Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
“APA?!” tanya Dewi dengan expresi terkejutnya
Dewi nyaris menjatuhkan mouse dari tangannya. “Aku disuruh ikut makan malam sama Pak Dewa?”
“Ya,” jawab asistennya tenang. “Beliau bilang kamu perlu ikut karena kliennya dari divisi kamu.”
Dewi memelototi layar. “Tapi aku staf biasa…”
Asisten itu tersenyum samar. “Mungkin kamu tidak se-biasa itu di mata beliau.”
Dewi mengerjap. "Oke, itu... mencurigakan" batin Dewi
---
Beberapa jam kemudian…
Naya mengobrak-abrik lemari pakaian di kamar rumahnya yang sekarang ditempati Dewi juga.
“Kamu harus pake ini,” katanya, mengangkat gaun midi warna emerald yang mengilap seperti daun segar setelah hujan.
“Ini baju siapa?!” tanya Dewi ngeri. “Gue bukan Cinderella, Nay!”
“Pinjaman dari kakak sepupuku yang mantan pramugari. Kecil, seksi, dan menjerat pria dalam 5 detik pertama.”
Dewi menatap gaun itu seperti menatap jebakan setan.
“Nay… ini terlalu…”
“Pas,” potong Naya sambil menyeringai. “Lu mau tampil biasa di depan bos ganteng lo?”
“Dia bukan—”
“Masuk ke mobilnya aja kamu udah deg-degan.”
Dewi memutar bola mata, tapi akhirnya menyerah. Setengah jam kemudian, dia berdiri di depan cermin kamar Naya, terlihat seperti versi dirinya yang… bahkan dia sendiri tidak kenal.
Rambut panjangnya digerai rapi. Bibirnya diberi lip tint tipis. Dan gaun itu? Ajaib. Ia merasa cantik.
Terlalu cantik.
---
Mobil hitam panjang berhenti di depan rumah sederhana itu. Seorang sopir membukakan pintu. Dewi menatap mobilnya ragu-ragu—seperti hendak memasuki dunia lain.
“Selamat malam,” suara rendah menyapa dari dalam mobil. Dewa sudah duduk di dalam, mengenakan setelan abu-abu elegan.
Dewi tercekat. "Kenapa rasanya… seperti dinner date?"
“Gaunnya cocok,” ucap Dewa tenang. Matanya menatap ke depan, tapi suaranya jujur.
Dewi menggigit bibir. “Makasih… pinjaman…”
Sepanjang jalan, mereka tak banyak bicara. Tapi atmosfer di dalam mobil… aneh. Hangat. Mendebarkan. Seperti ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan tapi jelas terasa.
---
Restoran itu eksklusif. Interior kayu tua, lampu gantung antik, dan piano jazz di sudut ruangan. Klien Dewa adalah pasangan suami istri Jepang yang ramah dan banyak bicara.
Dewi menjawab dengan sopan, mengikuti arahan Dewa saat diskusi bisnis berlangsung. Ia mulai sadar bahwa Dewa selalu memberi ruang untuknya bicara, bahkan saat topik beralih ke keputusan desain—hal yang sebenarnya bukan urusannya langsung.
Dan setelah makan malam selesai, pasangan klien itu tersenyum penuh arti ke arah mereka.
“Such a lovely couple,” ujar sang istri sambil tersenyum hangat.
Dewi ingin meluruskan. Tapi Dewa hanya mengangguk sopan dan mengantar mereka ke luar.
Saat kembali ke meja, Dewi membuka suara. “Pak... mereka kira kita pasangan.”
Dewa menatapnya sebentar, lalu angkat bahu. “Bukan hal buruk.”
Dewi merasa dadanya berdebar lagi.
“Aku karyawan, Pak.” ujar Dewi
“Dan aku bos, bukan dewa.” jawab Dewa
Dewi nyaris tersedak minumnya.
Untuk pertama kalinya, Dewa melemparkan senyum kecil. Singkat. Tapi sukses membuat Dewi salah napas.
---
Sore itu, setelah sampai di rumah Naya tempat pelariannya selama ini Dewi merebahkan diri di kasur empuk kamar tamu, lalu mengirim chat ke Naya yang masih di luar.
[DUO GILA – Dewi & Naya]
Dewi:
Lo... bener.
Naya:
GUE SELALU BENERRR
APA DIA NEMUIN GAUN ITU SEKSI? 😏
Dewi:
Dia bilang... cocok.
Naya:
BERARTI DIA MULAI LUNAK! NEXT STEP: BIKIN DIA KETAGIHAN!
CARA?
JADI DIRI LO SENDIRI YANG NGGAK BISA DIKENDALIKAN ITU!
Dewi:
Gue gak main-main. Gue takut salah langkah.
Naya:
Justru... mungkin langkah ini yang akhirnya bener.
---
Di tempat lain, Dewa membuka galeri lagi. Kali ini, ia menyimpan foto rahasia lain: Dewi sedang tertawa bersama klien tadi. Tak sengaja, tapi... alami.
“Dia tak seperti yang orang pikirkan,” gumamnya.
Lalu ia menatap nama di layar ponselnya.
Kontak yang belum dihapus sejak perjodohan direncanakan:
Dewi Ayu Ningrat – Tunangan
Tapi baginya, nama itu hanya formalitas.
Yang ia kejar sekarang,
adalah hati seorang Dewi...
yang memilih kabur demi cinta.
Dan Dewa bersumpah... akan jadi alasannya bertahan.
...----------------...
Pagi itu, suasana kantor terasa berbeda. Bukan karena ada pengumuman penting atau kunjungan direksi pusat. Tapi karena... Dewi datang lebih awal dari biasanya.
Naya langsung menatapnya dengan tatapan curiga begitu Dewi muncul di ruang pantry.
“Kamu bangun subuh karena insomnia atau karena naksir bos?” tanya Naya
Dewi mendesah sambil menyendok sereal ke mangkuk.
“Aku nggak naksir siapa-siapa. Aku cuma... kepikiran aja.” jawab Dewi
“Kepikiran senyuman Pak Dewa yang langka itu?” goda Naya sambil menggigit roti.
Dewi memicingkan mata. “Aku udah bilang—”
“Bahwa kamu trauma sama pria kaya tua. Iya, iya. Tapi kamu juga bilang semalem, dia itu beda.”
Dewi diam.
Ya. Beda.
Terlalu beda sampai bikin dia curiga—apa benar dia cuma bos? Kenapa perhatian Dewa terasa... personal?
---
Hari itu Dewa terlihat seperti biasa: tenang, profesional, dingin.
Tapi saat rapat, Dewi bisa menangkap sorotan matanya ke arahnya. Tidak lama. Hanya sekilas. Tapi cukup untuk bikin jantungnya berdebar dua kali lebih cepat.
Dan saat semua orang keluar ruangan setelah rapat, Dewa memanggilnya pelan.
“Dewi.”
Langkahnya terhenti. “Iya, Pak?”
“Ada yang ingin saya tunjukkan.” jawab Dewa
---
Ruangannya luas, minimalis, dan rapi.
Dewi merasa aneh. Ia sudah pernah ke ruang ini sebelumnya—beberapa kali bahkan—tapi kali ini ada nuansa berbeda.
Dewa menunjuk sebuah bingkai foto kecil di atas meja. “Pernah lihat tempat ini?”
Dewi mendekat. Matanya membelalak.
Itu foto sebuah rumah tua bergaya tradisional Jawa, dengan halaman luas dan bunga kamboja di depan pagar.
“Ini rumah… kakek ” bisiknya.
Dewa menoleh. “Aku tahu.”
“Lho, kok bisa?” kaget Dewi
“Karena... pernah main ke sana. Waktu kecil. Dulu keluarga kita kenal dekat.” jawab Dewa
Dewi terdiam. Mendadak pikirannya melayang apa ini ada hubungannya dengan...
Perjodohan?!
“Pak Dewa...” gumamnya. “Sebenernya... kenapa Bapak bisa tahu rumah itu?”
Tapi Dewa hanya tersenyum samar dan berkata, “Karena ada hal-hal yang lebih penting dari apa yang terlihat. Termasuk alasan kamu kabur.”
Dewi mematung.
Apa dia tahu? Apa dia tahu semuanya?
---
Sore hari, di rumah Naya...
Dewi berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri.
“Gue lagi dideketin bos sendiri... dan dia nyimpen banyak misteri.”
Ponselnya bunyi. Chat dari Naya.
Naya:
Tebakan gue makin kuat. Kayaknya lo dijodohin sama dia deh.
Dewi:
ENGGAK MUNGKIN.
Naya:
Mungkin banget. Semua petunjuknya jelas.
Dewi:
Kalaupun iya, kenapa dia nggak bilang?
Naya:
Mungkin dia nunggu waktu yang tepat. Atau... dia pengen lo jatuh cinta dulu. Bukan karena jodoh, tapi karena dia.
Dewi menelan ludah. Deg.
Kalau benar Dewa itu calon suaminya... kenapa hatinya malah mulai terbuka sedikit demi sedikit?
Dan kalau perasaan ini tumbuh, apakah masih bisa dibilang "melarikan diri"?
Atau sebenarnya, dia justru sedang... mendekat?
bersambung