Misteri 7 Sumur

Misteri 7 Sumur

BAB I RUMAH BERSARANG

     Wilujeung teupang wilujeung kepanggih malih, sinareng carios ingkang dipun medalakeun ing wanci puniki.

     Puja lan puji ingkang dumadi ingkang sampun nyukani nikmat lan anugrah sepepada.

     Sholawat sinareng salam dipun anugerahakeun dumateung junjungan Nabi Muhammad SAW, sinareng keluarga ughi sahabat sedaya.

     Kabuka ing salebete zaman ingkang dipun pakem , tumindak ing leulampah nira, harja ingkang diareul sempurna ing jaya kamulyan, sapta naba ing daleum kanugrahan alam, ampa ingkang jembar, gegana ingkang mayungi zaman, sigra mangso..........macapat ingkang tliti.

     Dalam perjalanan menuju sebuah daerah yang akan ia telusuri untuk mewujudkan sebuah nama yang kelak akan dikenang sepanjang zaman, ia mengatasnamakan dirinya dengan sebutan Sabdo.

    Sosok lelaki dengan tubuh tambun namun penuh kharisma dan tampak wajah yang sumringah dihiasi dengan keramahan dari jiwa yang telah menyatu dengan batinnya, Sabdo menuju sebuah warung di tepi jalan setapak.

    " Maaf ki sanak, ada teh tubruk tidak ya ?" tanya Sabdo sambil mengambil tempat duduk di dekat jendela.

     " Ada," jawab si pedagang warung ternyata laki-laki tua memakai pakaian kampret berwarna putih.

      Kakek pedagang warung itu kemudian membuat apa yang dipesan Sabdo, kemudian menyuguhkannya.

    " Ini teh tubruk nya, silahkan dinikmati ," kata kakek pedagang warung yang ternyata bernama Palon.

    " Maaf Kek, boleh saya bertanya sesuatu ?" kata Sabdo.

    " Boleh ki sanak, silahkan, semoga saya bisa menjawabnya, asal jangan yang aneh-aneh," seloroh kakek.

     " Begini Kek, perkenalkan nama saya Sabdo, mendengar cerita orang-orang di jalan waktu saya ke sini, apa benar di sini sering terjadi hal-hal aneh dari rumah kosong itu ?" tanya Sabdo.

    " Oh itu, dibilang begitu ya wajar saja ki sanak, soalnya rumah itu sudah lama ditinggal oleh pemiliknya, sudah puluhan tahun, ahli warisnya juga entah kemana, lama itu ki sanak," tutur kakek itu.

" Hmmmm....tapi kakek tahu siapa pemiliknya ?" kata Sabdo.

" Kalau tahu langsung sih tidak ki sanak, hanya dengar dari mulut ke mulut dan cerita orang tua, bahwa dulunya itu punya Lurah Sura, hanya itu saja ," kata kakek itu.

" Oh begitu, jadi dulunya itu punya Lurah Sura," gumam Sabdo.

" Ki sanak ini siapa dan tujuannya menanyakan itu, jangan-jangan ada hubungannya dengan pemilik rumah itu," tanya kakek seolah-olah penasaran dengan Sabdo.

" Kalau ada hubungan sih tidak Kek, cuma dulu itu Lurah Sura pernah mengamuk di daerah orang tua saya, terus dengan segala usaha, akhirnya Lurah itu dapat dihalau ," tutur Sabdo menjelaskan.

" Dimana itu ki sanak," tanya kakek.

" Di Mayapadha," jawab Sabdo.

" Oh....jadi ki sanak ini orang Mayapadha, iya betul, ada cerita bahwa Lurah Sura ingin menguasai daerah Mayapadha, tapi gagal, malah rakyatnya banyak yang mati, padahal tubuhnya besar-besar," kata kakek.

" Betul, saat itu saya belum ada Kek", jelas Sabdo.

Kemudian kedua orang itu terus berbincang-bincang sampai terkuak tujuan dari seorang Sabdo.

" Kalau begitu hati-hati saja ki sanak, takutnya ada sesuatu yang akan menimpah ki sanak," pesan kakek tadi yang bernama Palon.

" Terima kasih atas nasihatnya Kek, saya nanti akan selalu ingat nasehat itu," kata Sabdo seraya menghitung apa-apa yang dimakannya lalu membayar.

Tak terasa saat itu hari sudah masuk senja dan sebentar lagi gelap, sehingga Sabdo mencari tempat penginapan, yang pada akhirnya dapat juga, yaitu di rumah Ibu Bidara. Di tempat penginapan itu, Sabdo membaringkan tubuhnya, sementara pikirannya menerawang kemana-mana. Dalam benak Sabdo, terdapat rasa penasaran yang begitu mendalam, karena tidak bisa bertemu langsung dengan orang yang pernah memporak-porandakan daerah asal usulnya. Lama kelamaan matanya terpejam dan lelap dalam tidurnya.

Pagi itu, suasana Desa yang harmonis dan sangat indah pemandangannya, terdapat mata air dengan saluran yang saling berjajar menuju arah jatuhnya air itu, membentuk lengkungan yang elok dipandang mata, juga tampak bukit-bukit hijau yang saling menjulang di antara dataran rata, juga awan yang membentuk sebuah gumpalan dengan bentuk beraneka wujud, serta desiran angin yang menambah suasana sunyi penuh makna.

Sabdo memandang ke setiap sudut Desa itu, tampak para warga beraktifitas membuat kedamaian dan penuh kerja sama dalam kehidupan, banyak anak-anak terdengar suaranya sambil bernyanyi sesuai contoh dari si pengajar.

" Sudah bangun ki sanak," tanya Ibu Bidara sambil menjemur pakaian di bambu tergantung.

" Sudah Bu, rupanya Ibu begitu rajin , sekarang sudah menjemur pakaian," jawab Sabdo sembari memuji Ibu itu.

" Kalau mau sarapan, di warung ki Palon saja ki sanak, biasanya sudah buka waktu seperti ini," kaya Ibu Bidara memberitahu.

' Oh, iya Bu, nanti saya kesana sekalian mau ngobrol, soalnya ada sesuatu yang perlu dibicarakan," jelas Sabdo.

Selesai mandi, Sabdo menuju warung ki Palon, kebetulan di situ sudah ada dua orang yang sedang minum dan sarapan. Setelah memesan makanan, Sabdo duduk di dekat jendela, seperti biasa, ia menikmati makanan yang dibuat ki Palon.

" Tidak bisa , Mayapadha harus kita rebut, gara-gara daerah itu, orang tuaku sakit kena senjata, dan meninggal, aku harus membalas semua itu," kata salah satu tamu yang sudah memesan makanan tadi. Orangnya besar, berewokan dan rupanya memiliki orang tua yang tubuhnya besar, sementara yang satunya, usia lebih tua , dan selalu berkata lembut.

"Sabar Nak, nanti juga balas dendammu itu terwujud, dan bisa jadi Mayapadha itu takluk Nak," jawab yang tua tadi.

" Iya, paman, aku ingin peninggalan orang tuaku itu akan berdiri lagi, aku ingin membangunnya kembali paman," kata orang muda itu.

Sabdo hanya diam dan seolah-olah tidak mendengar, pandangannya ke depan namun di dalam hatinya sudah ada bara yang menyala, ternyata.......

Dalam diam, Sabdo sesekali melirik kakek Palon yang dari tadi juga ikut mendengarkan, matanya sesekali menyipit seakan-akan ia mengingat sesuatu yang susah untuk dibuka. Kakek Palon memandang Sabdo dengan penuh waspada, seandainya Sabda berbuat yang tidak-tidak. Namun sepanjang pembicaraan, tampak Sabdo diam seolah tidak ada apa-apa.

Sementara kedua orang itu setelah membayar lalu pergi, kemudian menghilang di perempatan jalan.

" Siapa tadi Kek," tanya Sabdo.

" Itu anaknya pemilik rumah kosong itu ki sanak, namanya Birawa, dia itu kasar dan suka mengancam orang kalau lagi makan di sini," jelas kakek Palon.

" Kok kakek paham sama dia, apa dia ada dan menetap di desa ini," tanya Sabdo.

" Tidak ki sanak, dia sudah jadi salah seorang bawahan Lurah Desa tetangga, ya masih kerabat dia juga", jelas kakek Palon.

" Saya baru paham Kek, berarti dia itu keturunan orang menjadi musuh orangtuaku, tunggu saja tanggal mainnya, akan saya hancurkan sifat sombongnya," kata Sabdo.

Setelah membayar makanan di warung kakek Palon, lalu Sabdo melangkahkan kakinya menuju rumah besar itu dari belakang , dengan tujuan mencari penghuni rumah bersarang itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!