Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Tiga hari setelah insiden malam Festival Musim Gugur, istana terlihat seolah tak terjadi apa-apa. Taman-taman dirawat kembali, lentera diganti, dan para pejabat kembali mengenakan senyum sopan. Namun di balik semua itu, ketegangan merayap seperti racun di ujung jari.
Fei Lan, sang penari mata-mata, telah lenyap dari pembicaraan publik. Istana menyebarkan berita bahwa ia “melarikan diri dan diduga tewas jatuh ke jurang saat dikejar.” Padahal Wei Lian tahu, Fei Lan kini ditahan rahasia di salah satu gudang bawah milik keluarga Zhuang atas bantuan Mo Yichen.
Di dalam kamar, Wei Lian duduk membaca dokumen yang dikirim Mo Yichen secara rahasia. Di dalamnya ada salinan pesan yang disita dari tubuh salah satu pelayan Fei Lan, berisi kode yang ditujukan kepada seseorang berinisial “ZC.”
“Siapa ZC?” gumamnya pelan.
Yan’er, yang berdiri di sisi jendela, menoleh. “Zhuang Chao?”
Wei Lian menggeleng. “Zhuang Chao adalah orang tua dan bijak. Mustahil ia terlibat langsung. Tapi… Zhuang Chuyan, keponakannya, lebih ambisius dari yang terlihat.”
Yan’er menyipitkan mata. “Tapi bukankah ia bersahabat dekat dengan Putra Mahkota?”
Wei Lian tersenyum dingin. “Persahabatan di istana lebih rapuh daripada kertas basah.”
Di tempat lain, Putra Mahkota duduk di ruang rahasia bersama Selir Ning yang wajahnya masih bengkak karena menangis dan dibentak oleh Permaisuri.
“Bodoh!” dengus Putra Mahkota. “Bagaimana bisa kau biarkan mereka temukan jejakmu? Sekarang semua mataku sedang diawasi! Bahkan Ayahanda Kaisar mulai bertanya kenapa aku terlalu banyak mengurus hiburan!”
Selir Ning menunduk ketakutan. “Tapi… Fei Lan seharusnya aman. Dia dijamin tak terendus…”
“Dan sekarang? Dia sudah lenyap. Dan aku curiga siapa yang membantunya lenyap.” Ia menghentakkan cangkir teh ke meja. “Wei Lian…”
Hari itu, Wei Lian dipanggil untuk menghadap langsung Kaisar.
Ayah dari Putra Mahkota itu duduk dengan tenang di Balairung Naga Putih. Usianya sudah senja, namun matanya masih tajam dan berwibawa. Di sisinya, hadir beberapa menteri senior, termasuk Menteri Dalam, Menteri Keuangan, dan dua petinggi militer.
Wei Lian masuk dengan langkah ringan, membungkuk sopan.
“Kami mendengar kau menunjukkan keberanian dan kecerdikan dalam mengungkap mata-mata saat festival,” kata Kaisar. “Itu adalah hal yang tak bisa diabaikan.”
“Yang Mulia terlalu memuji. Saya hanya menjalankan tanggung jawab,” jawab Wei Lian tenang.
“Namun, tetap saja... kejadian ini membuat kami bertanya: kenapa kau bisa mengetahui lebih banyak daripada penjaga istana sendiri?”
Wei Lian menahan napas. “Saya hanya mencoba memahami siapa saja yang bermain di balik panggung. Dan terkadang, itu lebih mudah dilihat oleh orang yang bukan bagian dari lingkaran kekuasaan.”
Para menteri mengangguk pelan. Kaisar menyipitkan mata, menatapnya lama, lalu berkata, “Mulai saat ini, kau akan menjadi penasihat bagian kegiatan istana. Semua yang menyangkut festival, hiburan, dan tamu luar, harus melalui persetujuan mu.”
Wei Lian tertegun. Ini adalah jabatan yang memberi pengaruh luas bukan hanya tentang perayaan, tapi juga jaringan, akses, dan kesempatan mengontrol informasi dari luar istana.
“Yang Mulia, saya… berterima kasih atas kepercayaan ini.”jawab Wei Lian
Setelah ia dibebaskan, seorang pelayan membisikkan bahwa keputusan Kaisar membuat Putra Mahkota tampak muram sepanjang hari.
Malamnya, Wei Lian berada di balkon lantai dua rumah keluarganya. Angin musim gugur berhembus lembut, membawa aroma pohon persik dari taman belakang.
Mo Yichen datang diam-diam melalui lorong samping, disambut Ah Rui yang pura-pura sedang mengepel lantai.
“Kau suka membuat kejutan,” ucap Wei Lian sambil menuangkan teh.
“Kalau aku bilang aku hanya ingin bicara, kau pasti akan menghindar,” sahut Mo Yichen, duduk di kursi rendah. “Jadi aku memilih tak memberi pilihan.”
Wei Lian tersenyum kecil. “Apa kau selalu begini pada semua wanita?”
“Tidak semua wanita memimpin sendiri jalannya permainan di istana.” jawab Mo Yichen
Mereka terdiam sebentar. Di kejauhan, burung malam berkicau lembut.
“Aku ingin bertanya sesuatu,” kata Mo Yichen akhirnya. “Jika kau diberi pilihan untuk menghancurkan orang-orang yang menjatuhkan keluargamu... tapi itu berarti membuka luka yang belum siap disembuhkan, apa kau akan tetap melakukannya?”
Wei Lian terdiam lama. Lalu menjawab dengan suara pelan tapi pasti, “Aku sudah mati sekali. Luka bukan lagi hal yang ku takutkan.”
Mo Yichen memandangi wajahnya lama. Dalam sorot mata Wei Lian, ia melihat keteguhan yang tak bisa dibeli.
“Aku tidak bisa menghentikan mu. Tapi aku bisa memastikan kau tidak berjalan sendirian.” ujar Mo Yichen
Wei Lian menoleh padanya."apa mau mu?
Mo Yichen tersenyum samar. “ Aku mau pada seorang wanita yang tidak takut badai.”
Mereka saling menatap dalam diam. Tak perlu banyak kata. Karena malam itu, tanpa mereka sadari, tali yang mengikat mereka berdua... telah semakin erat.
Dan di tempat lain, seseorang di balik tirai merah mata-mata terakhir dari selatan—mendengar semuanya.
...----------------...
Dua hari setelah penunjukan Wei Lian sebagai penasihat kegiatan istana, berita itu tersebar cepat seperti api membakar sekam. Banyak yang tersenyum di permukaan namun menggertakkan gigi di balik tirai.
Beberapa selir merasa tak senang karena seorang wanita muda, belum menikah, justru kini memegang kuasa untuk memutuskan siapa yang boleh hadir di jamuan resmi, pesta kebun, hingga undangan khusus perjamuan Kaisar.
Namun bukan hanya mereka. Putra Mahkota sendiri merasa terdesak.
“Dia mempermalukan aku,” gumamnya dalam ruang kerjanya. “Dan sekarang Ayahanda mengangkatnya ke posisi di mana dia bisa mengatur siapa pun... termasuk aku.”
Zhuang Chuyan, sahabatnya sejak kecil, berdiri di sisi. Ia mengenakan jubah marun gelap, rambut disisir rapi ke belakang, tampak seperti bangsawan teladan meski sorot matanya menyimpan racun.
“Kau masih bisa menjinakkan harimau itu,” bisiknya. “Tapi jangan gunakan tali emas. Gunakan luka orang yang dia sayang.” ujar Zhuang Chuyan
Putra Mahkota mengerutkan kening. “Maksudmu?”
Zhuang Chuyan tersenyum kecil. “Keluarganya. Ayahnya. Jenderal Wei... yang hingga kini ada di perbatasan”
Sementara itu, Wei Lian duduk di paviliun belakang rumah keluarga Wei. Angin membawa harum bunga sedap malam yang baru ditanam ulang. Ah Rui menata teh di sisi meja, lalu meninggalkan tuannya sendiri.
Wei Lian membuka gulungan kertas tua. Di sana, ada sketsa peta yang dikirim oleh informan Mo Yichen.
Ia membaca pelan:
“Bekas markas rahasia pasukan bayangan milik Jenderal Wei. Lokasi: reruntuhan Kuil Seribu Bambu. Diarsipkan 10 tahun lalu. Kini diawasi oleh orang-orang tak dikenal berpakaian istana.”
Wei Lian mengepalkan tangan. “Ayah... kau menyembunyikan sesuatu.”
Yan’er masuk dari samping. “Tuan Teh datang. Dan dia membawa bingkisan.”
Wei Lian mengangkat alis. “Bingkisan atau jebakan?”
Tak lama kemudian, Mo Yichen muncul dengan jaket panjang berlapis. Ia membawa kantung berisi belahan kayu giok berukir.
“Kau pasti menyukai teka-teki,” katanya tanpa basa-basi. “Ini potongan dari stempel militer Jenderal Wei. Setengahnya hilang sejak penyerangan pertama ke perbatasan selatan kau tahu itu.”
Wei Lian menerima kayu giok itu, jari-jarinya bergetar. Ia ingat betul... ayahnya selalu membawa stempel ini saat pulang dari medan perang.
“Dari mana kau mendapat ini?” tanyanya pelan.
“Dari reruntuhan kuil tua. Tapi lebih dari itu, aku juga menemukan laporan tertulis dengan cap lama milik Jenderal Wei.”
Mo Yichen membuka gulungan kecil dari balik jubahnya. Dalam dokumen itu tertulis:
“Operasi pengalihan pasukan selatan untuk menutup jalur pemberontakan Zhen. Surat ini tidak boleh diketahui siapapun selain Kaisar.”
Wei Lian membeku.
“Ayahmu... bukan penghianat,” lanjut Mo Yichen lembut. “Ia menjalankan operasi rahasia. Tapi seseorang mengkhianatinya. Surat aslinya tak pernah sampai ke Kaisar.”
Wei Lian menutup matanya. Wajah sang ayah muncul dalam ingatannya—dingin, disiplin, tapi penuh perlindungan saat menepuk kepalanya waktu kecil.
“Jadi siapa yang menghalangi surat itu?” gumamnya. “Dan kenapa Ayah tidak kembali?”
“Aku sedang mencari tahu. Tapi orang yang menghentikan surat ini... kemungkinan besar ada di dalam istana. Dan memiliki akses langsung ke segel komunikasi kekaisaran.”
bersambung