Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Angkasa Tidak Bisa menolak
Angkasa membanting pintu mobil sport-nya dengan keras. Suara dentuman logam bergema di halaman mansion, membuat dua orang satpam di depan gerbang menoleh cemas. Langkah kakinya berat, menghentak-hentak lantai paving yang basah sisa hujan siang tadi. Tatapan matanya dingin, menusuk ke arah Talita yang berdiri di samping Kamila.
“Kenapa dia ada di sini?” suara Angkasa serak namun penuh emosi. “Dia itu aneh! Di rumah sakit dia teriak-teriak, histeris seperti orang gila. Orang macam ini bisa bawa masalah!”
Talita sontak tertegun, kedua tangannya mengepal kuat di balik bajunya. Nafasnya tercekat. Belum sempat ia membela diri, Kamila mengangkat tangan, memberi tanda agar putranya diam.
“Angkasa, cukup.” Suara Kamila tegas namun tetap lembut, penuh wibawa seorang ibu. Ia lalu menoleh ke arah Talita dengan tatapan penuh iba.
“Benar, kemarin kamu berteriak-teriak di rumah sakit? Bisa kamu jelaskan, Talita?”
Talita menunduk, memainkan ujung jarinya, seolah menahan malu. “Saya kira… Tuan Langit akan dibawa pergi ke Singapura… untuk… untuk tidak kembali lagi.” Suaranya lirih, bergetar, penuh kepura-puraan yang meyakinkan.
Kamila mengangguk pelan, lalu menoleh pada Angkasa. “Kau salah sangka, Angkasa. Talita histeris karena ia mengira Langit akan dibuang ke luar negeri. Itu salah paham. Wajar.”
“Wajar?” Angkasa mendengus sinis, matanya tak lepas dari Talita, menelanjangi setiap gerak-geriknya dengan kecurigaan yang tajam.
Kamila menghela napas panjang. “Talita sudah kehilangan suami. Sekarang ia hidup bersama seorang anak kecil yang yatim. Apa kamu tidak punya hati, Angkasa?”
“Yatim?” Angkasa mengulang kata itu, alisnya mengernyit.
Kamila memberi kode, dan Talita dengan ragu mengeluarkan ponselnya. Kamila mengambil ponsel itu, lalu menunjukkan layar pada Angkasa. Di layar itu terpampang foto Bintang dengan senyum polosnya yang seperti cahaya kecil di kegelapan.
“Lihat ini. Namanya Bintang. Bukankah dia lucu sekali?” Kamila tersenyum samar. “Akan ada tawa anak kecil di rumah ini. Hidupmu tak akan terasa datar lagi.”
Angkasa diam. Matanya menatap layar ponsel itu lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu yang menohok di dadanya. Bayangan masa kecilnya tiba-tiba muncul, senyum polos, mata bening, bahkan bentuk wajah yang serupa.
Kamila memperhatikan ekspresinya, lalu bergumam pelan, “Lucu ya… wajah Bintang mirip sekali denganmu waktu kecil.”
Talita menahan napas, jantungnya berdegup keras.
“Tidak mungkin,” sahut Talita cepat, hampir terdengar seperti bantahan panik. “Anak kecil kan wajahnya mirip satu sama lain, Nyonya. Nanti juga berubah.”
Kamila mengangguk pelan, meski matanya masih menyimpan rasa heran. Angkasa justru menyipitkan mata, tatapannya makin tajam. Namun ia memilih diam, menyimpan tanda tanya itu dalam benaknya.
“Apa pun alasannya, Mama, aku tidak setuju,” Angkasa akhirnya bersuara dingin. “Dia bukan perawat. Tidak berpengalaman. Tidak cakap. Kalau salah sedikit, nyawa Langit yang jadi taruhannya.”
“Angkasa…” Kamila menahan nada suaranya agar tetap tenang, meski hatinya jengkel.
Ia melirik perawat pribadi yang berdiri tak jauh dari mereka. “Kalau begitu, tolong jelaskan apa saja yang harus Talita lakukan.”
Perawat itu mulai berbicara, menerangkan detail teknis: cara mengecek infus, mengatur posisi tidur pasien koma, memperhatikan pola detak jantung, hingga bagaimana mengganti oksigen.
Talita mendengarkan dengan saksama, matanya fokus, sesekali mengangguk. Dalam waktu singkat, ia bisa mengulang kembali instruksi itu dengan lancar, bahkan menambahkan poin yang belum sempat dijelaskan perawat.
Kamila terperangah. “Kamu cepat sekali menangkapnya,” ucapnya kagum.
Perawat itu sendiri mengangguk. “Benar, Bu. Jarang ada orang awam bisa paham secepat ini. Dia punya potensi.”
Wajah Angkasa menegang. Untuk pertama kalinya ia kehilangan pijakan, kehabisan alasan untuk menolak. Ia merasa seolah kalah di hadapan perempuan yang baru saja ia tuduh gila.
“Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya berat penuh enggan. “Kalau Mama memang sudah memutuskan, aku tidak akan menghalangi. Silakan masuk.”
Tatapan Talita membeku sejenak, lalu bibirnya melengkung tipis. Senyum dingin itu nyaris tak terlihat, hanya sekelebat saja.
Di balik wajah yang tampak pasrah, Talita menyimpan satu kesadaran besar
Angkasa sama sekali tidak mengenalnya.
Dan itu artinya, medan balas dendam kini terbuka lebar.
^^^^
Sore itu, Talita bersama Bintang akhirnya menjejakkan kaki di mansion mewah keluarga itu. Aroma wangi bunga segar dari taman bercampur dengan kilau lampu kristal yang baru saja dinyalakan. Rumah itu luas, tapi dingin. Dinding marmer putihnya seperti menyimpan rahasia.
Kamila tampak bahagia. Ia menggendong Bintang, tertawa kecil setiap kali bocah itu menepuk-nepuk kalung mutiara di lehernya. “Lucunya kamu,… seperti cucu sendiri.” Ia lalu mengajaknya berkeliling, memperlihatkan lukisan-lukisan tua, piano antik, dan ruang keluarga besar.
Sementara itu, Talita dibawa ke kamar Langit. Di sana, Langit terbaring lemah dengan selang oksigen menutupi mulutnya. Suara mesin monitor detak jantung terdengar teratur, menjadi latar yang menyeramkan sekaligus menenangkan.
Perawat memberikan instruksi tata cara merawat Langit. Talita mengangguk, lalu perlahan mengusap dahi Langit dengan kain lembut, seperti sudah terbiasa. Gerakannya hati-hati, sabar, telaten.
Dari ambang pintu, Kamila memperhatikan diam-diam. Ada perasaan aneh menyelusup dalam hatinya. Talita tampak begitu cocok berada di sisi Langit, lembut, perhatian, dan sangat cantik. Seperti takdir yang dipertemukan lewat tragedi.
Kamila tersenyum kecil, dalam hatinya berbisik “Mungkin, inilah calon istri Langit. Dan Bintang… ya, aku sudah jatuh sayang pada bocah itu.”
makasih sudah mampir