NovelToon NovelToon
Gara-gara Buket Bunga

Gara-gara Buket Bunga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: hermawati

Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.


Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Debaran

Sandi tidak pernah berani bermimpi untuk bisa duduk sejajar dengan lelaki yang membuatnya jatuh hati, tiga tahun lalu. Dia bukan orang yang percaya diri mengungkap atau mencari tau lebih tentang lawan jenis.

Terlalu fokus belajar dan bekerja selama masa sekolah hingga kuliah, membuat Sandi abai soal hubungan asmara.

Setahun lalu, Sandi sempat dekat dengan seseorang. Sialnya dia harus menelan pil pahit dua Minggu lalu, saat mendapati lelaki itu justru menjadikannya sebagai alat untuk mendekati saudara perempuannya yang lebih cantik dan seksi.

Meski tak benar-benar cinta, tetap saja Sandi sakit hati. Dia pernah menangisi lelaki kurang ajar itu selama sehari penuh dan penyesalan datang di akhir. Sayang sekali air matanya luruh demi hal tak penting.

"Saya nggak nyangka kalau kamu bisa di sini, bukannya kamu bekerja pada divisi yang sama dengan Mia. Ketika di pabrik."

Sandi tersenyum kecut, "saya mengajukan diri untuk pindah ke sini."

"Ohhh ... Gitu?"

"Saya gantiin posisi Mbak Mia di kantor, yang melahirkan mendadak Jumat pekan lalu." Sandi menjelaskan.

"Apa kamu sudah menjenguk Mia?" Tanya Ari.

Wangi parfum menyeruak pada indera penciuman Sandi. Mungkin lain kali dia akan tanya merek minyak wangi yang digunakan oleh lelaki di sebelahnya.

"Sandi ..." Lengan Ari menyenggol lengannya.

Seketika, Sandi berjengit kaget. Mendadak ada sensasi tersetrum pada lengannya. Karena itu pula, ritme jantungnya berdetak semakin cepat. Semoga saja Ari tidak mendengar suara detakan itu. "Belum Mas! Belum sempat, saya bekerja lembur setiap hari." Ujarnya. Sandi mati-matian tak menunjukkan rasa gugupnya.

Ari manggut-manggut, "apa kamu ada niatan menjenguk Mia?" Tanyanya.

"Mau sih mas, tapi masalahnya aku nggak ada temannya dan saya agak sungkan dengan Pak Jaka."

Teman satu divisi dan divisi lainnya sudah terlebih dahulu menjenguk Mia. Ketika Mia masih berada di rumah sakit.

"Apa besok kamu ada acara?"

Entah sudah berapa kali, Sandi melebarkan matanya sedari Maghrib tadi. Dia dibuat terkejut oleh orang yang sama. "Nggak ada Mas!"

"Ke tempat Mia yuk!"

Sandi menoleh cepat, mendapati Ari tengah menatap ke arahnya sambil tersenyum. Mata Sandi tertuju pada lesung pipi yang menghiasi pipi kiri lelaki itu. Belum lagi hidung mancung dan bibir merah muda. Debaran di dadanya semakin menjadi, dan membuatnya sesak.

"San, kamu mimisan." Seketika Ari panik, mendapati darah mengalir dari lubang hidung perempuan di depannya. "Bentar aku ambil tisu dulu." Ari bangkit dan melangkah ke arah kabinet tak jauh dari pintu keluar. Dia mengambil tisu, lalu membawanya ke tempat di mana salah satu penghuni kos.

Ini pertama kalinya Sandi mimisan tanpa ada gejala demam atau nyeri. Dia sendiri heran mengapa bisa terjadi. Apa mungkin ini seperti pada adegan manhwa atau drama yang pernah dia lihat? Seseorang bisa mimisan, jika sedang dekat dengan orang yang disukainya.

"Aku bantu hentikan pendarahan kamu," Ari menggulung tisu. "Maaf, aku sentuh wajah kamu." Dia memasukan gulungan tisu itu ke dalam lubang hidung Sandi.

Lalu apa yang terjadi pada perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu?

Wajah Sandi memerah. Rasanya kali ini, jantungnya akan benar-benar meledak. Astaga ... Bolehkah dirinya berteriak?

"Apa kamu demam? Wajah kamu merah banget." Kini tangan dingin Ari menyasar pada dahinya. "Agak anget sih!" gumamnya, "apa mau aku antar ke klinik? Apa jangan-jangan gara-gara kamu hujan-hujanan? Apa karena ini pula kamu nangis?" Tanyanya khawatir. "Aku ambil mobil dulu." Ari hendak bangkit.

Sandi menahan tangan itu. "Nggak usah mas! Saya baik-baik saja." Dia bangkit dari duduknya. Satu tangannya memegang lengan Ari dan satu tangannya lagi memegang tisu, guna menghentikan mimisan. "Saya naik dulu, terima kasih untuk kembalian dan tisunya." Lebih baik segera enyah, dari pada jantungnya benar-benar meledak saat ini.

Tanpa peduli panggilan dari lelaki itu, Sandi menaiki tangga dengan cepat. Berdekatan dengan Ari, benar-benar tak baik untuk kesehatan jantungnya. Lebih baik menghindar saja, jangan sampai tiba-tiba dirinya pingsan. Akan sungguh memalukan untuknya.

***

Sandi menguap lebar begitu keluar dari gedung tiga lantai yang sudah tujuh hari dia tinggali. Semalam nyaris tak bisa tidur karena kejadian kemarin.

Langit masih gelap, sang mentari belum menunjukkan dirinya. Mengingat waktu masih pukul lima lebih lima pagi.

Pun masih terdengar sayup-sayup suara orang mengaji dari toa masjid yang letaknya tak jauh dari tempatnya berdiri.

Sandi terpaksa keluar kamar kos di pagi yang dingin ini, untuk mencari sarapan. Semalam dia hanya memakan Mi rebus plus nasi setengah dan dua gorengan. Alhasil tadi saat bangun tidur, perutnya perih minta diisi.

Mak Jum pernah memberitahunya, di gang rumahnya terdapat penjual sarapan yang buka pada pagi-pagi buta. Selain harga relatif murah juga porsinya lumayan banyak.

Bergegas, Sandi membuka pagar kosan. Dia berbelok ke arah sebelah kiri. Lima puluh meter dari kosannya ada gang kecil menuju rumah Mak Jum.

Sandi melangkah sambil merapatkan cardigan yang melindungi tubuhnya dari dingin pagi ini.

Sekitar sepuluh meter dia melangkah, indera pendengarannya menangkap suara yang memanggilnya. Walau tau, Sandi tetap melangkah. Dia berpura-pura tidak mendengar, lebih tepatnya sengaja menghindar.

Sandi tak ingin kejadian memalukan semalam, terjadi lagi pada pagi hari yang sejuk ini. Sungguh lawak, andai hidungnya kembali mimisan dalam kurun waktu kurang dari dua belas jam.

Atau lebih parahnya, dia sampai pingsan karena saking kencangnya jantung berdetak. Siapa yang tau bukan reaksi tubuhnya nanti, andai berdekatan lagi dengan lelaki yang disukainya?

Lalu ... Lengannya ditahan, dan Sandi hanya bisa memejamkan mata serta menggigit bibir bawahnya. Dia berusaha mati-matian untuk mengontrol ekspresinya. Jangan sampai dia mimisan lagi.

"Perasaan lagi nggak pakai air bud, tapi kenapa aku panggil-panggil nggak dengar?"

Sandi membuka matanya sedikit, namun detik selanjutnya dia membuka netranya lebar-lebar. Apalagi kalau bukan penampilan laki-laki berbaju Koko berwarna putih dan kain sarung berwarna hitam, tak ketinggalan kopiah yang menambah kadar ketampanan sosok itu. Tengah berdiri tepat di hadapannya, jarak mereka mungkin tak sampai satu meter.

"Kamu mau kemana?" Tanya Ari.

Sandi masih bungkam, dia masih terpesona dengan aura lelaki Soleh. Wajah bersinar cerah, terkena basuhan air suci.

Ari sedikit membungkuk guna mensejajarkan wajahnya dengan salah satu gadis penghuni kos. "Pagi-pagi udah bengong! Apa kamu demam?" Dia meletakan tangan di dahi. "Tapi nggak anget kok!" Ari menarik tangannya, namun posisinya masih membungkuk.

Sandi melebarkan matanya lagi, sudah dua kali dia seperti ini. Jarak wajah mereka mungkin hanya dua puluh Senti. Dia memilih mengalihkan tatapnya pada jalan aspal di sebelah kanannya. "Saya sehat, mas! saya cuma mau cari sarapan."

Ari menegakkan punggungnya. "Ya udah, bareng yuk! Aku juga lapar." Dia berdiri sejajar dengan gadis yang mengenakan daster batik dan dilapisi cardigan merah. "Kamu mau sarapan apa?" Tanyanya.

"Pengen ke gang situ mas! Saya dengar ada jual sarapan murah dan porsi lumayan banyak." Sandi menunjuk ke arah gang menuju rumah Mak Jum.

"Oh ... Warung Mpok Rini, ya udah yuk bareng!!" Ari melangkah terlebih dahulu, memasuki gang yang hanya bisa dilalui satu motor.

Sementara Sandi, hanya diam menatap punggung lebar itu. Astaga, melihat punggungnya saja jantungnya kembali bermasalah. Tak ingin kejadian kemarin terulang lagi, Sandi memilih berbalik. Namun baru dua langkah, namanya kembali dipanggil. Kali ini dia menoleh.

"Kok malah balik? Kamu nggak jadi sarapan?" Ari berbalik menghampiri.

Sandi nyengir memperlihatkan giginya. "Ini mas, aku lupa nggak bawa dompet." Dalihnya, padahal tangannya yang berada di saku cardigan sedang meremas uang kertas. Dia tidak bohong, karena memang tidak membawa dompet.

Ari tersenyum, lalu menarik lengannya pelan agar mengikuti lelaki itu. "Aku traktir." Katanya.

Mimpi apa semalam? Kini mereka berjalan bersisian di gang sempit itu. Jangan tanyakan keadaan jantung Sandi saat ini, yang jelas dia berharap Ari tak sampai mendengar debarannya.

1
bunny kookie
top deh pokoknya 👍🏻💜💜
bunny kookie: bagus banget loh padahal kak,sat set loh cerita nya gk menye2 ,,
😭😭 apa yg sempat baca di paijo gk ikut kemari ya,ikut syedihh aku 😭😭😭
nabila anjani: Ka up lagi dong
total 3 replies
nabila anjani
Kak up lagi dong
Mareeta: udah aku up lagi ya
total 1 replies
bunny kookie
up lagi gak kak 😂
Mareeta: aku usahakan pagi ya kak
total 1 replies
bunny kookie
lanjut kak ☺
bunny kookie
nyampek sini aku kak thor ☺
Mareeta: terima kasih 😍 aku ingat dirimu pembaca setia karyaku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!