Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.
Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.
Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.
Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.
Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 - Anak dari Wahyu Langit
Di tengah hutan batu, berdiri istana sederhana.
Lantainya disusun dari batu pipih, sedangkan dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan kayu tua yang menghitam dimakan waktu.
Atapnya dari daun palem kering, menunduk rendah seolah melindungi rahasia yang tersimpan di dalamnya.
Para penjaga berdiri mengitari dengan tenang.
Rambut mereka di tutup kain serat pohon sukun, tubuhnya berbalut pakaian dari serat rami.
Di dada tergantung bandul batu hijau simbol keberanian kaum penjaga Lakantara.
Di tangan mereka, tombak dengan ujung batu rijang tegak mengarah ke langit, gagangnya diikat dengan serat pohon, siap menghadapi ancaman yang tak terlihat di hutan batu.
Di dalam kamar, Lahkara'na Sura berbaring di atas alas sederhana dari anyaman daun pandan, dilapisi kulit binatang tipis, dibantu oleh seorang dukun beranak dan dua pelayan setia.
Napasnya terengah, tubuhnya menegang, sementara tangisan bayi yang akan lahir mulai terdengar.
Di balik pintu, Lahkara Ama menatap ke arah timur melalui jendela.
Langit malam yang tenang tiba-tiba pecah oleh cahaya hijau menyilaukan. Sebuah meteor jatuh dari angkasa, tepat menabrak Gunung Salak, menimbulkan guncangan dan kilatan api yang menari di kaki gunung.
Tangisan bayi pertama terdengar bersamaan dengan dentuman meteor. Lahkara Ama menelan ludah, matanya membesar oleh keterkejutan.
Ia tidak tahu apa arti semua itu apakah pertanda bahaya, berkah, atau sesuatu yang lebih besar. Yang pasti, kelahiran Lahkara'ru ini terasa penuh misteri dan takdir yang belum bisa ia pahami.
Bayi itu akhirnya menangis dengan suara kecil namun tegas, menandai awal hidupnya di dunia yang penuh ketidakpastian.
Dukun beranak menyerahkan bayi ke tangan Lahkara'na, yang menatap bayi Lahkara'ru dengan campuran kelelahan, kebahagiaan, dan rasa takut yang samar tidak ada yang bisa menjelaskan cahaya hijau yang menembus langit malam.
Lahkara Ama menunduk, ragu-ragu untuk menyentuh putranya. Mata Lahkara menatap meteor yang masih memancarkan kilau hijau di kejauhan, di puncak Gunung Salak.
Ia tak tahu apakah itu pertanda bahaya atau berkah, namun ada getaran tak wajar yang membuat dadanya berdebar kencang.
Tentara yang berjaga di kamar itu tetap tegap, tombak di tangan mereka menolak goyah, meski mata mereka tak bisa menutup kekagetan terhadap cahaya misterius yang baru saja menyapu langit.
Mereka menukikkan pandangan sekali-sekali ke bayi yang baru lahir, seolah merasakan bahwa sosok kecil itu akan memegang takdir yang tak kalah berat dari langit yang runtuh di depan mata mereka.
Lahkara'na Sura mengusap keringat di dahinya, menarik napas panjang, sementara tangan bayi yang mungil menggenggam jarinya.
Lahkara Ama akhirnya menatap putranya dengan penuh tekad, meski hatinya masih diliputi ketidakpastian. "Raka... nama putramu," bisiknya, suara lembut namun tegas. "Kau lahir di malam yang luar biasa, Kau akan menghadapi dunia yang tak sepenuhnya bisa dijelaskan, tapi... takdirmu, Nak... takdirmu akan menentukan jalan Suralah."
Di luar kamar, angin malam menggerakkan dedaunan dan membawa sisa cahaya hijau meteor ke seluruh penjuru istana.
Segalanya hening, hanya suara napas Lahkara'na Sura, tangisan bayi, dan gemericik rasa takut yang belum bisa dipahami manusia biasa.
Di sinilah awal perjalanan Raka, seorang putra yang lahir dalam misteri, cahaya, dan ancaman yang tersembunyi.
Langit maruyung mulai berpendar memerah ungu ketika dua penunggang kuda melintasi jalan setapak yang dikelilingi hutan rimbun.
Nafas kuda mereka berat, kaki menapak tanah becek setelah hujan semalam. Di punggung masing-masing, hanya tergantung kantong kulit berisi air dan sedikit bekal.
Mereka adalah Laka dan Yaka, dua murid Rasi P'rana, membawa wahyu yang disampaikan secara lisan, pesan suci yang harus sampai ke barat ke Kerajaan Suralah.
Perjalanan mereka tidak mudah. Jalan licin, hutan gelap, dan ancaman dari pasukan Yarun Rahu Ama bisa muncul kapan saja.
Di hari kedua, ketika matahari condong ke barat, mereka berhenti di sebuah perkampungan kecil untuk memberi makan kuda. Namun di sanalah perdebatan dimulai antara kewajiban dan perasaan, antara tugas dan belas kasih.
Laka, murid tertua dan paling teguh, menatap lurus ke depan. "Kita tidak bisa berhenti lama, Yaka. Waktu kita sedikit. Setiap matahari terbit berarti lebih dekat dengan pengejaran tentara Yarun," katanya dengan nada tegas.
Namun Yaka menoleh ke perkampungan kecil di sisi jalan. Matanya menangkap seorang ibu muda yang sedang menimang bayinya di depan gubuk bambu. Senyumnya lembut, polos, tidak tahu apa-apa tentang ancaman yang akan datang. Pandangan itu membuat dada Yaka sesak.
"Laka...," ucapnya pelan. "Kalau benar seperti yang disampaikan guru, pasukan Yarun akan membantai bayi-bayi di barat. Termasuk di sini. Aku tidak bisa pergi begitu saja."
Laka menahan kendali kudanya dan menatap tajam pada sahabatnya. "Jangan bodoh! Tugas kita menyampaikan wahyu dulu. Kalau kerajaan Suralah tahu, mereka bisa bersiap! Itu cara terbaik untuk menyelamatkan semua orang."
"Tapi mereka tidak tahu apa-apa!" seru Yaka, matanya berkaca. "Mereka bahkan tidak tahu bahaya sudah di depan mata. Aku tidak sanggup membiarkan anak-anak tak berdosa mati tanpa peringatan!"
Keheningan jatuh di antara mereka. Angin malam mulai berhembus, membawa suara jangkrik dan bau tanah basah. Laka menggertakkan gigi, lalu menghela napas panjang.
"Baik. Kalau itu jalanmu, lakukan," katanya dingin. "Tapi ingat, kita akan bertemu lagi di Suralah. Aku akan terus ke barat membawa wahyu. Jangan sampai kau tertinggal, Yaka."
Yaka menunduk, lalu menatap sahabatnya untuk terakhir kali. "Hati-hati, Laka. Dunia sedang berubah, dan kita hanya bagian kecil darinya."
Keduanya berpisah di simpang jalan. Laka menunggang kudanya ke arah barat, menuju Kerajaan Suralah.
Sedangkan Yaka menuntun kudanya perlahan, kembali ke perkampungan kecil itu tempat tangisan bayi dan nyala lampu obor menjadi saksi awal dari tragedi besar yang akan datang.
Sudah beberapa hari siang ketemu malam berganti murid Rasi bernama Pasai berjalan ke arah selatan, mengikuti insting yang ia percayai sebagai petunjuk menuju Ranu Lahu sang utusan ilahi.
Namun, langkahnya belum menemukan jejak apa pun. Ia menambatkan kudanya di bawah pohon besar dan meninggalkannya sementara untuk mencari makanan.
Malam turun perlahan, membawa hawa lembab dan kabut tipis. Pasai duduk di dekat api kecil, membakar beberapa umbi talas untuk mengisi perut yang sudah kosong sejak siang. Api itu menjadi satu-satunya cahaya di tengah kegelapan hutan.
Tiba-tiba, suara teriakan kuda terdengar dari arah belakang, disusul auman panjang yang menggema. Pasai menoleh cepat, matanya menajam menembus gelap, mencoba memastikan apa yang terjadi. Saat ia mundur pelan, kakinya tanpa sengaja menginjak ranting kering krek! suara itu memecah keheningan.
Auman kembali terdengar, lebih dekat kali ini. Seekor harimau besar berbulu tebal muncul dari balik semak, matanya memantulkan cahaya api, tubuhnya berotot, taring bagai pisau dan penuh tenaga.
Pasai menahan napas, lalu perlahan memanjat pohon di dekatnya.
Harimau itu mendekat, mengendus-endus tanah tempat Pasai berdiri tadi. Ia mengaum keras, kemudian melompat ke batang pohon, cakarannya menimbulkan bunyi keras di kulit kayu. Tapi setelah beberapa kali mencoba dan gagal, binatang itu menyerah.
Pasai menatap dari atas, tubuhnya gemetar menahan dingin dan takut. Harimau itu akhirnya berbaring di bawah pohon, matanya tak lepas dari arah Pasai menunggu, sabar seperti penjaga yang tahu mangsanya belum pergi.
Malam itu terasa panjang, hanya suara api yang mulai padam dan desah napas liar yang memenuhi hutan.
Hampir menuju musim kedua di halaman batu, Lahkara Ama menunggu di depan istananya yang sederhana lantai batu, dinding kayu dan bambu, obor kecil bergetar tertiup angin.
Di pelataran, rakyat menyiapkan sesaji dari buah dan bunga, menyambut kedatangan utusan dari timur.
"Mungkin ini pertanda baik," ujar Lahkara Ama pada permaisurinya, menatap bayi mungil di pelukannya. "Rasi P'rana pasti ingin memberi restu atas kelahiran putra kita."
Tapi begitu Laka tiba dengan pakaian perjalanan yang berdebu dan mata menunduk berat suasana berubah menjadi sunyi. Ia menatap Lahkara Ama dalam-dalam sebelum berlutut.
"Ampun, yang mulia Ama... aku tak membawa kabar gembira."
Lahkara mengernyit. "Bukankah Rasi P'rana mengutusmu untuk memberi restu?"
Laka menunduk lebih dalam, suaranya berat dan pelan.
"Yang Rasi P'rana berikan... bukan restu, melainkan wahyu.
Laka menatap sekeliling, memastikan tak ada prajurit yang mendengar. Wajahnya tampak tegang di bawah cahaya obor.
"Yang Mulia Ama... izinkan hamba berbicara empat mata," katanya lirih.
Lahkara Ama memberi isyarat agar semua orang mundur. Setelah hanya mereka berdua yang tersisa di serambi batu itu, Laka menunduk, menatap tanah, lalu berucap pelan namun tegas:
"Setelah dua belas musim berlalu sejak Yarun Rahu Ama mengirim perintah ke seluruh negeri memanggil para Rasi dan muridnya menuju Lakantara dengan dalih memeriksa wahyu lisan. Tapi kebenarannya... bukan untuk memeriksa, melainkan untuk membunuh."
Lahkara tertegun. "Membunuh?"
"Ya, Yang Mulia Ama," lanjut Laka, suaranya serak menahan amarah. "Di sepanjang perjalanan menuju Lakantara, banyak Rasi dan murid mereka dibantai oleh pasukan kerajaan atas perintah Yarun Rahu Ama sendiri.
Hanya sedikit yang selamat di antaranya Rasi P'rana dan kami, tiga murid yang tersisa."
Laka mengangkat pandangannya. "Itulah sebabnya dunia kini sunyi dari ajaran Rasi".
Dan sebabnya pula mengapa Rasi P'rana mengutus hamba kemari agar Yang Mulia tahu kebusukan yang dilakukan saudaramu, dan menimbang apakah darah yang sama masih pantas disebut keluarga."
Angin malam menderu di antara pepohonan, menggoyangkan ranting-ranting, seakan ikut menuntun mereka.
Suasana sunyi namun penuh ketegangan, menegaskan bahwa setiap langkah kini membawa nasib kerajaan dan ramalan yang harus mereka jaga.
Hening sejenak, hanya suara angin dan nyala obor yang bergetar.
Laka menarik napas dalam, seolah menimbang beratnya kata yang hendak keluar.
"Itu belum segalanya, Yang Mulia Ama," ucapnya pelan. "Sebelum hamba berangkat kemari, Rasi P'rana membaca wahyu lisan. Isinya... sebuah peringatan."
Ia menatap langit yang mulai kelam, lalu bersuara seperti mengucap mantra:
'Api hijau akan turun ke bumi,
peringatan bagi manusia untuk memperbaiki amal dan kebaikan,
ia akan meluluhlantakkan istana yang tamak,
dan darinya akan terlahir seorang anak.'
Lahkara Ama terdiam. Darahnya seolah berhenti mengalir. "Api hijau..." gumamnya, mengingat peristiwa 2 musim malam lalu meteor bercahaya hijau yang melintas di langit, jatuh di timur gunung salak, tepat saat putranya lahir.
Laka menunduk. "Rasi P'rana percaya, wahyu itu bukan kebetulan, Yang Mulia. Dan karena itulah Yarun Rahu Ama kini mengirim bala tentaranya memburu setiap bayi yang baru lahir. Ia takut pada wahyu itu."
Lahkara menggenggam kain pelapis di dadanya, matanya menatap ke arah istana kecil tempat bayinya tidur.
"Jadi... darahku sendiri yang hendak menghabisi keturunanku?"
Laka menjawab dengan suara getir, "Bukan darahmu, Yang Mulia. Tapi keserakahan yang menetes darinya."
Sunyi melingkupi mereka berdua. Angin malam membawa bau lembab bambu dan debu tanah.
Lahkara Ama memejamkan mata sejenak, lalu berjalan perlahan ke dalam istana.
Di sana, sang Lahkara'na Sura tengah menimang bayi mereka wajahnya tenang, tak tahu badai apa yang sedang mendekat.
"Permaisuriku," suara Lahkara Ama bergetar, "malam ini kita harus melepaskannya."
Lahkara'na Sura menatap heran. "Melepaskan siapa?"
"Lahkara'ru kita," jawabnya lirih. "Rasi P'rana menitipkan wahyu lewat Laka. Lakantara akan datang memburu setiap bayi. Mereka mencari tanda dari langit hijau yang turun malam itu."
Air mata Lahkara'na Sura menetes, mengguncang bahunya. "Lalu di mana tempat aman untuknya?"
Laka maju selangkah, menunduk hormat. "Aku akan membawanya ke tanah yang belum dijamah kerajaan mana pun. Di sanalah Rasi P'rana menunggu."
Hening panjang. Lahkara Ama menatap wajah kecil di pelukan istrinya.
Ia membelai dahi bayinya dengan tangan gemetar. "Maafkan ayahmu yang hanya bisa memberimu dunia yang hancur, Nak. Tapi kelak... dari kehancuran inilah engkau akan menumbuhkan cahaya."
Ia menyerahkan bayi itu ke tangan Laka dengan perlahan, seperti menyerahkan separuh jiwanya sendiri.
Begitu langkah Laka hilang di balik gelap hutan batu, Lahkara Ama berdiri tegak. Di luar, suara genderang peringatan mulai terdengar pertanda pasukan Lakantara telah menyeberangi lembah.
"Panggil seluruh prajurit," titahnya. "Kita hadapi mereka. Jika takdir menuntut Lakantara hancur, biarlah kita menjadi api pertamanya."
Obor di halaman berkobar serentak. Puluhan tombak terangkat menantang langit.
Di tengah angin malam yang membawa bau perang, Lahkara Ama berdiri di barisan depan seorang Ama yang memilih bertahan, demi seorang anak yang kini tengah dibawa menuju takdirnya.