Simpul Yang Terurai
"Betapa kecilnya aku."
Angin berbisik di samping telinga ku, seolah mengingatkanku. Ia membelai jilbabku dengan kelembutan yang tak terduga di ketinggian ini, di sebuah titik yang terasa begitu terasing dari hiruk pikuk dunia di bawah. Udara dingin pegunungan menyapu wajah, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan yang baru terguyur embun. Kutinggikan pandangan, menyapu hamparan luas yang membentang di bawah sana, memanjakan mata sekaligus menelanjangi kalbu.
Di sini, setiap detik terasa begitu rapuh, begitu tak pasti, seolah takkan pernah kudapatkan lagi dalam bentuk yang sama. Matahari bersinar cerah di atas sana, namun biasnya di antara awan tipis terasa mengandung rahasia. Bukan sekadar cahaya biasa; ada semacam pantulan yang menyiratkan beban, kegelisahan, atau mungkin sebuah isyarat tersembunyi yang hanya bisa kurasakan.
Pemandangan yang terhampar di hadapanku adalah pengingat abadi betapa kecilnya aku di hadapan ciptaan-Nya yang maha dahsyat, betapa seringnya aku lupa bersyukur atas karunia-Mu, Ya Allah. Manusia kadang terlalu sombong dalam batas pengetahuannya, lupa bahwa setiap helaan napas adalah anugerah. Di satu sisi, hijau membentang luas tanpa akhir: petak-petak sawah yang tertata rapi seperti permadani zamrud, disusul kebun-kebun yang rimbun dengan buah-buahan dan sayuran, dan di kejauhan sana, pegunungan yang menjulang angkuh, puncaknya diselimuti kabut tipis seolah sedang berbisik pada langit. Di sisi lain, biru tak bertepi: lautan lepas yang memantulkan cahaya mentari, ombaknya saling berkejaran dengan irama abadi, tak pernah lelah memukul bibir pantai, seolah melantunkan lagu purba tentang kekekalan.
Kontras yang sempurna, keindahan yang tak terbantahkan. Namun, di tengah harmoni itu, mataku tertuju pada sebuah anomali. Sebuah bangunan kokoh yang mencakar langit di tepi pantai. Mega, raksasa, dengan dinding-dinding beton abu-abu yang menjulang angkuh, memancarkan aura dominasi. Ratusan pekerja tampak sibuk seperti semut, mondar-mandir membawa material, mengoperasikan mesin-mesin berat yang menderu memekakkan telinga. Menara-menara baja yang tak terhitung jumlahnya menusuk cakrawala, dihiasi lampu-lampu merah yang berkedip ritmis setiap dua detik—sebuah detak jantung buatan yang terasa asing di tengah keheningan alam.
"Pusat Listrik Tenaga Uap," bisikku pada diri sendiri, nama yang kudengar sering disebut oleh banyak orang, seolah itu adalah pencapaian terbesar peradaban. Cerobongnya, yang menyerupai menara kue astor raksasa yang tak proporsional, tak henti mengepulkan asap kelabu, atau mungkin uap sisa pembakaran batu bara. Asap itu pasti merobek lapisan ozon, mencemari udara, merusak paru-paru bumi. Tapi apa daya? Para penguasa berjas, dengan dasi ketat dan senyum formalitas, telah menguasai perusahaan ini. Mereka adalah dalang di balik semua ini, demi menghasilkan listrik yang akan menerangi setiap sudut kehidupan, setiap rumah, setiap gedung. Sebuah harga yang harus dibayar, pikirku getir, demi sebuah kenyamanan semu. Sebuah keseimbangan yang goyah.
Namun, di tengah kemegahan dan polusi itu, sebuah pemandangan kontras yang begitu sederhana justru menarik perhatianku. Sebuah layang-layang merah jambu yang mungil, namun begitu mencolok di kanvas biru langit. Ia menari, meliuk bebas mengikuti arah angin, seolah tanpa beban. Gerakannya begitu luwes, anggun, dan tak terbebani oleh gravitasi. Betapa damainya hidupnya, pikirku. Sebuah hasrat tiba-tiba melintas di benakku, begitu kuat hingga menyesakkan dada: Andaikan aku bisa seperti layang-layang itu. Terbang bebas, tak terbebani oleh pikiran dan ekspektasi, dengan seseorang yang setia mengawasi dan menjaga erat taliku dari bawah sana. Seseorang yang akan memastikan aku tidak tersesat, tidak jatuh.
Ilusi kebebasan itu begitu memikat, begitu indah. Namun, seakan alam ingin mengajariku sebuah pelajaran pahit, ilusi itu tiba-tiba tersentak. Sebuah sentakan tajam merobek harmoni di langit. Secepat kilat, seperti sebuah tangan tak terlihat yang memutus, tali layang-layang yang begitu dijaga kuat oleh pemiliknya itu, putus.
Seketika, ia kehilangan arah. Gerakannya berubah menjadi putaran liar, limbung tak berdaya, seperti jiwa yang kehilangan pegangan. Ia melayang jauh, entah kemana, terbawa arus angin yang tak peduli. Angin yang tadi membawanya menari, kini menjadi pengantar kejatuhannya.
"Sial," gumamku pelan, sebuah desahan getir yang tak disengaja. Bahkan hal yang paling dijaga pun, yang paling dicintai, bisa lepas begitu saja. Tidak ada jaminan. Tidak ada kepastian. Ini mengajarkanku: apa pun yang kita kira menyenangkan, apa pun yang kita anggap aman, pada akhirnya akan ada saatnya berubah menjadi tidak menyenangkan. Hidup ini adalah serangkaian kejutan, baik atau buruk, dan kita hanya bisa pasrah.
Manusia memang tak pernah puas. Kita selalu merasa kurang, terus menginginkan lebih, mengejar fatamorgana kebahagiaan yang selalu tampak di kejauhan, hingga terlena bahwa sejatinya kebahagiaan itu bukanlah tentang apa yang akan kita dapatkan, melainkan dari apa yang sudah kita miliki, dari setiap nafas yang masih bisa kita syukuri. Kesederhanaan adalah kunci.
Pikiranku melayang, jauh mengikuti jejak layang-layang yang kini terjatuh tak berdaya di tengah hamparan sawah. Ia hanya sehelai kertas dan bambu, namun entah mengapa nasibnya terasa begitu mirip dengan apa yang kurasakan. Sebuah pertanyaan yang selalu menghantui kembali menyeruak. "Di mana kalian sekarang, Ibu, Bapak? Sedang apakah mereka?" Bisikan khawatir itu meluncur begitu saja, tanpa sadar menjadi suara yang menggetarkan. Perasaan cemas yang selalu kurasakan setiap kali memikirkan mereka, kembali menusuk ke dalam hati, menciptakan lubang kosong yang tak bisa terisi.
Tepat saat matahari kini berada di puncak kepala, menghujamkan sinarnya tanpa ampun, suara panggilan suci mulai terdengar. Lantunan adzan yang merdu, penuh kedamaian, mengalun dari corong-corong masjid dan mushola di sekitar, memecah kesunyian siang yang tadi diisi oleh gejolak batinku. "Allahu Akbar… Allahu Akbar… Asyhadu alla ilaha illallah… Asyhadu anna Muhammadarrasulullah… Hayya 'alash shalah… Hayya 'alal falah… Allahu Akbar… Allahu Akbar… La ilaha illallah."
"Kriiinggg…!" Bel instruksi persiapan shalat berbunyi, mendesak, seolah ikut memanggilku untuk kembali ke fitrah. Aku beranjak, langkahku menuruni anak tangga satu per satu, perlahan namun pasti, menuju qo’ah—ruangan salat, sebuah tempat di mana aku bisa menumpahkan segala bebanku kepada Sang Khalik.
Setelah mengambil air wudhu, membasuh diri dari debu dunia dan kegelisahan batin, aku masuk ke qo’ah. Ruangan itu sudah ramai dengan para santriwati yang tenggelam dalam shalat sunnah qabliyah. Aku mengikuti mereka, mencoba menenangkan diri dalam setiap gerakan shalat. Usai menunaikan salat Zuhur, aku menumpahkan seluruh isi hatiku kepada Sang Khalik. Segala angan-angan yang dulu kurajut, kecemasan yang tak terucap, dan perasaan yang menyesakkan, semua ku kabarkan pada-Nya. Hanya kepada-Nya aku bisa berkeluh kesah tanpa batas.
Teringat segala dosa yang telah kulakukan, kelalaianku kepada Sang Khalik, tentang segala kewajiban yang belum tertuntaskan. Sebuah rasa bersalah menggerogoti. Perlahan, cairan bening mengalir di pipiku, bukan hanya air mata penyesalan, tapi juga kelegaan karena bisa menumpahkan segalanya. Aku bersujud, menangis sejadi-jadinya, memohon ampunan-Nya. Begitu dalam, hingga rasanya tak ada lagi beban yang tersisa.
"Ukhti, limadza?" Suara lembut seorang teman menyentuh bahuku, memecah kesendirian dalam sujudku. "Hal ukhti tabki?" (Ukhti, kenapa? Apakah ukhti menangis?)
Aku mendongak, berusaha menyembunyikan jejak air mata di wajahku yang basah. "Eh, laa ba’sa, ana laa abki." (Tidak apa-apa, aku tidak menangis.) Aku mencoba tersenyum, meski rasanya perih.
"Shahihan? Ukhti kadzibah." (Sungguh? Ukhti bohong.) Matanya menyelidik, tahu persis kebohonganku, karena ia pasti melihat bahuku yang bergetar.
"Shahih laa akdzib." (Sungguh aku tidak bohong.) Aku memaksakan senyum yang lebih lebar, berharap dia percaya.
"Tayyib, hayya na’kul!" (Baiklah, ayo makan!) Ia menarik tanganku lembut, mengajakku bangkit.
"Hayya." (Ayo.)
Aku beranjak dari tempat sujudku, langkah terasa berat, namun ada sedikit kelegaan. Kami berjalan menuju aula makan. Lauk kali ini mungkin sederhana, hanya tumis kangkung dan tempe goreng, tapi hatiku dipenuhi syukur yang tulus. Allah SWT telah memberikan makanan yang halal dan thayyib ini, untuk dapat disantap bersama semua santri. Alhamdulillah, lidahku masih normal, sehingga masih bisa kurasakan nikmatnya masakan ini. Nikmat yang sering dilupakan banyak orang.
Namun, di balik rasa syukur dan kenikmatan sederhana itu, sebuah pertanyaan terus menggantung. Jauh di lubuk hati, aku tahu. Seperti layang-layang yang talinya putus dan jatuh tak tentu arah, hidupku akan segera menghadapi perubahan besar yang tak bisa diperkirakan. Sebuah takdir baru menanti, dan aku tidak tahu, apakah aku akan terbang bebas menuju kebahagiaan atau justru jatuh hancur dalam kehampaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments