NovelToon NovelToon
Red Thread

Red Thread

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Trauma masa lalu / Office Romance / Ibu susu
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: About Gemini Story

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.

Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menelusuri Jalan

Udara pagi Zermatt menyelinap pelan melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma khas salju dan pinus. Cahaya matahari musim dingin yang lembut menyusup perlahan ke dalam kamar, menyentuh wajah Althea yang masih terlelap di sisi kanan tempat tidur.

Perlahan, matanya terbuka. Sekilas, ia merasa tubuhnya sedikit hangat, nyaman, tenang. Namun detik berikutnya, pandangannya menangkap dua sosok di sampingnya. Di sisi tengah, seorang bayi mungil dalam balutan selimut biru muda tampak tertidur dengan damai. Dan di sisi seberangnya—Al.

Althea menahan napas.

Di hadapannya kini ada dua sosok laki-laki—berbeda generasi, namun dengan satu kesamaan: membuat hatinya berdetak sedikit lebih cepat.

Matanya menatap keduanya lekat-lekat. Kilasan masa lalu melintas dalam benaknya—dulu, ketika ia berusia 20-an awal, ia pernah bermimpi akan ada pagi seperti ini. Pagi yang damai, penuh kehangatan, dengan seseorang yang dicintainya dan bayi mungil mereka di antara keduanya. Ia bahkan pernah membayangkan seseorang itu... adalah Al.

Mimpi itu terlalu lama ia kubur. Seketika Althea mengerjap cepat, memotong lamunannya sebelum tenggelam terlalu dalam. Ia perlahan bangkit, menyibak selimut dan berjalan pelan menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Setelah bersiap—dengan kemeja turtle neck putih dan coat abu lembut yang senada dengan udara pagi Zermatt—ia melangkah kembali ke kamar Al.

"Bayinya..." pikirnya. Bayi? Sejak kapan aku menyebutnya ‘bayiku’?

Ia mengetuk pelan pintu. Dari dalam terdengar suara berat, sedikit parau khas pagi hari.

"Masuk saja."

Dengan sedikit ragu, ia membuka pintu dan nyaris kehilangan kata.

Di hadapannya, berdiri Al dengan piyama abu lembut yang sedikit kusut, rambutnya berantakan namun justru memberi kesan maskulin. Wajahnya belum sepenuhnya terjaga, tapi ada kehangatan tenang yang membuat jantung Thea terlonjak.

Yang paling menggetarkan, bayi itu kini berada dalam gendongan Al. Dengan satu tangan mendukung punggung sang bayi, dan satu lagi mengusap pelan punggung mungil itu, Al terlihat... seperti seorang ayah muda. Seorang daddy yang terbangun karena tangisan anaknya dan menenangkan si kecil dengan kasih yang tenang.

Thea terpaku. Matanya tak lepas dari pemandangan itu hingga Al menyadarinya.

“Lo liat gue kayak gue habis turun dari lukisan Renaissance,” kata Al, nada suaranya santai tapi penuh sindiran halus.

“Boleh gue tahu, bagian mana yang paling memukau?”

Thea tersentak, matanya membelalak dan cepat-cepat memalingkan wajah sambil mengerucutkan bibir. “Siapa juga yang liat? Gue cuma... memeriksa apakah si bayi masih hidup,” jawabnya cepat, tangan reflek meraih bayi itu dari pelukan Al.

“Sekarang lo bersihkan diri, kita harus lapor soal ini segera.”

Al tersenyum kecil melihat rona merah yang menyebar di pipi Thea. Ia tahu Thea sedang salting. Masih seperti dulu. Dan entah kenapa, itu masih jadi hal favoritnya.

“Baik, Mommy,” godanya sambil berjalan ke kamar mandi.

Thea mendelik, namun tak berkata apa-apa. Ia menunduk, menatap bayi laki-laki yang kini berada dalam pelukannya. Bayi itu menatapnya balik dengan mata bulat jernih, seolah mengerti bahwa pagi ini—ia telah mengacaukan dinamika dua orang dewasa, namun juga mungkin... menyatukan sepotong takdir yang sempat tercerai.

Hari ini, mereka akan melaporkan penemuan bayi ini ke otoritas lokal, namun sebelum itu—mereka harus menyusuri kisah cinta pasangan Legard. Cinta sejati yang akan menjadi sumber inspirasi terbesar bagi Phoenix. Dan siapa sangka... mungkin, cinta itu juga sedang perlahan terlahir kembali.

♾️

Langit pagi Zermatt masih diselimuti awan putih lembut saat Althea dan Aleron tiba di kantor otoritas lokal. Salju yang turun semalam masih menggumpal di sisi-sisi trotoar, dan dinginnya menusuk meski jaket tebal melindungi tubuh mereka. Thea mengeratkan pelukannya pada bayi mungil yang terbungkus hangat dalam selimut abu kebiruan, sementara Al membawa keranjang berisi perlengkapan bayi seadanya yang mereka temukan malam itu.

Keduanya melangkah masuk ke dalam kantor beraroma kayu tua dan kopi panas. Seorang petugas perempuan menyambut mereka dengan tatapan ramah.

"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" tanya sang petugas.

Al mencondongkan tubuh, suaranya tenang namun terdengar jelas.

"Kami menemukan bayi ini tadi malam, terlantar di dekat sebuah bangunan tua di ujung jalan Wiesenweg. Kami pikir sebaiknya kami segera melapor."

"Baiklah. Silahkan menuju ruangan tersebut disana ada petugas kami" ucap petugas itu ramah sambil mengarahkan mereka kesana. Sang petugas langsung menatap bayi itu dengan alis terangkat. Ia berdiri, memanggil dua petugas lain dan mempersilakan Al dan Thea duduk di salah satu ruang kecil yang diperuntukkan untuk penyelidikan ringan.

Suasana ruang interogasi kecil terasa tegang. Dindingnya berwarna putih bersih, namun hawa dingin yang menyusup dari sela-sela kaca membuat suasana semakin tidak nyaman. Althea duduk tegak, mencoba terlihat tenang, sementara Al di sebelahnya menatap lurus ke depan dengan ekspresi datar namun penuh kewaspadaan.

Seorang petugas perempuan menatap mereka berdua dengan serius, diapit oleh dua rekannya yang sesekali mencatat sesuatu di buku catatan.

“Jadi,” ucap petugas perempuan itu dalam bahasa Inggris berlogat Swiss Jerman.

“Kalian berdua mengatakan menemukan bayi ini di keranjang di depan bangunan kosong?”

Al mengangguk. "Ya. Sekitar pukul delapan malam. Kami sedang berjalan melintasi jalan kecil itu dan mendengar tangisan."

“Dan tidak ada Saksi?” tanya petugas lainnya dengan nada curiga.

“Tidak,” jawab Thea cepat.

“Jalanan itu cukup sepi dan gelap.”

Petugas perempuan membuka layar monitor di hadapannya, menampilkan foto close-up bayi laki-laki yang semalam mereka temukan. Ia memandang layar, lalu bergantian memandang Al dan Thea. Namun ekspresi petugas yang mereka temui justru menunjukkan kecurigaan.

“Maaf, ini terlalu kebetulan. Kalian berdua warga asing, tidak ada saksi, dan bayi ini… terlalu mirip dengan kalian.”

Thea melongo. “Apa maksud Anda mirip?”

“Apakah kalian berdua mencoba berpura-pura 'menemukan' bayi ini?” tanya seorang petugas pria berambut kelabu yang mengenalkan dirinya sebagai Petugas Meier. Ia menatap tajam ke arah mereka.

"Anak ini jelas telah dirawat. Hangat, berpakaian bagus, bersih. Dan yang lebih penting... dia sangat mirip denganmu ."

Al dan Thea berpaling satu sama lain. Thea mengerutkan dahi.

“Maaf?” ujar Thea pelan namun tegas.

“Maksudmu bayi ini… milik kami? Dan untuk alasan kenapa bayi ini terawat tentu saja ketika kami menemukannya kemarin kami langsung membersihkannya dan mengganti pakaiannya dengan pakaian cadangannya di keranjang." Jawab Althea karena mendapat tuduhan dari petugas. Hei apakah mukanya seperti kriminal atau seorang ibu jahat yang tega membuang bayinya sendiri.

“Koreksi saya jika saya salah,” lanjut Petugas Meier, sambil menunjuk bayi itu,

“Tapi lihatlah dia. Matanya? Tajam dan cekung seperti matanya ”—ia menunjuk Al.

“Dan bibirnya, kecil dan sedikit melengkung ke bawah di sudut-sudutnya, persis seperti anda, nona .”

Petugas perempuan di sebelahnya mengangguk pelan, "Kadang-kadang kami melihat hal ini. Pasangan meninggalkan bayi karena alasan yang rumit, lalu kembali lagi dengan berpura-pura menjadi Orang yang Baik. Anda harus memahami skeptisisme kami." Al terdiam.

“Bisa saja itu alasan untuk menyembunyikan kehamilan di luar nikah,” gumam petugas lain sambil mencatat.

Suasana tegang. Thea sudah berdiri hendak membantah keras ketika Al memegang pergelangan tangannya dengan tenang.

Wajah Thea memucat.

Al membuka suara, tenang tapi penuh tekanan, "Ini tidak masuk akal. Kami menemukan bayinya tadi malam— "

“Kalau begitu Anda tidak keberatan melakukan tes DNA,” kata Petugas itu cepat.

Thea bersandar ke kursinya, bingung. "Baik. Lakukan apa pun yang kamu butuhkan. Tapi kamu tidak bisa berasumsi begitu saja—"

“Kami tidak menuduh,” jawab petugas wanita sambil menatap tajam.

"Kami hanya ingin memastikan. Dan sambil menunggu hasil DNA, bayi ini harus tetap berada dalam pengawasan dan dilarang meninggalkan negara ini."

“Tunggu, maksud Anda… kami yang harus menjaganya?” Al bersuara, matanya membulat.

Petugas mengangguk mantap. "Ya. Karena kalian membawa, kalian juga yang tahu kondisi terakhirnya. Dan karena tak ada tanda kekerasan atau penelantaran, kami tidak bisa langsung menempatkan bayi ini ke lembaga. Itu prosedur. Sampai hasil DNA keluar, bayi ini tetap di bawah pengawasan kalian. Kami akan menugaskan petugas untuk pemantauan berkala." Thea menggeleng tak percaya. Ia melirik Al yang masih diam.

“Lo lihat apa yang terjadi?” bisiknya pada Al dalam bahasa Indonesia.

“Ini makin kacau. Kita bisa... kita bisa dituduh jadi orang tua palsu.”

Al malah terkekeh pendek.

“Yah, setidaknya lo sekarang resmi jadi ‘Mommy-nya’ sementara waktu,” ucapnya ringan, walau jelas ia sedang menahan tekanan yang sama.

Thea memelototinya. “Jangan becanda. Ini serius!”

Al menoleh ke arahnya dan mengangkat alis. “Lo keberatan, Mommy?”

“Gue serius. Mungkin ini cara semesta buat mainkan kita,” balas Al santai.

Thea melotot ke arahnya, namun tidak membalas. Di sisi lain, bayi itu mulai menggeliat dalam pelukannya dan mengeluarkan suara rengekan.

Sontak ia panik menenangkan si kecil, dan Al menyembunyikan senyum geli melihat ekspresi Thea yang panik.

“Selamat menjadi orang tua,” ucap petugas sambil menyerahkan dokumen dan beberapa informasi tambahan.

“Kami akan menghubungi kalian secepatnya setelah hasil keluar.”

Dan begitu saja… perjalanan Phoenix berubah menjadi babak yang sama sekali baru.

Dan begitu saja, tanpa ada waktu untuk benar-benar memahami situasinya—mereka berjalan keluar dari kantor kepolisian dengan satu bayi mungil dalam pelukan, sebuah keranjang perlengkapan seadanya, dan beban besar: misteri siapa sebenarnya bayi ini... dan mengapa semesta membuat mereka seperti keluarga dalam semalam.

♾️

Bel berbunyi lembut saat pintu kaca terbuka, menandakan kedatangan dua orang dewasa yang tampak sedikit canggung—Althea dan Aleron. Di tengah ruangan yang hangat dan penuh warna pastel itu, aroma bedak bayi dan kain bersih langsung menyambut mereka.

Suasana toko perlengkapan bayi itu hangat dan penuh warna. Rak-rak kayu berjajar rapi, memajang aneka pakaian mungil, botol susu, popok, mainan, hingga stroller dengan berbagai model yang menggoda mata. Aroma sabun bayi yang lembut menguar samar di udara, memberikan nuansa tenang yang kontras dengan kegugupan dua orang dewasa yang berdiri kikuk di tengah lorong utama.

“Ya Tuhan... ini lebih banyak dari yang gue pikir,” gumam Althea sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut toko.

Al berdiri di sampingnya dengan wajah nyaris tak kalah bingung. “Gue bahkan gak tahu apa perbedaan antara ‘newborn’ dan ‘0-3 months’,” katanya sambil menunjuk label di sebuah baju bayi berwarna krem.

Mereka berdua tertawa kecil, seolah sama-sama menyadari betapa lucunya keadaan mereka sekarang—dua orang dewasa yang tak pernah menyentuh dunia pengasuhan bayi, kini harus bertindak seperti orang tua.

Seorang wanita paruh baya, staf toko yang mengenakan celemek merah muda dan name tag bertuliskan "Martha", menghampiri mereka dengan senyum hangat.

“Butuh bantuan?” tanyanya dalam bahasa Inggris dengan aksen Swiss yang kental.

“Sepertinya kami butuh semua bantuan yang bisa kami dapat,” jawab Al sambil tertawa lepas.

Martha memandang mereka, lalu matanya berpindah ke arah bayi mungil mereka tengah terlelap dengan damai, dibalut jaket tebal dan selimut hangat di dalam pelukan Al.

“Anak kalian sangat tampan,” komentar Martha sambil tersenyum.

"Dan kalian berdua terlihat... sangat serasi. Bahkan pakaian kalian pun senada.”

Al dan Thea saling melirik. Baru sadar, mereka mengenakan warna yang hampir sama: Thea dengan sweater lembut berwarna beige dan mantel krem susu, sementara Al memakai turtleneck abu muda dan coat cokelat muda yang senada. Keduanya terdiam sesaat, lalu menunduk hampir bersamaan. Althea cepat-cepat berpura-pura melihat ke rak baju, sedangkan Al menghela napas sambil mengusap tengkuknya pelan.

“Ehm... kami,” bisik Al setengah gugup, tapi Martha hanya terkekeh lembut.

“Tak perlu dijelaskan. Sudah menjadi hal wajar bagi orang tua baru seperti kalian. Pasti kalian bingung kebutuhan apa saja untuk si kecil.”

Althea nyaris tersedak oleh komentar itu, buru-buru melangkah ke bagian perlengkapan mandi sambil memanggil Martha untuk menunjukkan peralatan yang diperlukan.

Dalam waktu hampir satu jam, mereka berhasil memilih satu set perlengkapan lengkap, baju ganti, popok, minyak telon versi lokal, kain bedong, botol susu cadangan, dan bahkan mainan bayi yang tergantung untuk dipasang di atas stroller. Tak lupa, mereka juga membeli stroller baru—model hitam dengan desain elegan dan cocok digunakan saat berjalan-jalan di jalanan batu Zermatt.

Semua barang mereka kirimkan langsung ke penginapan melalui layanan toko. Sementara itu, mereka membawa bayi kecil mereka di stroller yang baru dibuka, berjalan menuju sebuah kafe kecil untuk makan siang.

♾️

Udara dingin menggigit lembut, namun sinar matahari membuat siang itu terasa lebih hangat. Mereka memilih tempat duduk di teras kafe, lengkap dengan selimut kecil di sandaran kursi. Baby boy tetap anteng di stroller, sesekali membuka matanya lalu menutupnya kembali seperti belum ingin benar-benar bangun.

“Gue masih gak percaya kita beneran belanja perlengkapan bayi,” gumam Thea sambil membuka menu makanan.

“Dan gue gak percaya kita beneran dibilang pasangan serasi,” timpal Al, memutar bola matanya dengan senyum kecil.

“Lo lihat ekspresi dia? Martha itu kayak yakin banget kita pasangan bahagia dengan bayi hasil genetika sempurna.”

Thea mendesah pelan, menahan senyum yang hampir muncul. “Dia salah satu dari banyak orang yang keliru.”

Pelayan datang membawakan pesanan mereka, semangkuk sup krim hangat dan rosti kentang yang harum. Thea menyuap pelan, sesekali menoleh ke arah bayi yang kini mulai menggerak-gerakkan tangannya di dalam stroller.

“Gak bisa bohong sih,” ujar Thea, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.

“Suasana kayak gini... sedikit nyaman. Aneh, ya?”

Al memandang Thea, lalu mengangguk. “Nggak aneh, Thea. Cuma... sesuatu yang gak pernah kita duga akan terjadi.”

Mereka makan dalam diam, tapi bukan keheningan yang canggung. Lebih kepada ketenangan. Seperti dua orang asing yang akhirnya saling mengenal kembali, tanpa tekanan, tanpa bayang-bayang masa lalu—hanya ada bayi kecil di antara mereka, dan perjalanan yang baru dimulai.

Setelah selesai makan dan membayar, mereka pun melanjutkan perjalanan untuk menyusuri jejak cinta Mr dan Mrs. Legard. Namun kini, perjalanan mereka ditemani oleh stroller beroda tiga dengan si kecil yang mulai bersin kecil dari balik selimutnya.

Petualangan Phoenix memang sedang berlangsung. Tapi tanpa mereka sadari, petualangan baru tentang keluarga... sedang pelan-pelan menulis dirinya sendiri.

♾️

Udara Zermatt siang itu tetap sejuk dengan hembusan angin ringan dari pegunungan sekitar. Salju yang semalam turun membuat pemandangan bersalju yang tampak dingin seperti udaranya di sepanjang jalanan berbatu kecil.

Althea dan Aleron berjalan beriringan menyusuri jalanan desa tua yang menjadi saksi bisu cinta Mr dan Mrs. Legard, di mana setiap sudutnya menyimpan kisah dan detail penuh makna yang menginspirasi proyek Phoenix.

Di antara mereka, stroller hitam elegan berjalan pelan, mengayun lembut, membawa bayi laki-laki yang tertidur pulas di dalamnya, dibalut selimut tebal biru muda. Wajah kecil itu tenang, sesekali bergumam pelan, membuat hati siapa pun yang melihatnya terasa hangat.

"Jalanan ini yang dulu sering dilalui Mr dan Mrs. Legard setiap pagi. Menurut arsip, mereka punya kebiasaan minum teh bersama di bangku taman dekat menara jam itu," ujar Al, menunjuk ke sebuah bangku tua di bawah pohon pinus yang daunnya bergoyang lembut.

Thea mengangguk pelan. "Romantis sekali. Bayangkan... berjalan bersama setiap hari selama lebih dari lima dekade, dan masih bisa saling menatap dengan cinta yang sama," ucapnya sambil menoleh pada Al.

Al tersenyum, “Makanya aku bilang proyek Phoenix ini bukan sekadar desain, tapi penghargaan untuk cinta yang langgeng.”

Mereka berjalan beberapa langkah lagi, hingga tiba di sebuah jembatan kayu kecil yang menghubungkan dua bagian desa. Di bawahnya mengalir sungai jernih dengan suara gemericik menenangkan. Mereka berhenti sejenak, menikmati suasana.

"Kalau lo disuruh buat desain cincin pernikahan untuk Mr dan Mrs. Legard, akan seperti apa?" tanya Al sambil melirik ke arah Thea.

“Hmm…” Thea merenung. “Gue akan buatkan cincin vintage bergaya art deco, dengan ukiran tangan yang menggambarkan dua hati yang tumbuh bersama dalam waktu. Di dalamnya akan terukir tanggal mereka pertama kali bertemu dan kutipan favorit mereka.”

“Detail sekali.” Al tertawa ringan. “Gue suka. Kita bisa pakai ide itu untuk koleksi inti Phoenix.”

Mereka saling bertukar pandang dan tertawa kecil. Suasana terasa ringan, seperti keluarga muda yang tengah menikmati liburan kecil di tengah kesibukan pekerjaan.

Tiba-tiba, dari arah berlawanan, sepasang lansia berjalan mendekat. Wanita itu mengenakan mantel rajut dan suaminya bertopi wol dengan tongkat kayu di tangan.

“Bonjour,” sapa sang wanita ramah.

“Bonjour,” jawab mereka bersamaan.

Pasangan lansia itu menatap Baby laki laki di stroller lalu bergantian menatap Al dan Thea. “Kalian keluarga yang indah,” ucap pria lansia itu dalam Bahasa Inggris yang kental aksen Prancis.

"Anak kalian tampan sekali. Semoga cinta kalian langgeng seperti kami.”

Thea tertegun. Al sempat terdiam sejenak. Mereka menoleh satu sama lain, lalu serempak tersenyum canggung.

“Terima kasih,” jawab Al pelan, sementara Thea tersenyum kikuk.

Pasangan lansia itu melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan Al dan Thea yang masih berdiri di tempat, menatap punggung keduanya hingga menghilang di tikungan.

“Gue belum terbiasa… mendengar seseorang menyebut kita sebagai keluarga,” gumam Thea akhirnya.

“Lucu ya, padahal kita bahkan belum tahu siapa ayah dan ibu kandung Baby yang sebenarnya,” balas Al sambil membenarkan selimut bayi itu dengan lembut.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan, berjalan pelan menyusuri jalur kenangan Mr dan Mrs. Legard. Sesekali Thea menunjuk bangunan tua yang bisa dijadikan inspirasi desain ukiran cincin, atau membicarakan warna batu permata yang cocok menggambarkan kisah cinta pasangan legendaris itu.

Hari itu, mereka bertiga bukan sekadar CEO dan desainer, bukan sekadar dua orang dewasa yang dulu saling menyakiti dan kini dipertemukan lagi. Hari itu, mereka seperti satu keluarga kecil yang tak sengaja terbentuk… namun perlahan mulai terasa utuh. Di antara langkah kaki dan tawa kecil mereka, mungkin—hanya mungkin—semesta sedang memberi mereka kesempatan kedua.

♾️

Matahari masih menggantung rendah di langit sore musim dingin. Mereka memilih duduk di sebuah bangku taman yang menghadap jalur pejalan kaki. Di hadapan mereka, stroller berwarna hitam elegan yang berisi si kecil yang tengah tertidur dengan tenang. Hidung mungil bayi itu tampak memerah oleh udara dingin, namun tetap tertutup selimut lembut berwarna biru. Al bersandar ke sandaran bangku, menoleh ke arah Thea yang masih menatap bayi itu penuh perhatian.

“Kita gak bisa terus-terusan manggil dia ‘baby boy’, kan?” ucap Al pelan, suaranya tenang namun jelas.

Thea menoleh, menatap Al dengan alis sedikit terangkat. “Maksud lo?”

“Kita harus memberinya nama sementara,” Al menoleh ke stroller.

“Biar lebih... manusiawi. Lebih dekat. Lagipula, kita gak tahu berapa lama dia harus tinggal sama kita.”

Thea berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. Tapi sebelum ia sempat berbicara, Al sudah lebih dulu membuka suara.

“Bagaimana kalau... Abercio?”

Thea membeku. Matanya membelalak, lalu menatap Al perlahan, seolah mencoba memastikan apakah ia tak salah dengar.

“A...Abercio?” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan.

Al hanya tersenyum tipis, matanya tidak lepas dari wajah bayi mungil itu.

Thea merasa seperti ditarik kembali ke masa lalu—ke sebuah sore berdebu enam tahun lalu, di mana ia dan Al tengah duduk di balkon villa milik Al di daerah puncak. Ia ingat betul, waktu itu mereka mendengarkan musik lama sambil membaca novel romantis.

“Gue pengen punya anak laki-laki namanya Abercio. Terdengar elegan, unik, dan kuat,” ucapnya saat itu.

"Hei apa lo tak kasihan ketika ujian jika nama depannya huruf pertama dan kedua?" Tanyan Al balik sambil terkekeh menggoda Thea.

"Gapapa lah biar nanti dia rajin. Nakal boleh bego jangan" Jawab Thea dengan bangganya membuat mereka berdua tertawa bersama.

Kini nama itu diucapkan lagi. Oleh orang yang sama. Dalam suasana yang tak pernah ia bayangkan. “Lo... masih ingat?” tanya Thea nyaris tak percaya.

Al menoleh padanya. Pandangannya tenang, namun menyiratkan kedalaman yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang benar-benar mengingat dengan hati.

“Gue ingat semua hal kecil tentang lo, Thea. Bahkan yang lo sendiri mungkin sudah lupa.”

Hening sejenak. Thea mengalihkan pandangannya. Ia tidak sanggup menatap mata itu terlalu lama. Terlalu dalam. Terlalu nyata. Dan terlalu menyakitkan jika terus menerka.

Lalu dengan cepat, ia mencoba meredakan suasana dengan menambahkan, “Kalau begitu... bagaimana kalau kita tambahkan Nathaniel di belakangnya? Artinya ‘berkah dari Tuhan’... karena gue yakin dia memang dikirimkan Tuhan untuk sesuatu.”

Al tersenyum. Sebuah senyum penuh makna yang begitu jarang terlihat akhir-akhir ini.

“Baiklah, boy... sekarang namamu Abercio Nathaniel Moonstone, yang berarti putra pertama yang diberkahi Tuhan dalam keluarga." ujarnya sambil mengangkat tangan bayi itu pelan seolah tengah mengumumkan ke dunia. “Dan panggilanmu adalah... Baby Cio.”

Seolah mengerti, Baby Cio membuka matanya perlahan dan... tersenyum.

Senyum yang begitu murni, polos, dan menggemaskan.

Thea dan Al sontak terkekeh kecil, saling memandang tanpa berkata apa-apa. Namun senyum mereka menjelaskan segalanya, keterikatan mulai terbentuk. Bukan karena mereka siap, tapi karena hati mereka mulai menerima.

Lalu, saat mereka kembali duduk dalam keheningan, Thea menyadari sesuatu. “Kenapa... Moonstone?” tanyanya sambil menatap lurus ke arah stroller. “Kenapa bukan... nama marga gue?”

Al tidak langsung menjawab. Ia menatap langit sebentar, lalu menoleh ke Thea dengan tatapan penuh keyakinan. “Karena untuk saat ini... Baby Cio adalah anak gue. Dimana-mana marga anak ikut marga dari ayahnya dan gue adalah Daddy nya jadi dia harus menyandang marga gue.”

Thea terdiam.

Entah kenapa, kata-kata itu terasa berat... tapi sekaligus menghangatkan. Seperti ada bagian dari hatinya yang retak, namun terisi kembali dengan sesuatu yang lebih nyata. Lebih tulus.

Mereka tak berbicara untuk beberapa menit berikutnya. Hanya duduk, memandangi Baby Cio yang kini tertidur kembali. Bayi itu baru bersama mereka kurang dari 24 jam. Tapi rasanya... seperti dunia mereka takkan sama lagi jika harus melepaskannya.

Namun mereka tahu, ini bukan soal keinginan.

Mereka tak boleh egois.

Mereka hanya harus percaya... pada rencana Tuhan.

1
Stella
Bagus banget, jadi mau baca ulang dari awal lagi🙂
About Gemini Story: wahhh terimakasih kak 🤗 sehat selalu ya kak🤗
total 1 replies
Jena
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
About Gemini Story: wahh terimakasih kak 🤗 aku seneng ada yang suka sama cerita aku hehe ☺️ sehat dan bahagia selalu ya kak 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!