Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dijodohkan dan dihantui
Kantin Restoran siang sedikit sepi. Biasanya ruangan ini dipenuhi suara riuh pegawai yang makan cepat sebelum balik kerja, tapi sekarang cuma ada suara sendok garpu beradu dari beberapa meja jauh. Gue duduk sendiri di dekat jendela besar, memandangi jalanan luar yang macet luar biasa.
Tangan menompang dagu. Pikiran Gue lagi-lagi balik ke hal yang buat perut Gue mual. Pernikahan yang dipaksa keluarga. Kata Mama ini jalan terbaik. Kata Papa, ini langkah strategis. Tapi buat Gue, rasanya kayak dipaksa main catur di papan yang bahkan bukan punya Gue.
Dan yang lebih nyebelin, entah kenapa bayangan wajah Adrian sempat nyelip lagi di otak.
Kenapa sih, harus dia? Bukannya Gue suka, bukan. Gue cuma... heran aja.
Iya, heran. Karena baru kali ini Gue nemui lelaki kayak dia. Bukan tampan ala majalah, bukan kaya raya dengan segudang properti. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang buat dia selalu muncul sekilas di kepala Gue.
Apalagi setelah kejadian malam itu, ngeliat dia seolah berdiri di lorong, rapi, jauh dari kesan sederhana yang biasa.
Halusinasi. Gara-gara kebayang dia, Gue sempet liat orang lain itu Adrian.
"Kalau termenung kayak gini, wajah lo bisa keriput loh."
Suara renyah itu buat Gue tersentak. Gue menoleh, dan mendapati dua orang yang berdiri sambil tersenyum lebar.
Mereka adalah Nadine dan Rafa. Gue kenal mereka sejak kuliah, dan sekarang kebetulan mereka juga kerja diperusahaan keluarga Gue. Ironisnya, entah gimana ceritanya, mereka berdua malah jatuh cinta dan nikah beberapa bulan lalu. Gue masih nggak percaya sampai sekarang.
"Kalian ini," Gue mendesah sambil nyodorin kursi kosong. "Baru datang udah ganggu ketenangan Gue."
"Ketenangan apaan," Rafa duduk duluan sambil ngakak. "Wajah lo lebih mirip orang lagi mikirin skripsi yang di tolak dosen."
"Parah!" Nadine langsung mendorong bahu suaminya. "Jangan gitui Alya dong. Dia lagi sensitif tau."
Mereka berdua ketawa cekikikan, sementara Gue cuma memutar bola mata. Kadang Gue nggak habis pikir, dulu mereka suka banget ribut di depan Gue, tapi sekarang malah pasangan manis yang nggak bisa dipisahkan.
"Jadi," Nadine mulai dengan nada kepo, "Bener nih gosipnya? Lo dijodohin sama pewaris nomor satu itu?"
Jantung Gue langsung jedug sekali. "Gosip dari siapa lagi?"
"Ya... gosip kantor kan cepet nyebarnya," Rafa nyengir. "Lo tau sendiri, satu orang bisik-bisik, besoknya udah jadi headline."
"Headline apaan, ini perusahaan apa portal berita sih?" Gue nyolot, tapi dalam hati nyesek juga. Berarti kabar itu udah bocor kemana-mana.
Nadine mencondongkan badannya kearah Gue, matanya berbinar. "Tapi serius, Ly. Gila sih! Lo dijodohkan sama dia. Semua orang tau keluarganya itu nggak pernah kalah bersaing. Kalau digabung sama perusahaan lo? Boom! Udah kayak kerjaan bisnis aja."
"Kaya Avenger bersatu lawan Thanos," sela Rafa, buat Nadine ketawa ngakak.
Gue cuma geleng-geleng kepala, males nanggepin.
"Gue tau sih," lanjut Nadine, "Lo pasti nggak nyaman dijodohin. Tapi coba liat dari sisi lain, lelaki itu sempurna, Ly. Pinter, ganteng, kaya, manner oke. Siapa juga yang nolak? Itu yang Gue dengar. Walaupun kita nggak tau bener apa nggaknya. Setiap ada acara apapun, dia selalu privasi."
"Gue," Gue menjawab cepat, tanpa mikir panjang.
Mereka berdua langsung terdiam beberapa detik, lalu ngakak bareng.
"Lo serius?" tanya Rafa, masih ketawa.
"Serius lah," Gue mendengus. "Kalian pikir gampang ya di suruh nikah sama orang yang bahkan Gue nggak cinta? Cuma demi kepentingan keluarga? Sorry, itu nggak Gue banget."
Nadine menatap Gue lebih lembut kali ini. "Tapi, Ly... mungkin cinta bisa datang nanti."
"Dan kalau nggak?" Gue balas cepat. "Kalau yang dateng malah kebencian? Gue yang hancur, bukan keluarga, bukan juga kalian."
Suasana sempat henning. Gue tarik napas panjang, berusaha nenangin hati yang tiba-tiba meledak. Dari luar, suara klakson kendaraan masuk lewat jendela, buat kepala Gue makin berisik.
"Ly..." Rafa akhirnya angkat suara. "Gue ngerti lo nggak suka dipaksa. Tapi coba jujur, ada alasan lain kan kenapa lo segini kerasnya nolak?"
Gue menatapnya tajam. "Maksud lo?"
"Entahlah," dia nyengir penuh arti. "Mungkin karena ada seseorang lain yang diam-diam buat lo mikir."
Gue langsung kaget. Jantung gue serasa berhenti sepersekian detik. "Nggak ada! Jangan sotoy lo, Ra."
Nadine mendelik ke arah suaminya. "Eh, jangan ngawur kamu, Mas. Jangan buat Alya tambah bingung."
Tapi Rafa malah santai. "Nggak ngawur kok. Gue perhatiin dia tadi termenung, senyumnya mirip orang keinget seseorang. Bukan mikirin merger perusahaan."
Pipi Gue memanas. Gue buru-buru menunduk, nyapuin sisa nasi di piring Gue padahal udah habis dari tadi. "Sok tau."
Nadine nyentuh tangan Gue lembut. "Ly, kita sahabat lo. Kalau lo lagi butuh cerita, kita ada."
Gue mengangkat kepala, menatap dua orang yang sering ribut kayak Tom and Jerry, tapi sekarang malah jadi pasangan solid. Gue sempat merasa iri, meski nggak Gue akui keras-keras.
"Gue cuma..." Gue menarik nafas dalam. "Gue cuma nggak suka hidup Gue diatur. Gue nggak mau nanti bangun tiap pagi, liat orang di samping Gue, terus sadar Gue nikah bukan karena cinta. Itu aja."
Nadine Dan Rafa seling pandang, kali ini tanpa tawa.
"Ya udah," Rafa akhirnya berkata. "Kalau gitu, lo harus berani ngomong ke keluarga loh. Jangan cuma nurut."
"Lo kira gampang?" Gue balik menatapnya. "Keluarga Gue bukan tipe bisa ditolak begitu aja. Kalau Gue ngomong enggak, mereka pasti ngancam Gue dengan berbagai hal."
"Pilihan cuma dua, Ly," Nadine menatap Gue penuh arti. "Hidup demi mereka, atau hidup demi diri lo sendiri."
Kata-katanya menusuk dalam, buat Gue terdiam.
Dari luar jendela, Gue liat orang-orang berjalan cepat, sibuk dengan urusan masing-masing. Gua iri. Mereka bisa milih jalan sendiri, sementara Gue? Jalan Gue udah digariskan oleh orang lain.
Dan di sela-sela perasaan campur aduk ini, wajah Adrian sekali lagi muncul sekilas di pikiran Gue. Gue buru-buru menggeleng, mencoba menepis.
Bukan suka, bukan. Gue cuma... nggak pernah ketemu orang kayak dia sebelumnya. Wajar aja kepikiran. Wajar.
Tapi semakin Gue membantah, semakin bayangan itu terasa nyata.
Sementara Nadine Dan Rafa masih duduk di depan Gue, menatap Gue dengan cemas, seolah mereka tau ada badai yang siap pecah kapan aja.
Dan Gue? Gue cuma bisa menatap keluar jendela, sambil bertanya-tanya, sampai kapan Gue bisa bertahan pura-pura kuat.
Nadin tiba-tiba menepuk tangan, mencoba memecah keheningan. "Udahlah, kita jangan buat Aliya tambah stres. Mending bahas yang ringan-ringan aja."
Dengan cepat mereka membuat topik cerita yang membuat Gue lupa sesaat. Walaupun nggak sepenuhnya.