia bertanya, Narendra sudah turun dan berjalan cepat masuk ke dalam.
Livia menghela napas, menunduk. Ia tak tahu harus merasa apa, malu, bersyukur, atau takut. Semuanya bercampur jadi satu.
Beberapa menit kemudian, Narendra kembali sambil membawa kantung kecil di tangannya. Ia masuk ke mobil tanpa bicara, membuka kemasan salep, lalu meletakkannya di pangkuan Livia.
“Ini, untuk memar di tanganmu.” Suaranya tenang, tapi tegas.
Livia menatapnya sebentar, ragu-ragu. “Terima kasih, Pak… tapi Bapak nggak usah repot. Aku bisa—”
“Livia.” Nada Narendra memotong lembut, tapi cukup membuatnya diam. “Kamu nggak harus pura-pura kuat di depan semua orang.”
Livia tertegun. Ia ingin menyangkal, tapi tatapan mata Narendra terlalu jujur. Tak ada penilaian, tak ada rasa kasihan yang murahan, hanya kekhawatiran tulus yang membuat dadanya sesak.
Ia menunduk, lalu membuka tutup salep itu perlahan. Namun tangannya bergetar ketika mencoba mengoleskannya sendiri.
Narendra melihatnya, menghela napas pelan, lalu mengambil salep itu dari tangannya.
“Izinkan saya membantumu.”
Livia refleks menatap, tapi tak sempat menolak.
Narendra dengan hati-hati menggenggam pergelangan tangannya dengan lembut, kontras sekali dengan cara Dimas tadi memperlakukannya.
Pria itu mengoleskan obat memar itu perlahan, dengan gerakan yang tenang dan presisi, nyaris seperti ritual kecil.
“Harusnya kamu periksa ke dokter,” ucap Narendra pelan, nyaris seperti gumaman.
Livia tersenyum tipis. “Saya udah biasa, Pak. Luka kayak gini nggak seberapa.”
“Kalimat itu yang paling sering diucapkan orang yang sedang menutup diri ketika sedang terluka,” jawabnya, matanya tetap fokus pada tangannya.
Livia menahan napas, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba menyeruak, entah karena kata-katanya, atau karena sentuhan yang terlalu hangat untuk disebut profesional.
Begitu selesai, Narendra menutup kembali salepnya dan menyerahkannya pada Livia.
“Sudah. Jangan biarkan siapa pun menyakitimu lagi.”
Livia menatap wajahnya sekilas, begitu dekat, begitu tenang, tapi di matanya ada sesuatu yang tak seharusnya ia lihat: perhatian yang terlalu dalam dari seorang pria yang seharusnya menjaga jarak.
Ia buru-buru menatap ke arah jendela, menyembunyikan gejolak aneh di dadanya.
“Terima kasih, Pak.”
Narendra hanya menjawab singkat, “Sama-sama.”
Mobil kembali melaju di bawah langit malam. Tak ada kata lagi di antara mereka, tapi udara di dalam mobil terasa berbeda, terasa hangat, dan berbahaya dalam diamnya.
Mobil berhenti perlahan di depan gedung apartemen Livia. Lampu-lampu jalan berpendar lembut, memantul di kaca jendela mobil yang mulai berembun.
Livia menatap keluar, mencoba menenangkan diri. Ia ingin segera keluar, tapi entah kenapa, tubuhnya enggan bergerak.
“Sudah sampai,” suara Narendra memecah keheningan.
“Iya, Pak.”
Livia melepas sabuk pengamannya, namun belum sempat meraih gagang pintu, ia menoleh sebentar.
“Terima kasih… Bapak sudah mengantar saya malam ini.”
Narendra menatapnya, pandangannya lembut tapi dalam. “Pastikan kamu istirahat, Livia. Jangan keluyuran malam sendirian.”
Livia menunduk, tersenyum samar. “Saya udah terbiasa.”
Narendra menggeleng pelan. “Kebiasaan bukan berarti itu hal yang benar.”
Ada jeda singkat. Sunyi. Hanya suara jarum jam kecil di dashboard yang terdengar samar.
Livia ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.
Matanya bertemu dengan mata Narendra — sesaat saja, tapi cukup untuk membuat waktu terasa berhenti.
Di sana, ada sesuatu yang tidak seharusnya tumbuh.
Rasa aman yang terlalu nyaman.
Dan ketertarikan yang terlalu berisiko.
Livia cepat-cepat membuka pintu. “Selamat malam, Pak.”
“Selamat malam.”
Namun sebelum ia benar-benar keluar, Narendra menambahkan dengan suara rendah, “Kalau kamu butuh seseorang untuk bicara, kamu tahu ke mana harus mencari saya.”
Livia menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Saya akan ingat itu.”
Ia menutup pintu dengan pelan, berjalan menuju lobi apartemen tanpa menoleh lagi.
Narendra tetap diam di kursinya, mengikuti langkah Livia melalui kaca spion hingga sosoknya menghilang di balik pintu otomatis.
Tangannya menggenggam setir erat, matanya menerawang kosong ke depan.
Ia menarik napas panjang, seolah berusaha menepis sesuatu yang tak boleh tumbuh.
Tapi dalam hati kecilnya, Narendra tahu — sejak malam itu, batas profesional antara dirinya dan Livia sudah mulai kabur.
○○○
Pagi itu kantor terasa lebih riuh dari biasanya. Beberapa karyawan sudah berkumpul di pantry, sebagian sibuk dengan tumpukan berkas dan laporan akhir bulan.
Livia berjalan masuk seperti biasa, rambutnya terurai rapi, wajahnya segar meski malam sebelumnya ia hampir tak tidur.
Namun ada yang sedikit berbeda hari itu — atasan putih dengan lengan panjang menutupi kulit tangannya hingga ke pergelangan.
Rani, rekan sekantor sekaligus sahabat terdekatnya di divisi administrasi, langsung memperhatikannya begitu Livia duduk di meja.
“Tumben lo pakai baju tertutup begini, Liv? Biasanya kan selalu pakai yang simpel dan santai,” godanya sambil meneguk kopi.
Livia tersenyum, santai seperti biasa. “Udara pagi lagi nggak bersahabat, Ran. AC kantor makin dingin aja tiap hari.”
Nada suaranya ringan, seolah tak ada yang salah. Tapi senyum di wajahnya terasa sedikit dipaksakan.
Rani menyipitkan mata, menatapnya curiga. “Hmm… beneran cuma karena dinginnya ac ?”
Livia menatap layar monitornya, lalu menjawab datar, “Iya, Ran. Masa gue nggak boleh tampil beda sekali-sekali?”
Rani mengangkat tangan menyerah, tertawa kecil. “Oke, oke. Tapi kalau ada apa-apa, jangan disimpan sendiri ya, Liv.”
“Tenang aja.” Livia menoleh sambil tersenyum lembut, “Lo kenal gue, kan? Gue baik-baik aja.”
Namun ketika Rani beranjak meninggalkan meja, Livia menarik napas panjang. Senyum di wajahnya perlahan memudar.
Tangannya yang tersembunyi di balik meja sedikit bergetar ketika ia menggulung ujung lengan kemejanya untuk memastikan memarnya tak terlihat.
Ia menatap layar monitor yang belum menyala, lalu bergumam pelan, “Baik-baik aja, ya, Liv…”
Nada suaranya datar — seperti mantra kecil yang ia ucapkan setiap kali ingin meyakinkan diri sendiri.
Dan saat jam kerja dimulai, Livia kembali mengenakan topengnya:
tenang, profesional, dan tak tersentuh.
Sementara di balik senyumannya yang sempurna, luka itu masih berdetak lembut — mengingatkan bahwa ada hal-hal yang tak bisa benar-benar disembunyikan selamanya.
...🍃...
Siang itu suasana kantor masih sibuk seperti biasa, suara ketikan, dering telepon, dan langkah Staf yang berlalu lalang. Namun suasana berubah ketika pintu utama terbuka dan seorang wanita masuk.
Wanita itu cantik, elegan, dan tampak sangat terawat. Rambutnya hitam panjang, riasannya lembut, pakaian formalnya tampak mahal. Namun yang membuat semua orang terdiam adalah kursi roda yang dinaikinya. Ia bergerak pelan, didorong oleh seorang perawat berseragam putih.
Semua kepala menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar.
“Siapa itu?”
“Cantik banget...”
“Tapi… apa dia lumpuh?”
Perawat itu menghampiri resepsionis. “Permisi, kami ingin bertemu Pak Narendra. Beliau sudah menunggu kami.”
Livia yang kebetulan lewat di lobby menghentikan langkahnya. Matanya tanpa sadar mengikuti wanita itu, penasaran seperti yang staf lainnya.
Perawat mendorongnya masuk ke lift, dan pintu tertutup.
Sementara itu, di lantai paling atas, Narendra sedang berada di ruangannya ketika pintunya diketuk.
“Masuk,” ujarnya sambil tetap menatap layar laptop.
Perawat mendorong kursi roda itu masuk. Narendra langsung menegang. Senyumnya pudar, berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa dibaca, antara terkejut, bersalah, dan lelah.
“Veronica…” ucap Narendra pelan, suaranya nyaris bergetar.
Wanita bernama Veronica itu adalah istrinya, ia tersenyum tipis.
“Hai, Mas. Kamu terlihat kaget sekali, seperti tidak mengharapkan kedatangan istrimu sendiri.”
Narendra bangkit dari kursinya, tapi gerakannya ragu.
“Aku… kenapa tidak diberi kabar kamu akan datang.”
Veronica menatap perawatnya. “Bisa tolong tinggalkan kami sebentar?”
Perawat itu mengangguk dan keluar, lalu menutup pintu rapat-rapat.
Suasana menjadi tegang. Veronica menyandarkan tubuhnya, jemari indahnya mengetuk sandaran kursi roda pelan.
“Kukira… setelah semua yang terjadi, kamu akan lebih sering pulang, Mas.”
Senyumnya memudar. “Tapi sepertinya kantor ini lebih penting, ya?”
Narendra berdecak.
“Vero, jangan mulai…”
“Jangan mulai?” Veronica mengangkat alisnya. “Mas Narendra, aku ini istrimu. Dan aku harus datang ke sini dengan kursi roda untuk memastikan kamu baik-baik saja? Atau untuk memastikan kamu tidak terlalu menikmati kebebasanmu?”
Narendra memejamkan mata, ia merasa lelah.
Di luar ruangan, tanpa mereka sadari, seseorang berhenti tepat di depan pintu.
Livia.
Ia tak sengaja mendengar sedikit percakapan dari balik kaca buram di sisi pintu.
Istri? jadi dia istri Narendra ?
Jantung Livia terasa seperti jatuh ke perut.
...🫦...
...🫦...
...🫦...
...Bersambung......
lanjut dong🙏🙏🙏