Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 6
Di luar gubuk, pertarungan antara Jaya, Dara, dan sosok berjubah hitam semakin sengit. Cambuk asap hitam pria itu kini telah menjadi dua, meliuk-liuk seperti ular mematikan. Jaya mengelak dengan cekatan, namun setiap ayunan parangnya hanya membelah asap sebelum cambuk itu kembali mengikat, membuat kulitnya tergores dan memar.
Dara sibuk melempari sosok berjubah itu dengan apa pun yang bisa ia temukan—batu, ranting, bahkan sekeping koin perak kuno dari Tuk Guru.
Teriakan Ratih bergema: "Jaya! Dara! Mundur! Kita harus pergi!"
Teriakan itu seperti isyarat. Jaya menendang tumpukan kayu bakar, menciptakan kepulan debu tebal, dan berlari ke arah Ratih. Dara, dengan gesit, mengikuti di belakangnya.
Mereka bertiga bertemu di ambang pintu belakang.
"Cepat! Ke hutan!" perintah Ratih, sambil memegang erat cetakan liontin kosong.
Saat mereka berbalik untuk melarikan diri, sesosok bayangan melompat dari atap gubuk, mendarat dengan suara keras, menghalangi jalan mereka. Itu adalah wanita dari dalam kamar, kini memegang sepasang pisau pendek berkilauan.
"Tidak semudah itu, anak-anak manis," desis wanita itu, matanya berkobar-kobar karena amarah.
Di saat yang sama, sosok berjubah hitam di luar gubuk telah menyelesaikan lingkaran aksara kuno. Segel monumen bercahaya biru itu berkedip-kedip, lalu padam sama sekali. Pilar itu kini hanyalah batu biasa, dan aura dingin Penjaga Kabut kembali terasa.
"Segel terbuka. Sekarang, tidak ada yang bisa melarikan diri dari Kabut Malam!" raung pria berjubah itu.
Di dalam gubuk, Ratih terkejut. "Sial! Dia merusak segel total!"
Mereka bertiga kini terjebak di antara dua musuh yang kuat—wanita yang menghalangi jalan keluar, dan pria berjubah yang berdiri di luar, siap mencegat jika mereka berbalik.
"Ratih, ke arah mana?" tanya Jaya, napasnya terengah-engah, luka gores di tangannya mulai mengeluarkan darah.
"Kita harus mendobrak wanita ini. Dia lebih dekat. Siapkan dirimu!"
Ratih mengangkat liontinnya, cahaya merah membakar di sekitarnya. Wanita itu menyeringai. "Ayo, tunjukkan padaku apa yang bisa dilakukan oleh 'Keturunan Terakhir'!"
Ratih melompat. Ia tidak menyerang dengan kekuatan api, melainkan dengan kecepatan. Ia memanfaatkan blur energi merahnya untuk bergerak, menusuk ke sisi kiri wanita itu.
Wanita itu bereaksi secepat kilat. Ia menangkis Ratih dengan pisau pertamanya, tetapi pisau kedua menusuk balik, mengarah ke sisi tubuh Ratih.
CRAK!
Ratih merasakan sakit yang menusuk. Pisau itu menembus kulitnya di bawah tulang rusuk, hanya sepersekian inci dari jantungnya. Ia menjerit tertahan dan mundur, tangannya secara refleks mencengkeram lukanya. Darah hangat membanjiri jari-jarinya.
"Ratih!" teriak Jaya, menerjang wanita itu dengan parangnya.
Wanita itu mencibir. Ia melepaskan pisau yang tertancap di tubuh Ratih dan menangkis parang Jaya.
"Puas dengan hadiah selamat datangmu?"
Dara tidak membuang waktu. Ia melihat ke dinding gubuk, di mana sebuah lentera minyak tanah bergoyang-goyang. Ia meraih lentera itu dan melemparkannya ke lantai kayu di belakang wanita itu.
Lentera pecah. Minyak tanah menyebar. Dara mengeluarkan korek api yang selalu dibawanya. FWOOM! Api menyambar.
Wanita itu terkejut dengan api yang tiba-tiba melahap lantai di belakangnya. Ia mundur, menghindari kobaran api.
"Sekarang!" teriak Jaya.
Mereka bertiga melompat melewati api yang masih kecil, berhamburan ke dalam hutan gelap.
Ratih menggertakkan giginya, menahan rasa sakit dari luka tusukan. Ia memimpin pelarian, mengandalkan instingnya. Jaya dan Dara berlari di belakangnya.
"Ratih, kau terluka parah!" seru Jaya, mencoba menyentuh bahu Ratih.
"Terus lari! Luka ini... tidak seburuk yang terlihat," jawab Ratih, napasnya terputus-putus. Ia berbohong. Ia bisa merasakan lukanya berdenyut, dan kekuatan dari liontinnya seolah meredup, terkuras karena serangan mendadak itu.
Tiba-tiba, Dara tersandung akar pohon, lalu berhenti, menatap Jaya dengan mata melotot.
"Ini semua salahmu, Jaya!" sembur Dara, nadanya histeris.
"Salahku? Kenapa salahku?" Jaya membalas, bingung.
"Ya! Kau 'pasak dan tali' kata Tuk Guru, kan? Kau seharusnya mengikat dia sebelum dia menusuk Ratih! Harusnya kau serang dari samping!"
"Bagaimana aku bisa menyerang dari samping saat dia berhadapan langsung denganku? Aku sudah mencoba mengalihkan perhatiannya!" balas Jaya, suaranya naik satu oktaf.
"Makanya, kau jangan sok pahlawan dengan parangmu itu! Harusnya kau pura-pura jatuh, lalu lempar parangmu! Setidaknya dia akan teralihkan!"
"Ide bodoh macam apa itu? Melawan musuh purba dengan pura-pura jatuh? Kita sedang dikejar pembunuh, bukan main petak umpet!"
"Setidaknya ideku tidak membuat Ratih jadi seperti sate!"
"Hei!" Ratih menghentikan lari mereka, bersandar ke pohon, sambil mencengkeram lukanya yang mulai membeku karena keringat dingin. "Bisakah kalian berdua berhenti? Aku berdarah, dan mereka mengejar kita!"
Jaya dan Dara saling melotot sebentar, lalu mengangguk serempak.
"Maaf, Ratih," kata Jaya.
"Ya, maaf, Ratih. Tapi serius, ideku lebih brilian," bisik Dara, masih tidak mau kalah.
Jaya mendengus kesal.
"Diam!" Ratih menghela napas. "Kita tidak bisa terus begini. Mereka akan menyusul."
Ratih melihat ke sekeliling. Di kejauhan, ia melihat satu titik kecil cahaya, seolah-olah lampu yang tersembunyi di balik semak-semak. Ini aneh, karena mereka seharusnya berada di kedalaman hutan.
"Kita menuju ke sana. Itu mungkin gubuk pemburu, atau semacamnya," kata Ratih, menunjuk cahaya itu
Mereka bertiga bergerak perlahan menuju cahaya. Setiap langkah terasa berat bagi Ratih, dan dia mulai limbung. Jaya meraih bahunya, membantunya berjalan.
"Hati-hati, Ratih. Kau sudah kehilangan banyak darah," bisik Jaya.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah pondok kecil yang terbuat dari bambu dan atap rumbia. Cahaya berasal dari celah di pintu yang tertutup. Udara di sekitar pondok terasa dingin, namun anehnya, memberikan sensasi perlindungan.
Ratih merasakan liontinnya bergetar pelan, seolah memberi isyarat bahwa tempat ini aman, setidaknya untuk saat ini.
Jaya mengetuk pintu perlahan. "Permisi? Kami butuh bantuan. Teman kami terluka."
Pintu terbuka. Di ambang pintu berdiri seorang wanita tua. Wajahnya dipenuhi kerutan yang seperti peta, rambutnya putih diikat longgar, dan di lehernya melilit syal dengan pola aksara kuno. Di tangannya, ia memegang tongkat kayu yang ujungnya diukir seekor burung hantu.
Matanya... mata wanita tua itu berwarna perak cerah, menatap mereka dengan tatapan yang sangat tajam dan tahu segalanya.
Wanita tua itu tidak tersenyum. Ia menatap lurus ke mata Ratih.
"Keturunan Api Merah... Luka dari Keturunan Duri Hitam. Sudah kuduga ini akan terjadi," kata wanita itu, suaranya serak namun penuh otoritas.
Ia melambaikan tongkatnya. "Masuk. Sebelum kabut membawa mereka kembali."
Ratih, Jaya, dan Dara saling pandang. Mereka merasa lega, sekaligus khawatir. Aura wanita ini terasa kuat, tetapi tidak mengancam.
Mereka masuk ke dalam gubuk. Di tengah ruangan ada api kecil yang menyala di tungku, dan di sudutnya terdapat sebuah meja penuh dengan gulungan kertas dan botol-botol berisi cairan aneh.
"Aku bisa menyembuhkan lukamu. Tapi ini bukan tanpa harga," kata wanita itu, sambil menunjuk ke sebuah ranjang bambu di sudut. "Aku tahu apa yang kau pegang, Nak. Kotak kayu yang dicuri, dan cetakan kedua yang kosong."
Wanita itu melangkah mendekat, matanya yang perak menatap tajam cetakan kosong di tangan Ratih.