Wallace Huang, dikenal sebagai Mafia Iblis yang tanpa memberi ampun kepada musuh atau orang yang telah menyinggungnya. Celine Lin, yang diam-diam telah mencintai Wallace selama beberapa tahun. Namun ia tidak pernah mengungkapnya.
Persahabatannya dengan Mark Huang, yang adalah keponakan Wallace, membuatnya bertemu kembali dengan pria yang dia cintai setelah lima tahun berlalu. Akan tetapi, Wallace tidak mengenal gadis itu sama sekali.
Wallace yang membenci Celina akibat kejadian yang menimpa Mark sehingga berniat membunuh gadis malang tersebut.
Namun, karena sebuah alasan Wallace menikahi Celine. pernikahan tersebut membuat Celine semakin menderita dan terjebak semakin dalam akibat ulah pihak keluarga suaminya.
Akankah Wallace mencintai Celine yang telah menyimpan perasaan selama lima tahun?
Berada di antara pihak keluarga besar dan istri, Siapa yang akan menjadi pilihan Wallace?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Wallace berdiri di ujung ranjang, menatap tubuh Celine yang terbaring lemah di sana. Tubuh gadis itu tampak pucat, dan matanya masih terpejam, seolah memilih untuk terus tertidur agar tidak perlu menghadapi dunia yang telah menghancurkannya.
Ingatan Wallace kembali pada hari kelam itu—hari ketika ia nyaris menghabisi gadis ini karena mengira ia penyebab penyerangan terhadap keponakannya. Saat itu, emosinya meluap, dan cengkeramannya nyaris merenggut nyawa Celine. Ia mengira keadilan berpihak padanya. Nyatanya, ia hampir menjadi monster lain dalam hidup gadis itu.
"Kenapa saat itu kau tidak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi... Ternyata hidupmu lebih keras dari siapa pun," gumam Wallace, suaranya nyaris tak terdengar, dengan wajah dingin namun sarat penyesalan.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka.
"Tuan!" seru Nico, salah satu anak buah kepercayaannya, sambil melangkah cepat ke dalam ruangan dengan ekspresi serius.
Wallace tak berpaling dari Celine. "Bicara di luar!" titahnya tegas.
Beberapa saat kemudian, di lorong rumah sakit yang sepi dan sunyi, Nico menyerahkan sebuah map berisi laporan medis kepada Wallace.
"Tuan, saya mendapatkan informasi. Rupanya Celine Lin pernah dilarikan ke rumah sakit ini sekitar dua bulan yang lalu," ucap Nico, nada suaranya perlahan, seolah menyesuaikan diri dengan beratnya informasi yang akan disampaikan.
Wallace mengernyit dan membuka map itu. Tangannya langsung mengepal saat membaca baris pertama.
"Ia mengalami pelecehan oleh dua orang pria. Yang membawanya ke rumah sakit adalah tetangganya sendiri. Saat tiba, kondisinya sangat parah—pendarahan hebat di bagian rahim. Ada robekan, dan harus segera dijahit. Selain itu tubuhnya juga banyak memar akibat tindakan kekerasan. Menurut catatan dokter, tak satu pun dari pihak keluarga yang datang mengurusnya."
Wajah Wallace semakin mengeras. Rahangnya mengencang.
"Setelah sadar, kondisi mental Celine sangat terpuruk dan trauma. Ia bahkan berusaha mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai atas rumah sakit, tapi berhasil dicegah oleh seorang suster. Selama berminggu-minggu setelahnya, dia menutup diri, tak mau bicara, bahkan tak mau melihat siapa pun."
Nico menundukkan kepala dalam-dalam, seolah turut merasakan beban dalam kisah itu. "Laporan ini disertai keterangan dari dokter dan catatan suster jaga."
Wallace mengatupkan rahangnya sambil menatap lembaran di tangannya, lalu meremas kertas itu kuat-kuat hingga terlipat dan kusut. Tangannya bergetar menahan emosi.
"Atas kejadian itu, Celine hampir kehilangan nyawanya. Menurut dokter, dia dilecehkan secara bergiliran selama lebih dari tiga jam. Tetangganya mendengar teriakan dari dalam rumah dan memaksa membawanya ke rumah sakit. Namun mereka tidak bisa melaporkan kejadian itu ke polisi karena diancam oleh Mike Lin."
Wallace menoleh cepat. Matanya menyala.
"Apakah kejadian itu... di rumahnya sendiri?" tanyanya, nadanya berat dan penuh amarah.
"Benar, Tuan. Yang memanggil dua pria itu justru ibunya dan Mike Lin sendiri. Dan mereka melakukannya di dalam rumah keluarga."
Wallace memejamkan mata sejenak. Napasnya terengah dalam diam. Lalu ia membuka mata, menatap lurus ke depan.
"Kita adalah mafia... Tapi satu hal yang selalu kita larang adalah melecehkan wanita. Tapi mereka malah melakukan itu terhadap seorang gadis yang bahkan tidak bisa melawan," ucap Wallace, suaranya dalam, nyaris seperti geraman.
Ia diam sejenak. Lalu, dengan dingin namun tegas, ia berkata, "Mike Lin... kita akan temukan dua pelaku itu lewat dia."
Nico memandang Wallace ragu-ragu. "Tuan, apakah... kita akan ikut campur dalam urusan ini?"
Wallace melirik Nico, pandangannya tajam, namun ada luka dalam sorot matanya.
"Anggap saja ini cara menebus kesalahanku. Aku telah salah menilai gadis itu. Menyangka dia dalang penyerangan Mark, hingga hampir membunuhnya. Aku tidak suka berhutang."
Ia melangkah, lalu berhenti sejenak. Dengan suara dingin dan tegas, ia berkata, "Bawa dua pelaku itu ke lokasi eksekusi!"
***
Pagi itu, langit tampak cerah. Sinar matahari menerobos masuk melalui celah jendela kamar rumah sakit, menyinari ruangan tempat Mark dirawat. Suasana terasa tenang, hanya terdengar suara mesin pemantau detak jantung dan napas pelan dari Mark yang baru saja siuman.
Matanya perlahan membuka, dan pandangannya langsung tertuju pada sosok yang berdiri di samping tempat tidurnya.
“Paman…” gumam Mark lirih, sebelum menghela napas berat. “Maaf karena membuatmu cemas.”
Wallace berdiri diam. Sorot matanya dingin seperti biasa, namun ada kilatan lega di sana. “Sebagai paman, aku yang gagal melindungimu. Setelah sembuh, kau harus pulang ke ibumu.”
Mark mengerjap. “Paman... apakah Mama tahu tentang kejadian ini?”
Wallace menggeleng ringan. “Kau adalah satu-satunya putranya. Kalau dia tahu, dia tidak akan tenang. Lagi pula, tujuanmu ke sini hanya untuk belajar. Kau juga sudah lama tamat. Tidak perlu tinggal terlalu lama.”
Mark berusaha duduk, tapi rasa sakit masih menjalari tubuhnya. Ia menatap pamannya dalam-dalam, penuh harap. “Paman… di mana Celine? Tolong jangan salahkan dia. Dia juga korban dari keluarganya sendiri. Bahkan... dia yang menyelamatkanku dari kepungan orang-orang Mike. Kakaknya itu yang selalu membuat masalah.”
Wallace menahan napas sejenak, lalu menjawab datar, “Aku sudah tahu. Kau tidak perlu menjelaskan lagi.”
Mark menatapnya penuh kekhawatiran. “Lalu, di mana dia sekarang?”
“Dia aman. Tidak perlu kau khawatirkan,” sahut Wallace. “Fokus saja pada pemulihanmu. Cepat sembuh dan segera pergi dari kota ini. Aku tidak ingin terjadi sesuatu lagi. Kalau sampai ada apa-apa, aku tidak tahu harus berkata apa pada ibumu.”
Mark menggigit bibirnya. Ia tampak gelisah, lalu berkata dengan suara pelan, “Paman, bolehkah aku meminta tolong satu hal saja?”
Wallace meliriknya, lalu mengangguk. “Katakan.”
“Tolong selamatkan Celine… Jauhkan dia dari ibunya dan Mike Lin. Mereka adalah racun dalam hidupnya. Dua bulan terakhir... dia berubah. Sangat banyak. Tapi dia tak pernah mau menceritakan apa pun padaku. Aku tahu dia memendam sesuatu yang sangat dalam.”
Wallace terdiam sesaat, menimbang permintaan itu.
“Menolong dia... bukannya tidak bisa,” ujarnya kemudian. “Tapi kau harus ikut perintahku. Tinggalkan Shanghai. Bekerja di perusahaan ayahmu. Jangan pernah campuri urusan dunia bawah tanah lagi.”
Mark menunduk pelan. “Baik, Paman. Asalkan Celine selamat, aku akan menuruti semua perintahmu.”
Wallace mengamati wajah keponakannya, lalu bertanya dengan nada serius, “Mark, beritahu aku. Apa hubunganmu sebenarnya dengan Celine Lin?”
Mark terdiam cukup lama. Lalu ia tersenyum pahit, menunduk menatap tangannya yang terkulai.
“Sebenarnya… aku menyukainya. Tapi dia menolakku. Kami akhirnya sepakat untuk menjadi sahabat dekat. Sahabat yang tak akan pernah berubah. Meski dia hanya menganggapku teman, tapi di hatiku... aku tetap merindukannya.”
Ia mengangkat kepalanya, menatap Wallace dengan mata yang tampak berkaca-kaca.
“Andai Paman bisa membantunya meninggalkan keluarganya... aku akan melakukan apa saja. Jadi tolong... jangan salahkan dia atas semua ini. Aku hanya bertepuk sebelah tangan selama ini.”
Lalu, dengan suara nyaris pecah, ia berkata pelan, “Dia... sudah mencintai seseorang sejak lama.”
"Dia sudah mencintai orang lain sejak lama, tapi kenapa kau masih mencintainya?" tanya Wallace pelan.
"Karena cinta tidak seharusnya selalu bersama," ujarnya lirih. "Bagiku, asalkan dia bahagia... itu sudah lebih dari cukup," jawab Mark.
Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan, "Dia selalu mengenakan kalung pemberian pria itu selama ini. Hanya saja aku tidak pernah melihatnya. Aku bahkan pernah berpikir untuk menemukan siapa pria itu. Mungkin menurut Paman, aku cukup bodoh… tapi bagiku, itu sangat berarti."
"Kalung? Apakah... di dunia ini masih ada cinta sejati? Mark, hidup di dunia ini jangan berharap pada cinta. Kau masih muda," ujar Wallace.
"Pamanku ini dari sisi mana pun dia lebih baik dari siapa pun, tapi kalau soal perasaan dia benar-benar tidak pernah merasakannya," batin Mark.