NovelToon NovelToon
Misteri 7 Sumur

Misteri 7 Sumur

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Mata Batin / Hantu
Popularitas:411
Nilai: 5
Nama Author: Artisapic

Setelah mendapatkan air sumur pertama, kedua, ketiga, keempat , kelima, dan keenam, tinggal ketujuh....konon di sumur inilah telah banyak yang hanya tinggal nama.....mengerikan !

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB VI JALAN BERDURI

      Sabdo selesai membuat sumur itu yang dibantu oleh seorang pemuda, dengan rela pemuda itu menemani dan membatu tanpa jasa, tidak mengharap apa-apa. Dalam benak Sabdo pasti pemuda ini adalah pengembara yang rela dan tulus dalam menjalani hidupnya. Tetapi Sabdo tidak berani untuk menanyakan nama pemuda itu, bahkan Sabdo tidak pernah menyuruh pemuda itu, tapi setiap hari ia datang, setiap hari ia membantu, membuat Sabdo penasaran. Akhirnya ia menanyakan soal pribadi pemuda itu.

     " Maaf ki sanak, kalau boleh saya kenal dan tahu namamu ?" tanya Sabdo.

    " Soal nama kayaknya tidak perlu ki sanak, tapi aku akan sebut saja julukanku ya, Kundil, aku berasal dari desa, aku dibesarkan di desa yang jarang sekali orang atau sosok sepertimu, maksudnya manusia," jelas pemuda itu.

    " Ooooh, jadi kamu Kundil anak desa, baiklah, ini ada sedikit uang buat kamu Kundil," kata Sabdo.

     Namun pemuda itu menolaknya bahkan uang dirinya jauh lebih banyak dari apa yang dikasih, tapi sebagai orang walau masih muda harus bisa memahami itu, maka dengan santun ia menjawab ;

    "Sebaiknya ki sanak berikan saja kepada mereka yang membutuhkan, terutama untuk keluarganya," kata Kundil.

    " Ya sudah, nanti kita sumbangkan untuk mereka di sana ," ujar Sabdo sambil menunjuk ke arah suatu daerah.

     Kala itu, Sabdo dan Kundil menyelusuri jalan setapak , dimana jalan itu merupakan jalan untuk menuju sumur yang dibuatnya. Setelah menemukan jalan yang lebih besar, di sana banyak lalu lalang orang dengan keperluan masing-masing, ada yang membawa kayu bakar, ada yang menggendong hasil sayuran, juga ubi-ubian, juga ada yang membawa dengan kendaraan kerbau ataupun sapi, sejenis pedati. Suasana mereka asri dan sangat nyaman.

     Kurang lebih menempuh perjalanan dengan jalan kaki, sampailah mereka di sebuah warung di sudut jalan kampung itu. Dalam suasana sepi dan masih banyak kegiatan orang di sawah, kebun dan ladang, warung itu masih lengang, lalu kedua orang itu mengambil tempat duduk dan memesan makanan. Sambil menikmati makanan yang disajikan, kedua orang itu melihat beberapa tamu di warung itu kebanyakan membeli lauk pauk yang sudah dimasak, dengan harga lumayan murah, dan setelah selesai makan, keduanya menikmati minuman hangat sambil duduk di emperan warung.

     Dari arah jalan yang mereka lalui tadi munculah beberapa penunggang kuda yang menuju ke warung tadi, salah satu penunggang kuda tersebut berpakaian lebih mentereng.

      " Silahkan mampir ke warung kami Den, menjadi suatu kehormatan Aden datang ke sini," kata pemilik warung itu sambil tergopoh-gopoh menghampiri penunggang kuda tadi.

      Orang yang disebut Aden tadi tersenyum ramah, lalu ia duduk setelah tali kekang kuda itu diikatkan di tiang kayu oleh salah satu penunggang kuda yang lain. Mereka berjumlah tiga orang, kemudian mereka mengambil tempat duduk di warung itu. Aden yang disebut pemilik warung tadi memesan minuman hangat, sementara yang lain memesan makanan nasi dengan lauk yang berbeda.

    Setelah selesai makan lalu membayar makanan itu, para penunggang kuda tadi melanjutkan perjalanan menuju kampung tersebut.

     " Maaf ki sanak, siapa mereka," tanya Sabdo kepada pemilik warung.

     " Ooooh, itu orang-orang dari kelurahan ki sanak, lagi berkunjung ke kampung kami, itu rutin ke sini untuk meninjau kampung kami, jangan sampai ada warga yang kelaparan," ujar pemilik warung.

    " Hmmmm...bagus juga pemerintahan di kampung sini, semoga kehidupan berjalan lancar dan damai ya ki sanak," kata Kundil.

    Akhirnya setelah membayar makanan, Sabdo dan Kundil masuk ke kampung itu, banyak warga yang sedang bekerja di rumah masing-masing, suasana begitu ramah dan penuh ketenangan. Sabdo dan Kundil terus berjalan, hingga menjumpai sebuah gubuk yang beasap di bagian dapur, terlihat seorang nenek sedang memasak, beliau duduk di sebilah kayu, sambil sesekali tangannya mendorong kayu supaya terbakar dan ikut menyala. Setelah beberapa saat, nenek itu menurunkan panci terbuat dari tanah, dari dalam panci itu, nenek tadi mengambil satu per satu barang yang dimasaknya, yaitu ubi singkong, setelah selesai, lalu diangkat dan ditaruh di sebuah meja kayu, dengan pelu dan keringat, nenek itu menyeka, lalu nenek itu membuat secangkir minuman.

    Tubuhnya renta dan tua, namun semangat kerja begitu mendalam, tidak bergantung orang lain. Nenek itu memandang Sabdo dan Kundil, lalu mempersilahkan mereka untuk menikmati semua hidangan di meja kecil dari bambu.

    " Saya rasa bukan orang sini ya ki sanak, apa tujuan kalian ke kampung ini," kata nenek itu.

    " Iya nek, kami pengembara, hanya untuk mampir mau ke kampung sebrang," jawab Sabdo.

    " Ooooh begitu, ya sudah nanti hati-hati di jalan itu, nikmati saja dulu ki sanak," kata nenek sambil menasehati keduanya.

     " Terima kasih nek, kalau kampung ini namanya apa nek," tanya Kundil.

    " Ini kampung Genta dan di sebrang sana ada kampung Boja, terus di sebelahnya itu kampung Malela, kalian ke mana tujuannya," kata nenek tadi sambil bertanya.

    " Ke kampung Malela nek," jawab Sabdo.

    " Berarti tiga hari perjalanan, hati-hati di sana Lurahnya kejam dan sadis," kata nenek.

     Akhirnya setelah mendapat penjelasan dari nenek itu, berangkatlah mereka ke kampung Malela, yang konon pemimpin kampung itu sangat kejam.

    Dalam menyelusuri jalan setapak menuju kampung Malela, di hadapan mereka terbentang sebuah sungai yang lebar, airnya keruh, warna nya kecoklatan, deras arusnya dan banyak sekali tumbuhan liar Mereka memandang ke area sungai, dan di depan sana tampak lubang besar di bataran sungai itu. Namun untuk menuju ke sana sangatlah sulit. Sehingga mereka membuat rakit dari bambu yang banyak tumbuh di bantaran itu.

    Setelah jadi sebuah rakit, keduanya segera menaiki rakit itu, tujuan mereka adalah lubang besar di sungai itu. Dengan melawan arus yang deras, laju rakitpun menjadi pelan, dan beberapa kali hampir terbawa. Kemudian mereka kembali mempercepat lajunya dengan gala dari bambu.

    Akhirnya sampai juga di lubang besar itu, mereka menaiki tangga bambu lalu menuju ke hamparan luas di depan mereka. Dari situ, kampung Malela begitu jelas terlihat. Dan, sejurus kemudian mereka menuju jalan setapak, di jalan itu penuh tumbuhan berduri yang apabila tertusuk maka sakitnya bukan kepalang.

Begitupun dengan Kundil, tatkala dirinya terkena duri benar-benar sakit bukan kepalang, dia menjerit, dirinya berhenti berjalan, Sabdo segera mencari dedaunan yang bisa untuk obat, kemudian setelah merasa sakitnya sedikit pulih, Kundil melanjutkan kembali.

Beberapa saat kemudian sampailah mereka di kampung Malela, dan tampak di depan sana , mereka melihat kekejaman di depan mata, tampak seorang laki-laki sedang dicambuk oleh beberapa orang dengan tubuh tegak dan gagah, laki-laki itu terhuyung-huyung lalu tumbang terkapar, namun orang-orang gagah itu memberi tendangan dengan kaki-kaki yang kekar.

" Apa yang terjadi di sini, siapa mereka," tanya Sabdo.

" Dia belum setor pajak ki sanak," jawab seorang kakek yang membawa sekandek rumput.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!