NovelToon NovelToon
Bunga Kering Vs. Narsistik Gila

Bunga Kering Vs. Narsistik Gila

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pembaca Pikiran / Pelakor jahat
Popularitas:741
Nilai: 5
Nama Author: Tri Harjanti

Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Trauma Masa Lalu

Melahirkan anak pertama pada usia 23 tahun. Seharusnya bukan masalah besar. Mala seratus persen siap untuk merawat bayi kecil yang ia beri nama Maya.

Masalah pertama muncul justru dari mertua perempuannya―ibu Bram. Jahitan pasca melahirkan saja belum kering, tetapi sang mertua sudah cerewet menasihati perihal pekerjaan Bram. Membujuk Mala supaya mau mengizinkan Bram bekerja di sebuah Bank bersama mantan pacar Bram saat remaja. Mala tahu mereka bertetangga dan ibu mertuanya itu menginginkan Bram menikahi Dewi―nama gadis itu. Sayangnya, saat kuliah di Jogja Bram justru bertemu Mala dan ingin menjadikan Mala ibu dari anaknya.

“Kamu jangan cemburu, Mala! Jangan larang-larang suamimu bergaul, biar dapat pekerjaan yang mapan!” cetus si ibu mertua.

Bibirnya terus memonyong ke kanan dan ke kiri.

Tentu saja, Mala tak tahu mau menjawab apa … ia masih tergeletak pasrah di kasur rumah sakit, luka sayatan saja masih perih terasa … dengan kondisi tubuh lelah luar biasa setelah operasi caesar, bibir kering kerontang dan kelu sekali hanya untuk sekadar menjawab, iya.

Ketika itu Bram masih kerja serabutan, rumah tangga mereka masih berumur setahun. Pembayaran rumah sakit ditanggung kedua orang tua. Untuk itulah, ibu mertua terlihat kesal. Seharusnya Mala tidak hamil dulu, pernah ia melarang Mala mengandung.

Ibu mertua pernah bilang, “Aku sudah sekolahin Bram, keluar banyak biaya, harusnya sekarang gantian dia beri aku penghasilannya … eh, malah beristri cepat. Enakkan kamu dong Mala, yang nerima duitnya.”

Mengucap istighfar, Mala hanya bisa mengelus dada. Dan kini ketika cucu pertamanya yang cantik baru saja menghirup udara dunia, sang nenek justru menghujami dengan kata-kata membandingkan, antara Mala dengan pacar adik Bram, atau mantan pacar Bram lainnya.

“Memang kamu mau kerja apa habis ini, Mala?”

Pertanyaan yang menusuk. Terlalu lelah untuk memikirkan sekarang. Ibu mertua terus nyerocos … sekali lagi memerintahkan Bram untuk pergi ke Semarang menemui Dewi.

“Katanya sedang ada lowongan Bram!” seru si ibu memerintah anaknya.

“Nggeh, Buk!”

Rasa dingin dan tegang menjalar di dada Mala. Bagaimanapun … ini bukan saat yang tepat. Mengapa tidak ada satu pun yang memikirkannya, apa dia letih, apa Mala baik-baik saja.

Tak ada yang menanyakan kondisi kesehatan Mala. Bahkan orang tua Mala sendiri yang juga menyalahkan persiapan Bram yang kurang matang sehingga mereka harus turun tangan membayar tagihan. Mala meminta maaf untuk itu. Berjanji kelak saat semua telah kondusif akan mengganti semua biaya.

Dan benar saja, belum juga Mala pulang dari rumah sakit. Bram mematuhi ibunya untuk pulang kembali ke Semarang. Selain mengantar kepulangan sang ibu juga bermaksud melamar pekerjaan di kantor Dewi.

Sementara itu Mala tengah bergelut dengan mengasihi sebagai pengalaman baru seorang ibu muda … tubuh Mala sampai demam karenanya. Adaptasi tubuhnya sebagai tubuh seorang ibu, membuat Mala kebingungan … ditambah tak sepeser pun ia memegang uang. Semua di bawah kendali ibu Mala. Begitu pun uang pemberian keluarga yang menjenguk.

***

“Kamu tahu kebutuhan bayi itu banyak, Mala!”

Omelan ibu Mala terus berdengung di telinga. Siang hari yang seharusnya bisa Mala gunakan untuk tertidur karena bayinya sedang tidur … ternyata harus Mala gunakan untuk mendengarkan sekali lagi keluhan nenek sang bayi tentang keuangan.

“Iya, Ma … Mala mengerti, setelah Mala kuat, nanti Mala akan dagang kue untuk menambah penghasilan.”

“Apa?? Dagang kue?? Untuk apa ijazah sarjanamu Mala?? Makanya belum lulus jangan kebelet nikah, sudah lulus malah punya anak ‘kan?!”

Mala memejamkan mata, kalimat ibunya begitu menusuk … walau kadang ada benarnya juga.

“Sudah telanjur, Ma ….” Mata Mala menerawang.

“Setelah anakmu empat puluh hari, segera lamar kerja. Dulu kamu dan Bram izin nikah biar bisa tinggal serumah bareng dan nggak pacaran terus, 'kan? Katanya mau bisnis bareng, mau gencar cari uang dulu, eh kenapa cepat hamil sih Mala?”

keluh ibu Mala sama persis dengan ibu Bram.

“Tidak ada yang tahu rencana Tuhan, Ma … Mala dan Bram sudah KB, tapi ternyata kebobolan juga,” jawab Mala lirih.

Eaak … eaaak … bayi kecil menangis … seolah tahu keberadaanya sedang dipermasalahkan.

Sstt … sssttt …. Mala coba menenangkan. Seakan mengerti bayinya dapat terluka mendengar pembicaraan ini. Mala memohon pada sang ibu untuk berhenti menyesali yang telah terjadi.

“Sudah, Ma … kasihan Maya, dia hadir di dunia ini begitu cepat pasti ada alasannya. Mungkin bukan sekarang, tapi di tahun-tahun yang akan datang kita baru mengerti kenapa,” ucapa Mala lirih.

“Ya, ya, ya … !” sungut ibu Mala melempar popok.

Mala giat berlatih mengurus bayi. Membersihkan tali pusar bayi baru lahir, mengganti popok. Mala mengagumi wajah bayinya, perpaduan dirinya dan Bram terlukis begitu cantik.

“Dia pasti akan tumbuh dengan sangat cantik,” gumam Mala. Tiba-tiba bulu kuduknya merinding. Teringat sesuatu yang membuat Mala bergidik. Mengenai sebuah trauma masa lalu.

***

Satu, dua bulan berlalu … Mala tidak menepati janjinya. Belum melamar pekerjaan. Bram telah mendapatkan pekerjaan tetap, meski bukan yang diinginkan oleh sang ibu. Tidak di Semarang, tetapi tetap di Jogja bersama Mala.

“Kerja di mana sih, Mas?” tanya ibu Bram melalui panggilan telepon.

“Sebuah provider telekomunikasi, Buk!”

“Ya, sudahlah. Bilangin istrimu cepat cari kerja!”

“Nggeh, Buk!”

Kleek …. suara panggilan terputus.

Mala menimang bayinya was-was. Benar saja, setelah suara loud speaker itu berhenti … Bram mendatanginya.

“Kamu dengarkan? Ada banyak orang mendesakmu bekerja, baik ibuku atau ibumu … !”

“A-apa kamu mampu membayar pengasuh untuk saat ini?” tanya Mala dengan tatapan tajam menusuk, membuat Bram jengah. Dan Bram menggeleng lemah.

“Jadi kalau aku kerja, siapa maksudmu yang akan mengurus Maya?”

“Kan masih bayi, bisa kita titip-titipkan …”

“Apa?? Justru masih bayi jangan menitipkan ke sembarangan orang, anak kita perempuan Pah!”

“Memangnya kenapa?”

“Aku punya pengalaman buruk akibat dititip-titipkan begitu!” tangis Mala meledak.

Bram kebingungan, Mala sampai sesenggukan.

“Aku janji akan menuruti semua maumu, menambah penghasilan dari rumah, asal kamu tidak memaksaku bekerja ke luar rumah, Pah. Biarkan akau merawat anakku sendiri!” isak Mala meluap. Ibu Mala yang mengira mereka bertengkar sampai tergopoh-gopoh mendatangi kamar Mala, kendati akhirnya hanya menguping di balik pintu.

“Pah, ada yang kamu belum tahu. Sebuah trauma masa lalu yang belum aku ceritakan.”

“A-apa?” Bahu Bram menegang waspada.

“Dulu saat aku kelas tiga SD, a-aku pernah mengalami pelecehan seksual …!”

Bram bagai disambar petir. Selama empat tahun berpacaran, Mala sama sekali tak pernah menyinggung hal ini.

“Pelecehan itu tidak merusak bagian tubuhku, tapi meninggalkan trauma batin yang amat dalam. Aku tak percaya menitipkan anak kita pada siapa pun juga, apalagi anak kita perempuan. Sungguh trauma itu membekas, dan banyak mengubah masa depanku.”

“Cukup, jangan diingat lagi kalau itu menyakitkan!” Bram menarik napas dalam, “Biar aku bicara dengan orang tua kita untuk tidak mendesakmu dalam soal pekerjaan, agar kamu bisa sepenuhnya di rumah merawat Maya.”

“Sungguh, Pah? Kamu nggak keberatan kalau aku jadi ibu rumah tangga aja?”

Bram mengangguk. Dia ingin memeluk Mala … tapi ada yang mengganjal … dia tak bisa.

“Apa kamu ingin tahu siapa,-” Belum tuntas Mala bicara, Bram menyetop dan mengalihkan pembicaraan. Seolah Bram enggan peduli, itu tidak penting, tak mau dengar lagi.

Mala mengurungkan niat untuk menuntaskan pembicaraan. Terdiam dan memperhatikan Bram yang menyibukkan diri berbicara dengan bayinya.

Tanpa Mala sadari, Bram tak lagi fokus menatap bayinya. Pikirannya melayang. Ada yang terenggut di dalam dirinya, tapi entah apa.

***

Trauma masa lalu memang mengubah kehidupan Mala. Dalam menentukan keputusan penting untuk masa depannya. Sejak dulu ingin segera melarikan diri dari orang tua dan keluarganya, karena orang jahat yang menorehkan trauma itu ada di dalam keluarga.

Mala lega setelah menceritakan trauma masa lalu yang sengaja ia sembunyikan dari Bram, tapi di sisi lain. Mala bagai tersandera … rasa-rasanya Bram semakin menonjolkan patriarki dalam rumah tangga. Mala telah berjanji untuk mematuhi Bram asalkan bisa menjadi ibu rumah tangga saja. Kendati begitu, kok rasanya sesak, ya?

Pada awal rumah tangga setelah menjadi orang tua, Bram mengizinkannya di rumah … merawat anak sepenuhnya … begitu pun setelah kelahiran anak-anak mereka berikutnya. Bram memang jarang berada di rumah, tugasnya di area Jawa Tengah membuatnya jarang berada di Jogja.

Bram dan Mala menjalankan tugas masing-masing dengan amat baik. Urusan rumah dan anak-anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Mala, Mala tidak keberatan karena Bram berjanji untuk bertanggung jawab pada nafkah keluarga. Memutuskan mengontrak rumah salah satu keputusan besar yang diambil, supaya terlepas dari campur tangan orang tua Mala yang mulai banyak tertimpa masalah utang piutang. Justru Mala yang bersikeras mengontrak rumah. Meninggalkan rumah besarnya yang sedang dalam sengketa. Kendati orang tua Mala menyumpahinya dan memaki sebagai anak yang tak tahu balas budi.

Mala sedikit bernapas lega, meski sederhana dan bukan dikatakan sukses, Mala dan Bram melalui fase terberat masalah ekonomi dengan kerja sama yang bagus.

Hal yang tidak relatable jika dikaitkan dengan masa sekarang. Di mana Bram justru lebih bersifat kekanakan serta jarang berdiskusi apa pun dengan Mala.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Nurika Hikmawati
Semangat terus ya Mala... kamu pasti biaa bngkit
Nurika Hikmawati
gantian coba kamu yg di rumah Bram!
Nurika Hikmawati
ceritanya bagus, penulisannya enak dibaca.
Nurika Hikmawati
kasihan sekali mala... sabar ya mala
Nurhikma Arzam
agak seram ya boo
Nurhikma Arzam
curiga sama bram asem
Janti: emang asem sie dia
total 1 replies
Nurhikma Arzam
kereen nih semangat thor
Janti: makasih yaa
total 1 replies
Meliora
🥺 Drama ini sukses membuat saya terharu.
Janti: Makasih yaa👍
total 1 replies
Dulcie
Kisahnya bikin meleleh hati, dari awal sampai akhir.
Janti: makasih kk udah mampir👍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!