Pelet Sukmo Kenongo adalah jalan ninja Lisa untuk memperbaiki hubungannya dengan sang kekasih yang sedang tak baik-baik saja.
Sayangnya, air yang menjadi media pelet, yang seharusnya diminum Reza sang kekasih, justru masuk ke perut bos besar yang terkenal dingin, garang dan garing.
Sejak hari itu, hidup Lisa berubah drastis dan semakin tragis. Lisa harus rela dikejar-kejar David, sang direktur utama perusahaan, yang adalah duda beranak satu, dengan usia lebih tua lima belas tahun.
Sial beribu sial bagi Lisa, Ajian Sukmo Kenongo yang salah sasaran, efeknya baru akan hilang dan kadaluarsa setelah seratus hari dari sejak dikidungkan.
Hal itu membuat Lisa harus bekerja ekstra keras agar tidak kehilangan Reza, sekaligus mampu bertahan dari gempuran cinta atasannya.
Di akhir masa kadaluarsa Ajian Sukmo Kenongo, Lisa malah menyadari, siapa sebenarnya yang layak ia perjuangkan!
Karya hanya terbit di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Al Orchida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin Gawat
Mobil dinas hitam metalik milik kantor berhenti di depan pintu masuk yang berada tak jauh dari lobby. Seorang security mengabarkan pada Lisa kalau mobil sudah menunggu.
Tak membuang waktu, Lisa, dengan ekspresi pasrah tapi tetap menjunjung profesionalisme kerja, mengikuti langkah security yang memanggilnya. Ia masuk ke dalam mobil setelah pintu dibukakan oleh security kantor tersebut.
Lisa hendak melayangkan protes karena security muda yang melayaninya biasanya tak pernah bersikap seperti itu. Ia sedikit kenal dan sering berbasa-basi ketika keluar masuk kantor.
Namun, Lisa bisa menebak, pelayanan berlebih itu diberikan karena Lisa akan pergi bersama sang direktur utama. Bukannya merasa istimewa, Lisa justru canggung diperlakukan layaknya orang penting.
Lisa duduk bersebelahan dengan David di depan. Tanpa sopir kantor yang biasanya mengantar kemanapun pria dengan kuasa nomor satu di perusahaan tempat Lisa bekerja sebagai staff administrasi.
Lisa memangku map yang berisi dokumen-dokumen penting yang diperlukan untuk rapat. Ia duduk seperti patung, kaku, kikuk dan merasa tak nyaman.
Ya, Lisa memang masih merasa bahwa seharusnya bukan dirinya yang duduk di situ, melainkan Laura. Ia juga mengingat bagaimana Laura menatapnya kesal saat ia mengambil dokumen rapat.
Mobil menggeleser semakin jauh meninggalkan kantor. Tak ada obrolan selama beberapa waktu. Lisa fokus menatap jalan yang ramai oleh kendaraan bermotor di depan matanya, tak berani melirik ataupun bersuara lebih dulu. Sesekali, hanya menghembuskan nafas panjang dan berat dengan pikiran runyam.
Melihat hal itu, David segera mengendus pakaiannya. “Ehm … wangi parfum saya mengganggu kamu ya? Terlalu menyengat? Bikin kamu pusing?”
Lisa langsung menoleh, kemudian mengulas senyum canggung. “Sama sekali nggak mengganggu, Pak! Wanginya enak kok, nggak bikin ngiung. Green and fresh, cocok sama bapak!”
Kalimat itu ditujukan tidak untuk memuji bosnya, tapi Lisa berusaha jujur dengan indra penciumannya. Ia memang menyukai parfum pilihan Pak David, berasa sekali kesegaran citrus yang bercampur dengan aroma green dedaunan.
“Syukurlah kalau begitu. Kamu sendiri suka parfum apa, Lisa?”
“Floral, fruity juga lumayan suka!” jawab Lisa singkat.
“Rose ya? Aku kecium aroma rose segar yang watery dan sedikit vanilla tadi pagi waktu kamu cetak dokumen di ruangan. Harusnya kamu respray pas siang hari begini, biar tetap wangi sampai sore! Kalau fruity kamu suka wangi dari buah apa, Lisa?”
“Apel, Pak!” Lisa mengumpat dalam hati. Kenapa juga si bos mengajaknya membahas parfum?
“Aroma wangi dari buah beri-berian atau peach kurang suka?”
“Suka juga, cuma lebih suka wangi apel hijau, Pak!” Lisa mengulum tawanya. Tak menyangka saja kalau si bos setertarik itu dengan parfum favoritnya.
“Oh, green apple?!” David mengangguk sambil senyum-senyum sendiri, seolah sudah memiliki rencana untuk dilakukan saat jam kerja Lisa berakhir.
Setelah melirik singkat dengan ekor mata, Lisa mengalihkan pembicaraan. Ia jelas tidak mau obrolan mereka semakin menjurus ke hal-hal pribadi yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. “By the way, kita meeting jam satu lewat tiga puluh ya, Pak?”
“Iya betul. Kamu mau tanya kenapa jam segini udah berangkat ya?”
Lisa pura-pura melihat jam tangannya untuk memastikan kalau mereka memang berangkat terlalu cepat. “Iya, soalnya sekarang baru setengah dua belas, Pak!”
“Saya udah reservasi restoran untuk makan siang sebelum meeting. Jadi kita makan dulu, biar nggak pingsan pas rapat nanti,” jawab David yang diakhiri dengan tawa kecil. Tawa yang menunjukkan arogansi dan kemenangan.
“Oh ….”
Lisa mengucap kata ‘ya ampun!’ dalam hati. Bagaimana bisa bos yang kata Nina kharismatik dan berwibawa ini justru cengengesan setelah berhasil menjebak bawahannya agar bisa makan siang bersama?
Lisa kembali mengajak membahas hal-hal seputar pekerjaan dan gosip-gosip di kantor daripada menjawab pertanyaan-pertanyaan si direktur utama mengenai makanan dan resto favoritnya.
“Kamu pinter ngeles plus membelokkan topik pembicaraan ya ternyata? Saya jadi salut sama kamu. Jadi ingin tahu lebih banyak tentang potensi kamu yang lain!”
“Eh … topik yang mana, Pak?” tanya Lisa pura-pura tak paham. Padahal wajahnya memerah, malu karena ketahuan bersikap defensif.
“Nah di sini restonya!” sahut David sambil memutar setir setengah lingkaran, masuk ke sebuah hotel bintang lima dimana mereka akan melakukan rapat setelah jam makan siang.
“Meeting-nya juga di sini kan, Pak?”
“Hm, ayo!” jawab David singkat.
Tidak seperti umumnya karyawan di kantor yang berjalan sedikit di belakang direktur utama, Lisa berjalan berdampingan dengan David. Bosnya itu sengaja menjajarkan langkah dan tak segan mengobrol atau bercanda dengannya–yang masih bersikap kaku, formal dan profesional.
David dan Lisa diantar ke meja dengan tulisan reserved, dengan kursi yang bersisian. Lisa bersyukur tak harus duduk berhadap dengan bosnya yang sedang berulah layaknya anak muda yang sedang kasmaran.
“Kamu mau makan apa, Lisa?” tanya David sambil mengulurkan buku menu. “Pilih sendiri deh!”
Tanpa membuka buku menu, Lisa menjawab, “Salad aja, Pak!”
“Lisa … pesan menu yang benar untuk makan siang! Meeting kita nanti lama, butuh cukup energi dan nutrisi. Mau aku pesenin cumi sambel hijau? Udang mentega? Kepiting asam manis?”
“Nggak deh, Pak! Saya kurang cuka makanan seperti itu, menurut saya agak amis,” tolak Lisa cepat-cepat. Sebenarnya bukannya tidak suka, Lisa hanya sedang malas dengan seafood untuk menu siangnya.
David tersenyum lebar, suka dengan Lisa yang tidak malu-malu dan jaga image karena makanan pilihannya. “Jadi kamu mau makan apa? Beef teriyaki? Bebek bumbu hitam? Atau ayam panggang mungkin?”
“Bapak sendiri mau makan apa?” Lisa balik bertanya dengan wajah polosnya.
“Selat Solo di sini juara rasanya, kamu mau makan sama kayak aku? Minumnya jus alpukat biar tambah kenyang hehehe,” jawab David, ceria tapi tetap antusias.
Lisa nyaris tersedak mendengar si bos sudah menyebut kata ganti dirinya dengan ‘aku’ sebanyak dua kali, bukan lagi ‘saya’.
“Ehm, saya malah belum pernah makan selat Solo, Pak! Jadi boleh deh saya pesan itu juga. Penasaran juga gimana rasanya,” ungkap Lisa diakhiri dengan senyum formalnya.
“Jangan terlalu formal, Lisa! Biasa aja ngomongnya, nggak usah pakai saya! Aku-kamu lebih enak didengar,” ujar David santai.
“Baik, Pak!”
“Kalau gitu dessertnya salad buah aja ya, kamu kan tadi pengen makan sehat!” David memanggil waitress, dan memesan makanan yang sudah disepakati dengan lisa. Ia menambahkan dua macam camilan dan dua kopi sebagai pelengkap.
“Kamu tahu nggak, dari semua staf di kantor yang pernah ikut meeting eksternal, cuma kamu yang auranya menyenangkan banget!” kata David tiba-tiba.
Lisa menaikkan satu alis dan bertanya ringan, “Kalau yang lain auranya gimana emangnya, Pak?”
“Menyenangkan aja, nggak pakek banget!” jawab David sambil nyengir.
Kontan saja Lisa tertawa lepas. Ternyata bos yang biasanya berwajah kaku ini bisa juga melucu. “Baru kali ini saya dengar orang bilang aura saya menyenangkan, biasanya dibilang kayak auranya mak lampir!”
“Aku … Lisa! Aku! Apaan sih saya, saya?” ralat David. “Tapi bener kok, dari sejak kemarin, setiap lihat kamu di kantor, bawaannya adem banget.”
“AC di kantor kan memang adem, Pak!” sanggah Lisa dengan ekspresi tak bersalah.
David tak menggubris kalimat Lisa. “Semalem aku sampai susah tidur gara-gara kepikiran kamu. Pas pagi tadi lihat kamu ada di ruangan sama Laura, rasanya kekhawatiranku menguap entah kemana. Aku…,”
Lisa membatin, ya itu karena bapak minum air yang udah dimantrai Nyi Sekar! Mana efeknya semakin lama semakin menjadi begini. Gawat!
Dua waitress datang mengantar makanan pesanan David. Membuat kalimat David yang sudah ada di ujung lidah tidak jadi dilontarkan.
Lisa bersyukur dalam hati karena merasa diselamatkan oleh dua waitress secara tidak langsung. Jujur ia takut David mengatakan hal konyol padanya, seperti menyatakan cinta atau malah ngajak nikah. Ah … andai saja yang sedang makan siang dengannya Reza!
“Mau aku suapin, Lis?” tanya David lembut sambil menyorongkan sendok berisi potongan kentang berbumbu ke depan mulut Lisa yang sedang melamun.
“Eh, eh jangan, jangan, Mas!” ujar Lisa kaget. Lebih kaget lagi saat menyadari ia sudah salah memanggil bosnya–yang sekarang jadi senyum-senyum sinting padanya. “Maksudnya jangan, Pak! Bukan mas … iya bukan mas, itu tadi salah panggil, Pak! Maaf mengacau!”
“Tapi panggilan itu kedengaran lebih natural ya? Dan rasanya aku suka denger kamu manggil aku ‘mas’ daripada ‘pak’!”
“Tapi kan nggak mungkin juga saya panggil bapak begitu, saya karyawan bapak di kantor, sudah selayaknya memanggil dengan yang lebih hormat!” Lisa menekankan kalimat dengan ekspresi mulai jengkel.
“Karyawan kan kalau di kantor, kalau di luar kantor kamu orang lain! Jadi kamu harus panggil aku mas kalau lagi nggak di kantor,” kata David sesantai mungkin, seolah mereka bukanlah atasan dan bawahan.
Lisa membuka mata lebih lebar. “Harus?”
“Iya harus! Aku jauh lebih tua dari kamu, wajar dong kamu manggil aku mas. Akan terdengar tidak sopan kalau kamu langsung manggil nama. Pid, Dapid, Dapid … hadeeeh!”
“Bapak nggak apa-apa?” tanya Lisa skeptis. Ia menatap lekat David yang sedang nyerocos dengan gaya anak muda banget. “Bapak lagi sakit?”
David mengibaskan tangan, menunjukkan kalau ia baik-baik saja. “Oh ya di rumah aku biasa dipanggil Dave, nama kecil sih itu! Kamu juga boleh manggil aku pakai nama kecilku, biar lebih akrab!”
“Hah?”
Lisa menahan diri untuk tidak berteriak atau mencibir, atau mengeluarkan kata-kata yang mungkin kasar. Ia berdoa dalam hati agar rapat segera dimulai dan segera berakhir, agar ia bisa terbebas dari Mas Dave, eh … Pak David.
Bersambung,
temen yg super konyol masabiya mau dipelet yg pke seumur hidup hadeh
lama kelamaan juga reza pasti nyesel lis apalagi kalo kualitas kamu makin bagus..
jd selama ajian belum berakhir pepet trroos mas dave nya jd pas ajian itu kadaluarsa mas dave udh ngerasa nyaman ama kamu lisa..dan kalaupun reza kembali hushus hempas jauh2 mantan bastard mu itu😆😆😆
salah soal masa expired tuh pelett. bener tak sih...
seratus juta little kiss hemm, gimna klo......