NovelToon NovelToon
Jadi Istri Om Duda!

Jadi Istri Om Duda!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:995
Nilai: 5
Nama Author: Galuh Dwi Fatimah

"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hari Pertama

Senin pagi, hari pertama kerja. Riri bangun lebih awal dari biasanya — sesuatu yang bahkan membuat Rahayu sedikit syok.

“Waduh, dunia mau kiamat nih anak Mama bangun pagi sendiri,” candanya sambil melirik.

“Ma, please… ini hari pertama kerja. Aku harus tampil perfect,” jawab Riri sambil sibuk berdandan di depan cermin.

Ia memilih blouse putih dan celana bahan krem, rambut panjangnya dibiarkan terurai rapi. “Gimana, Ma? Terlihat profesional kan?”

Rahayu mengangguk bangga. “Cantik banget anak mama. semua orang di kantor nanti pasti ngelirik kalau kamu cantik begini. Ri.”

“Ya… jangan semua juga, Ma. Aku malu.” gumam Riri dengan pipi sedikit memerah. Dalam pikirannya ia hanya ingin berpenampilan terbaik terutama karena ia akan bertemu seseorang, yang entah kenapa, bayangan wajah Bastian muncul di benaknya.

___

Sesampainya di kantor, Riri disambut oleh Ayu dari HRD.

“Pagi, Mbak Riri. Selamat ya, anda resmi jadi bagian dari Dinantara Group,” sapa Ayu ramah.

“Pagi, Mbak Ayu. Makasih banyak, mohon bantuannya ya mba. jujur aja aku deg degan banget hari ini,” jawab Riri jujur.

“Wajar. Hari ini kamu orientasi dan kenalan sama tim ya. Oh iya, nanti siang Pak Bastian minta semua karyawan baru dikumpulin di ruang rapat lantai 15. Jadi kamu nanti siap-siap ya.”

“Pak Bastian…,” gumam Riri pelan. Jantungnya langsung berdegup lebih cepat dari lift yang ia tumpangi.

 ___

Ruang rapat lantai 15 penuh dengan karyawan baru. Begitu Bastian masuk dengan jas navy dan aura tenang khasnya, semua langsung terdiam. Riri yang duduk di baris tengah mendadak jadi kaku.

“Selamat datang di Dinantara Group. Saya Bastian Dinantara. Saya senang kalian bisa bergabung dengan Perusahaan kami,” ucap Bastian dengan suara tenang tapi berwibawa.

Riri menatapnya diam-diam. “Kenapa sih orang ini selalu bikin deg-degan…,” gumamnya.

Tanpa sengaja, Bastian mengarahkan pandangannya ke arah Riri. Tatapan itu hanya beberapa detik, tapi cukup membuat wajah Riri panas. Ia buru-buru menunduk, pura-pura merapikan map.

Dalam hati, Bastian bergumam pelan, “Anak ini… Dia bekerja di sini, akan jadi ujian besar buatku.”

__

Hari-hari pertama kerja terasa seperti dunia baru bagi Riri. Kantor megah, lingkungan profesional, dan rutinitas yang jauh dari rebahan di kasur membuatnya sedikit gugup, tapi juga bersemangat.

Setiap pagi ia datang lebih awal, membawa aroma parfum lembut dan semangat yang masih segar. Di antara para karyawan baru, Riri cepat mencuri perhatian. Bukan hanya karena wajah cantiknya, tapi juga kepribadian ceria dan cara bicaranya yang spontan.

“Eh, kamu anak baru juga ya?” sapa seorang cowok tinggi dari divisi marketing saat istirahat siang.

“Iya, aku Riri. Kamu?” jawabnya sambil membuka bekal.

“Rico. Baru seminggu juga. Kamu di divisi humas kan?”

“Iya, kok kamu tahu?_” balas Riri dengan tawa kecil.

Obrolan ringan seperti itu sering terjadi. Banyak rekan kerja pria mencoba mendekat, meski Riri tidak terlalu menanggapi serius. Namun tanpa ia sadari, ada satu pasang mata yang memperhatikannya dengan sangat hati-hati — Bastian.

Di ruang kerjanya yang besar dan dinding kaca bening, Bastian sering berdiri di depan jendela, berpura-pura melihat kota dari lantai 18, padahal sesekali pandangannya turun ke arah area kerja tempat karyawan baru ditempatkan.

Dan di sana, duduklah Riri, dengan ekspresi serius namun ceroboh yang khas. Kadang rambutnya jatuh menutupi wajah, kadang ia panik mencari file yang salah taruh, kadang ia tertawa dengan teman satu tim.

“Dia masih sama… ceroboh tapi menarik,” gumam Bastian pelan sambil menghela napas panjang.

Suatu siang, Bastian turun langsung ke lantai administrasi untuk memeriksa laporan bulanan. Begitu ia muncul, ruangan langsung hening. Semua karyawan berdiri sopan, termasuk Riri.

“Selamat siang, Pak Bastian,” sapa mereka hampir serempak.

“Siang,” balas Bastian dengan nada datar dan tenang.

Saat ia berjalan melewati barisan meja, sepatu kulitnya terdengar beradu dengan lantai marmer. Riri menunduk sambil menggenggam map erat-erat. Tapi saat Bastian berhenti tepat di depannya, jantungnya nyaris copot.

“Riana, kamu yang tangani rekap administrasi harian, kan?”

“Eh… iya, Pak. Ini laporannya,” jawabnya gugup sambil menyerahkan map.

Bastian menerima map itu, matanya bertemu dengan mata Riri sekilas. Tatapan itu tidak lama, tapi cukup membuat Riri memalingkan wajah cepat-cepat.

“Bagus. Saya minta kamu lebih teliti di bagian penomoran ya. Tadi pagi saya sempat lihat ada kesalahan kecil di arsip tanggal 2,” ucap Bastian dengan nada lembut tapi tegas.

“Iya, Pak. Maaf, nanti saya perbaiki,” jawab Riri cepat.

“Kerja bagus,” balas Bastian singkat, lalu melanjutkan langkahnya.

Begitu ia pergi, Riri langsung menjatuhkan diri ke kursi sambil menepuk pipinya sendiri pelan.

“Astaga… kenapa kalau dia ngomong, aku langsung kayak kena hipnotis,” gumamnya pelan.

Rico yang duduk di sebelah langsung nyeletuk, “Kamu kena pesona bos ganteng ya, Ri?”

“Apaan sih!” Riri langsung mencubit lengan Rico, pipinya merah.

Sementara itu, di ruangannya, Bastian duduk di kursi kerja sambil membuka map laporan tadi. Ada senyum kecil yang tak sengaja muncul di bibirnya.

“Riana.. kamu membuat saya penasaran,” gumamnya dalam hati. Ia sadar betul — Riri bukan hanya karyawan baru, tapi juga putri sahabatnya sendiri.

Namun entah kenapa, setiap kali melihat wajah ceria gadis itu, hatinya terasa sedikit hangat.

___

Hari-hari pertama Riri sebagai Junior Public Relation terasa penuh tantangan. Tugasnya bukan hanya duduk di meja dan mengetik, tapi juga ikut mempersiapkan acara, menemani tim humas ke lapangan, dan bertemu klien.

“Riri, tolong bantu cetak press release untuk acara minggu depan, ya,” ujar Kak Maya, senior humas yang tegas tapi baik.

“Iya, Kak. Langsung aku kerjakan,” jawab Riri sambil buru-buru menyalakan laptopnya.

Tim humas sering lalu-lalang ke ruang meeting, lobby utama, bahkan ruangan direktur — termasuk ruangan Bastian. Itulah kenapa, hampir setiap hari Riri punya kemungkinan “berpapasan” dengan Bastian.

Suatu pagi, tim humas ditugaskan menyiapkan konferensi pers kecil untuk peluncuran produk baru. Riri ditunjuk untuk mengatur dokumentasi dan memastikan tamu media mendapat informasi dengan rapi.

“Riri, nanti kamu ikut saya ke ruang rapat lantai 15, ya. Pak Bastian juga akan hadir, jadi semua harus rapi. Jangan sampai ada kesalahan,” ujar Kak Maya.

“Siap, Kak!” jawab Riri, meski dalam hati ia panik. “Pak Bastian hadir…? Ya ampun, jantungku jangan berisik, dong,” gumamnya pelan.

Beberapa jam kemudian, ruang rapat sudah dipenuhi tamu media, tim PR, dan beberapa staf penting. Riri sibuk mondar-mandir mengecek air minum, menyiapkan press kit, dan membantu fotografer.

“Riri, tolong geser banner itu ke kanan sedikit!” teriak salah satu tim.

“Oke, siap kak!” Riri menarik banner tinggi itu sendirian, tak sadar bahwa Bastian baru saja masuk ruangan.

“Pelan-pelan,” suara Bastian terdengar dekat. Riri menoleh kaget.

“P-Pak Bastian… saya… saya cuma…”

Bastian menahan banner itu dari belakang agar tidak jatuh. “Tenang, saya bantu,” katanya dengan suara tenang tapi dalam.

Wajah Riri langsung memanas. “Makasih, Pak… saya kira udah mau roboh,” katanya gugup.

Bastian tersenyum tipis. “Kamu bagian PR kan? Saya lihat kamu cukup aktif hari ini.”

“Iya, Pak. Baru beberapa hari kerja, jadi saya masih perlu banyak belajar,” jawab Riri cepat.

“Bagus. Teruskan semangatnya,” ucap Bastian sebelum melangkah ke kursinya di depan para media.

Begitu Bastian pergi, Kak Maya menepuk bahu Riri. “Tadi kamu dibantu langsung sama Pak Bastian? Wah, baru masuk kamu udah menarik perhatian dia, Ri,” godanya.

“Apaan sih, Kak… dia cuma bantu aku pegangin banner,” balas Riri buru-buru, pipinya memerah.

1
Grindelwald1
Wah, mantap!
Galuh Dwi Fatimah: terimakasih!!
total 1 replies
Niki Fujoshi
Capek tapi puas baca cerita ini, thor! Terima kasih sudah membuatku senang.
Galuh Dwi Fatimah: Terimakasih kak, semoga harimu selalu menyenangkan
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!