NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 Itu Adalah Karma

“Anda terlihat lesu hari ini.” Leana tersenyum tipis sambil meletakkan secangkir kopi di hadapan Darren.

Pria itu menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi sambil mengusap wajah. “Aku baru saja tiba di kota ini.”

“Dari Regalsen?” Leana menatapnya dengan lembut. “Saya dengar kondisi Damien kembali memburuk. Bagaimana keadaannya sekarang? Semoga ada kabar baik yang Anda bawa.”

Darren menatap kosong pada uap kopi yang naik perlahan. “Sebenarnya aku juga berharap begitu ketika melihatnya. Tapi … Damien belum menunjukkan banyak perubahan.”

Leana menunduk pelan. “Saya ikut prihatin mendengarnya. Damien masih terlalu kecil untuk menanggung semua itu. Pasti berat juga untuk Eve, apalagi di tengah kehamilannya.”

Darren menatap Leana lama, matanya redup namun tajam. “Leana, kau … tidak cemburu?”

Leana mengerutkan kening. “Cemburu? Atas dasar apa saya harus cemburu?”

“Ya … karena aku bilang padamu tadi. Aku baru kembali dari sana, menunggui Eve dan Damien semalaman.” Ia berhenti sejenak, menatap wajah Leana dengan sedikit ragu. “Tanpa Alex.”

Leana hanya mengangkat alisnya. “Lalu?”

“Lalu kau tidak cemburu?”

Senyum Leana melebar, lembut tapi menusuk. “Pak, saya sudah pernah bilang—Anda sebaiknya menyelesaikan perasaan Anda dulu sebelum memutuskan untuk mencintai wanita lain.”

“Ya, kau benar,” Darren mengaku lirih. “Aku sudah mengungkapkan perasaanku, dan aku tahu aku tidak bisa mencintainya. Begitu pun sebaliknya.”

“Tapi Anda tetap saja menungguinya semalaman,” balas Leana tenang.

“Ya … aku hanya peduli padanya.”

“Apakah Anda yakin kalau itu hanya kepedulian?”

Ia kemudian tersenyum samar, lalu berbalik pergi sebelum Darren sempat menjawab.

Darren termenung. Kalimat terakhir wanita itu bergaung di benaknya seperti gema yang enggan padam.

Apa aku hanya sekedar peduli?

Ia menatap layar ponselnya lama, jarinya berhenti di nama “Eve”.

Hatinya terasa berat. Ia ingin menekan tombol panggil, tapi ingatan akan kata-kata Eve kemarin membuatnya menahan diri.

Sebagai gantinya, ia menghubungi Noah. Ia meminta pria itu datang ke barnya nanti sore, setelah jam kerja.

Namun, Noah malah berkata kalau dia sedang malas keluar hari ini. Bahkan setelah Darren mengatakan ingin membicarakan sesuatu dengannya, Noah tetap menolak dengan alasan kalau dia memiliki urusan sendiri.

Padahal tidak ada. Noah memang sedang tidak ingin bertemu siapa pun. Bahkan berada di kantor hingga sore tadi pun sudah cukup membuatnya ingin menutup dunia.

Begitu jam kerja selesai, ia langsung pulang. Namun, sesampainya di rumah, langkahnya terhenti.

Di halaman sudah terparkir mobil Edgar. Pria itu berdiri di taman, menyandarkan tubuh pada pagar batu sambil merokok dengan tatapan jauh—seolah sedang menunggu sesuatu yang berat di dadanya.

Wajah Noah berubah panik seketika. Ia langsung melangkah cepat keluar rumah menuju halaman.

“Daisy di dalam?” tanyanya buru-buru.

“Ya,” jawab Edgar santai sambil menjatuhkan abu rokok. “Katanya ingin menemuimu.”

“Apa kalian sudah lama di sini?”

“Baru saja dia masuk.”

Tanpa menunggu lebih lama, Noah berlari menuju pintu rumah, langkahnya lebar dan tergesa.

Begitu hampir mengetuk pintu kamar ibunya, suara tangis Daisy sudah terdengar jelas dari dalam—serak dan tersendat-sendat.

“Nenek, kau boleh mengambil jantungku.” Suara Daisy lirih, “Tapi kumohon, jangan ambil kembali jantung Eldy. Damien tidak akan bisa hidup tanpa itu ….”

Noah terpaku di depan pintu.

“Kau sangat menyayangi kakakmu, kan? Kenapa bukan kau saja yang memberikan jantung untuknya?” Suara Diana terdengar tajam. “Asal kau tahu, meskipun kau mengatakan begitu, tidak ada yang bisa mengembalikan cucuku! Semua ini gara-gara ayahmu!”

Darah Noah berdesir dingin. Ia mendorong pintu sedikit, tapi belum berani masuk. Dari celah kecil, ia bisa melihat Daisy berlutut di lantai, tubuh mungilnya gemetar, air matanya mengalir tanpa henti.

“Apa yang terjadi pada kakakmu itu karena ayahmu sendiri!” teriak Diana lagi, matanya menyala penuh dendam. “Kau ingin tahu kenapa aku bilang begitu? Karena ini karma dari apa yang dia lakukan!”

“Orang itu bernama Shania,” lanjut Diana dengan suara bergetar penuh amarah. “Alex menolak membantu Shania ketika dia meminta donor jantung untuk adiknya. Tapi ayahmu yang sombong dan kejam itu menolak! Akhirnya adik Shania mati! Dan sekarang, lihatlah—Damien, anaknya sendiri, harus menanggung karmanya! Itu balasan dari Tuhan!”

Suara Diana meninggi, tangannya bergetar, wajahnya memerah karena emosi yang meledak.

“Dan kau, Daisy!” serunya lagi, menunjuk wajah Daisy dengan dingin. “Jangan pernah tunjukkan wajahmu di hadapanku lagi. Ingat ini—Damien tidak akan pernah sembuh, meskipun dia sudah mendapatkan jantung Eldy. Karena nyawa harus dibayar dengan nyawa!”

“Cukup, Bu!” Suara Noah menggelegar di ambang pintu. Ia mendorong pintu keras hingga terbuka lebar, lalu segera mengangkat Daisy yang menangis di bawah kaki ibunya.

“Daisy, jangan dengarkan dia, Nak ….”

Ia mengusap rambutnya lembut, menundukkan kepala gadis itu di pundaknya, mencoba menenangkan tangisannya yang pecah lagi.

“Noah!” seru Diana tajam.

Tapi Noah menatap ibunya dengan sorot marah yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

“Kau keterlaluan, Bu!” katanya serak namun tegas. “Belum cukupkah kau membuat Celline pergi? Sekarang kau juga melukai anak kecil yang bahkan tak tahu apa yang kau bicarakan. Aku kira setelah merawat Eldy selama ini, kau akan belajar apa itu belas kasih. Tapi ternyata, yang tersisa hanya amarah dan dendam!”

“Belas kasih?” Diana tertawa sinis. “Kau tidak tahu apa-apa tentang bagaimana aku merawat Eldy! Semua yang kukatakan adalah kebenaran! Damien menanggung dosa ayahnya sendiri!”

“Jangan bicara omong kosong, Bu!”

“Kau pikir aku bohong?” Diana menatapnya tajam. “Kalau tidak percaya, cari tahu sendiri! Aku tahu semuanya, Noah!”

Diana mengambil tasnya di atas meja dengan gerakan kasar, lalu melangkah pergi melewati Noah tanpa menatap lagi. Aroma parfumnya yang kuat masih tertinggal di udara, menyisakan keheningan dan luka yang menggantung.

Noah menatap punggung ibunya hingga langkahnya lenyap di balik pintu.

Namun sebelum sempat menarik napas panjang, matanya menangkap sosok lain berdiri di ambang pintu—diam, menatap mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Darren.

Entah sejak kapan pria itu sudah ada di sana.

“Aku tidak sengaja mendengar semuanya,” ujar Darren pelan, suaranya terdengar kikuk.

Ia memang datang untuk menemui Noah sejak tadi, tapi setelah Noah menolak ajakannya, Darren berinisiatif pergi langsung ke kantornya. Sayangnya, sekretaris Noah bilang bahwa atasannya baru saja pulang.

Dan kini, tanpa sengaja, Darren malah mendengar sendiri semua yang seharusnya tak ia dengar—kata-kata Diana, tangis Daisy, dan amarah Noah yang terpendam.

Melihat Daisy yang masih terisak di gendongan Noah, dadanya ikut terasa sesak. Anak sekecil itu … tak seharusnya menanggung beban seberat ini.

“Aku akan membawanya ke atas dulu,” ucap Noah pelan.

Darren hanya mengangguk, tak berani ikut campur. Ia tahu, Daisy akan lebih tenang bersama Noah. Mereka berdua punya kedekatan yang tidak dimiliki orang lain.

Beberapa belas menit kemudian, Noah turun kembali. Ia duduk di sofa bersebelahan dengan Darren, lalu melepaskan dasinya dengan gerakan lelah.

“Bagaimana Daisy?” tanya Darren hati-hati. “Apa dia baik-baik saja?”

Noah tersenyum miring, tapi senyum itu pahit. “Apa yang kau harapkan setelah dia mendengar semua itu? Kalau dia bisa tertidur sekarang, itu sudah keajaiban bagiku.”

Darren menghela napas pelan. “Apa yang aku dengar tadi benar? Celline pergi?”

“Ya,” jawab Noah tanpa ragu. “Dan kali ini aku tak bisa menahannya. Dia tidak sanggup lagi tinggal di kota ini. Katanya, dia lebih baik kembali ke luar negeri.”

Darren menatap meja di hadapannya. “Aku rasa … Celline membuat keputusan yang tepat. Tidak mudah menanggung rasa malu dan bersalah setiap hari. Dia butuh menjauh, untuk menyembuhkan dirinya sendiri.”

Noah menggeleng pelan. “Sebenarnya bukan cuma itu alasannya.”

Darren menatapnya heran. “Lalu?”

Sebelum menjawab, Noah melirik ke arah jendela dan sekitar ruangan, memastikan tak ada siapa pun. “Apa Edgar mendengar semua ini?”

“Tidak,” jawab Darren. “Aku lihat tadi dia keluar ke halaman belakang. Kenapa?”

Noah bersandar, suaranya menurun. “Kuharap kau tidak menceritakan apa pun pada Alex. Kau tahu, dia tidak bisa menerima hal seperti ini. Kalau dia sampai tahu, semuanya bisa jadi berantakan.”

Darren menaikkan satu alisnya. “Kau menganggapku seperti anak kecil?”

Noah menghela napas berat. “Kemarin aku bertengkar dengan Ibu. Tiba-tiba saja Celline bilang dia ingin pergi dari sini. Aku sempat curiga, dan ternyata benar—semua itu karena Ibu. Dia memprovokasi Celline, mengungkit hal-hal lama, bahkan menuduh kami menukar jantung Eldy agar mereka mau memaafkan kami.”

Matanya menerawang kosong. “Aku tidak tahu kalau saat itu Celline dan Daisy mendengarkan semuanya. Celline pergi malam itu juga. Daisy pulang sambil menangis.”

Darren mencondongkan tubuh, suaranya menurun penuh perhatian. “Bagaimana ibumu bisa tahu semua itu? Dan Shania … bagaimana dia bisa mengenal karyawan Eve?”

Noah menggeleng perlahan. “Ibu bilang, dia tahu dari perawat yang pernah mengasuh Eldy waktu bayi. Katanya mereka bertemu tanpa sengaja dan bercerita banyak. Tentang Shania, aku sendiri tidak tahu. Mungkin juga dari orang lain. Aku bahkan tidak tahu bagaimana nama itu bisa muncul lagi.”

Darren terdiam, menatap ke arah kosong.

Kalimat Miranda kembali terngiang di kepalanya—

Karma tidak pernah berpihak pada siapa pun.

Jika semua ini benar, maka ancaman dan paket teror yang ia terima beberapa waktu lalu … mungkin berasal dari seseorang yang dulu ia sakiti.

“Noah,” panggil Darren tiba-tiba, sedikit tersentak oleh pikirannya sendiri.

Noah menatapnya heran. “Kenapa? Apa yang kau pikirkan?”

“Tidak … bukan apa-apa.” Darren mencoba menenangkan nada suaranya. “Tapi aku setuju, Alex tidak boleh tahu. Kalau dia mendengar ini, semuanya akan lepas kendali. Ibumu hanya sedang … belum bisa menerima kepergian Eldy. Rasa kehilangan itu bisa membuat siapa pun kehilangan akal.”

Noah menunduk tanpa menjawab.

Darren berdiri, merapikan jasnya dengan cepat. “Aku harus pergi. Baru ingat kalau aku punya urusan.”

Noah menatapnya dengan dahi berkerut. “Sekarang? Padahal kau yang memintaku bicara. Apa sebenarnya yang ingin kau bahas?”

“Itu ….” Darren ragu sejenak, lalu menggeleng. “Tidak penting. Lupakan saja.”

Tanpa menunggu reaksi Noah, Darren berbalik dan berjalan cepat meninggalkan rumah. Tapi bukan ke arah apartemennya—langkahnya justru berbelok ke jalan lain.

Ke rumah sakit jiwa.

Shania ada di sana, bukan?

Entah kenapa, kali ini Darren merasa ia harus menemui wanita itu. Tapi tidak tahu seberapa parah kondisinya saat ini dan apakah dia bisa mendapatkan jawaban dari wanita itu atau tidak.

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!