Di tengah hiruk pikuk kota Bandung yang modern, seorang pemuda terjebak dalam cinta yang tidak seharusnya. Ia tak tahu, bahwa wanita yang ia cintai menyimpan masa lalu yang kelam — dan hubungan mereka bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan takdir yang berulang dari masa lampau...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BABAK IX: KEKEJAMAN DAN AKHIR DARI PENGAKUAN ADIEGAN 22: UPAYA PENGGAGALAN YANG
Waktu semakin menipis. Dalam waktu kurang dari dua minggu, Reza telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Kontraktor yang dihubungi Reza bekerja siang malam. Pondasi Gapura dan Taman sudah selesai. Pembangunan 'Candi'—sebuah gazebo mewah dengan arsitektur tradisional—sudah mulai berdiri tegak, begitu pula rangka Jembatan Indah di atas kali kecil di samping warung. Mahar satu miliar rupiah sudah disiapkan di rekening khusus, dan delapan anak kambing sudah dipesan.
Nawangsih (Ratih) berada di ambang keputusasaan. Ia tahu, Reza akan berhasil, dan pernikahan terlarang itu akan terjadi. Satu-satunya cara adalah menggagalkan proyek ini secara manual.
Malam itu, sekitar pukul 02.00 dini hari, Nawangsih mengenakan pakaian gelap dan menyelinap keluar. Ia membawa tas berisi uang tunai yang ia kumpulkan dari tabungannya. Ia melihat proyek pembangunan Reza yang diterangi lampu sorot temporer.
Rencana Nawangsih adalah menghancurkan bagian pondasi 'Candi' dan menyabotase rangka jembatan. Ia juga mendekati beberapa kuli bangunan yang berjaga malam.
"Pak, tolong dengarkan saya. Jangan lanjutkan pekerjaan ini," bisik Nawangsih, menyodorkan beberapa lembar uang ratusan ribu. "Ambil uang ini, dan bilang saja proyek ini tidak bisa dilanjutkan karena masalah material. Tolong batalkan, ya?"
Para kuli itu kebingungan, tetapi ada yang mulai tertarik pada tawaran uang Nawangsih. Nawangsih terus bernegosiasi, saat tiba-tiba ia mendengar suara mobil yang familier.
Kecurangan yang Tertangkap Basah
Reza ternyata tidak sepenuhnya mempercayai Ratih. Ia sering berpatroli ke lokasi proyek pada jam-jam tak terduga. Malam itu, ia kembali dari Jakarta dan memergoki Ratih sedang berbisik-bisik dengan para kuli di area 'Candi'.
"RATIH! APA YANG KAMU LAKUKAN DI SANA?!" teriak Reza, suaranya menggelegar di malam yang sunyi.
Nawangsih menoleh, matanya membelalak. Reza berjalan ke arahnya dengan langkah marah dan cepat, aura Nahkoda itu kini berubah menjadi ancaman.
Nawangsih tahu ia tertangkap. Ia menjatuhkan tasnya dan berlari.
"TIDAK! JANGAN KE SANA!" teriak Nawangsih, berlari ke arah gang sempit dan gelap di belakang warung.
Reza tidak peduli. Amarah karena dikhianati dan ditolak membuat akal sehatnya hilang.
"BERHENTI! JANGAN LARI DARIKU LAGI!" raung Reza, mengejar ibunya sendiri di kegelapan.
Kuli-kuli itu hanya terdiam, ketakutan melihat perwira kaya itu kehilangan kendali.
Kekerasan dan Kengerian
Reza, yang fisiknya telah ditempa di lautan, mengejar Nawangsih dengan mudah. Nawangsih tersandung batu di jalanan tanah yang becek dan jatuh. Reza segera mencapai dan menerjangnya.
Ia menarik Nawangsih berdiri dengan kasar, mencengkeram wajahnya.
"Berani-beraninya kamu mengkhianatiku?! Setelah semua yang aku lakukan?! Kamu mau membatalkan pernikahan kita dengan cara kotor begini?! Jawab!"
"Lepaskan aku, David! Aku sudah bilang, kita tidak bisa menikah! Aku ibumu! Kau tidak mengerti!" air mata Nawangsih mengalir deras.
Penolakan dan penegasan status ibu itu semakin memicu emosi terpendam Reza. Ia mengangkat tangannya dan menampar Nawangsih dengan keras.
PLAK!
Suara tamparan itu menggema di gang sepi. Nawangsih meringis, pipinya langsung memerah.
"IBU?! KAMU BUKAN IBUKU! IBUKU TIDAK SETAHAN JUAL! KAMU WANITA LICIK! AKU AKAN MEMBUATMU MENYESAL TELAH BERMAIN-MAIN DENGAN SEORANG NAHKODA!" teriak Reza.
Kata-kata sadis dan kejam itu keluar dari mulutnya, dipicu oleh kombinasi cinta yang ditolak, rasa malu, dan kegagalan masa lalu yang ia bawa.
Reza menarik Nawangsih, menyeretnya dengan paksa menjauh dari gang, menuju area semak-semak yang lebih gelap dan terpencil. Nawangsih panik, ia tahu apa yang akan terjadi. Kekejaman yang ia takuti dari putranya sendiri kini menjadi nyata.
"LEPASKAN AKU! JANGAN! AKU IBUUUU! TOLONG! TOLONG AKU!" teriak Nawangsih, berjuang melepaskan diri.
Reza mendorong Nawangsih hingga jatuh ke tanah, tubuhnya kini menindih Nawangsih.
"Kamu tidak mau menikah denganku?! Kalau begitu, aku akan mengambil apa yang menjadi hakku sekarang juga! Aku akan membuatmu mengandung anakku! Kamu tidak akan bisa meninggalkanku lagi!"
Nawangsih berteriak sekuat tenaga. Matanya memejam, pasrah pada kengerian yang akan terjadi.
Pertolongan Tak Terduga dan Kehadiran Arya
Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar di belakang Reza.
BUGH!
Kepala Reza dihantam dengan keras oleh benda tumpul—sebuah balok kayu. Reza menjerit kesakitan, refleks melepaskan Nawangsih. Ia meringkuk di tanah, memegangi kepalanya yang pusing dan terasa berdarah.
Nawangsih bangkit. Di belakang Reza, berdiri seorang wanita tua dengan wajah ketakutan, memegang balok kayu itu dengan tangan gemetar. Wanita itu adalah salah satu tetangga yang mendengar teriakan Nawangsih dan bersembunyi di balik pohon.
"LARI, RATIH! LARI!" teriak wanita tua itu.
Nawangsih tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia berteriak histeris, melarikan diri menjauh dari semak-semak, berlari bersama wanita tua yang menjadi penolongnya.
Reza, meskipun kesakitan, mengutuk dan mencoba bangkit. Ia melihat Nawangsih melarikan diri dan, dipenuhi amarah, ia mulai mengejar.
"KAMU TIDAK AKAN LARI! TIDAK AKAN PERNAH!"
Mereka berlari keluar dari gang sempit menuju jalan raya kecil. Nawangsih dan wanita tua itu berlari sekencang mungkin.
Tepat saat mereka tiba di persimpangan yang diterangi lampu jalanan, sebuah mobil sedan hitam melaju pelan, lalu berhenti mendadak.
Pintu mobil terbuka, dan keluarlah sosok pria yang elegan, tegap, dan berwibawa. Wajahnya menatap lurus ke arah Nawangsih.
Itu adalah ARYA, Ayah kandung Reza.
Arya, yang tidak tenang karena Reza tidak bisa dihubungi semalaman, memutuskan menyusul putranya ke Bandung.
Pandangan mata Arya menyapu Nawangsih yang terlihat kacau, menangis, dan berlari ketakutan. Lalu pandangannya beralih ke belakang Nawangsih, di mana Reza muncul dari kegelapan, dengan wajah berlumuran darah dan mata penuh amarah.
Di tengah jalan itu, diapit Nawangsih (sebagai Ratih) dan putranya yang brutal, Arya akhirnya mengerti. Ia melihat kemiripan yang mengerikan antara Nawangsih dan Reza, ia melihat keabadian yang membingungkan.
Reza melihat Arya dan berhenti. Ia terkejut dan malu.
"AYAH!" teriak Reza, suaranya pecah, penuh rasa sakit dan amarah yang tertahan.
Arya menatap Reza, lalu Nawangsih, menyadari bahwa ia telah kembali ke tengah pusaran takdir yang sama, kali ini lebih mengerikan.