Ini kelanjutan cerita Mia dan Rafa di novel author Dibalik Cadar Istriku.
Saat mengikuti acara amal kampus ternyata Mia di jebak oleh seorang pria dengan memberinya obat perangsang yang dicampurkan ke dalam minumannya.
Nahasnya Rafa juga tanpa sengaja meminum minuman yang dicampur obat perangsang itu.
Rafa yang menyadari ada yang tidak beres dengan minuman yang diminumnya seketika mengkhawatirkan keadaan Mia.
Dan benar saja, saat dirinya mencari keberadaan Mia, wanita itu hampir saja dilecehkan seseorang.
Namun, setelah Rafa berhasil menyelamatkan Mia, sesuatu yang tak terduga terjadi diantara mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Apa mereka ada di dalam? Tapi, bukannya ini vila khusus perempuan, ya? Kenapa sandalnya Rafa ada di sini juga?" selidik Brayn menatap sang bunda dengan kedua alis saling bertaut.
Entah mengapa Airin merasakan hatinya semakin gundah.
Pintu vila dibiarkan terbuka dalam keadaan kosong, sementara sandal putrinya ada di sana.
"Apa tidak sebaiknya kita periksa ke dalam? Siapa tahu Mia ada di dalam."
Brayn mengangguk pelan.
Sebelum melangkah masuk, terlebih dulu ia mengetuk dan berucap salam.
Tapi, lagi-lagi tak ada sahutan apapun. Hal yang membuat keduanya semakin khawatir.
"Tidak ada yang menjawab, Bunda. Apa mungkin memang tidak ada orang di dalam."
"Tapi, kalau di dalam tidak ada orang, kenapa sandalnya Mia dan Rafa ada di depan pintu?"
"Iya, sih."
Akhirnya, mereka berdua melangkah memasuki rumah. Pandang mengedar ke sekeliling.
Bangunan sederhana itu terdapat lima kamar di bagian tengah yang saling berhadapan. Sebuah dinding pembatas dengan lukisan pedesaan.
"Mia... Rafa... kalian di dalam?" panggil Brayn, sambil melirik ke kanan dan kiri.
Tak ada kecurigaan apapun dalam hatinya. Ia tahu bahwa Rafa adalah pemuda baik dan bertanggung jawab yang akan menjaga adik sepupu kesayangannya.
"Mia ... kamu di dalam, Dek ?" panggilnya sekali lagi.
Perlahan Brayn melangkah pelan menyusuri ruang demi ruang, namun tak berani membuka pintu kamar.
Sementara Airin berjalan di belakangnya dengan perasaan gundah. Mata wanita itu bahkan telah berkaca-kaca.
Firasat buruk di dalam hatinya semakin kuat. Napasnya terasa sesak dan jantung bergemuruh. Dari hatinya hanya doa yang terus ia gumamkan.
Hingga mereka tiba bagian dalam rumah yang diisi oleh empat kamar yang saling berhadapan.
Lalu, bagian dalam terdapat dapur sederhana yang berukuran tidak begitu luas dengan perabot seadanya.
"Mia ... Rafa...." Airin memanggil sambil memandang sekeliling.
"Tidak ada, Bun," gumam Brayn.
Baru saja akan melangkah kembali, pandangan Brayn seketika tertuju pada dua benda yang tergeletak di lantai depan pintu kamar, tepat di samping bufet kecil.
Perlahan Brayn melangkah. Berjongkok dan meraih benda tersebut.
"Ini pecinya Rafa."
Bagaimana mungkin Brayn tidak mengenali benda tersebut.
Peci itu dibeli Rafa saat mereka berlibur ke Dubai beberapa waktu lalu.
Brayn masih ingat betul, sebab ia pun membeli peci yang sama dengan warna berbeda.
"Brayn, itu pasminanya Mia." Airin semakin sesak menunjuk kain panjang berwarna abu-abu yang tergeletak bersama peci tadi.
Brayn berdiri dan menatap ke arah pintu yang tertutup.
Tiba-tiba perasaan khawatir dan takut menjalar ke hati.
Adakah sesuatu yang tidak beres terjadi kepada adik dan sahabatnya?
Sandal di depan pintu masuk, dan sekarang peci milik Rafa dan pasmina Mia ada di depan pintu kamar yang tertutup.
Lelaki itu memandang sang bunda yang tampak cemas.
Tangannya mengulur menyentuh gagang pintu.
Memutar perlahan dengan sedikit dorongan, yang membuat pintu terbuka secara perlahan.
"Astaghfirullah." Keduanya berseru ketika memandang ke dalam kamar.
Mata Airin seketika berair, kedua tangannya refleks menutup mulut.
Seluruh tubuh gemetar. Hampir terjatuh, namun tangannya cepat berpegang pada lengan Brayn.
Sementara Brayn menunjukkan reaksi yang sama terkejutnya.
Sepasang mata itu menatap penuh amarah pada dua tubuh yang terbaring di tempat tidur dengan selimut tipis yang menutupi keduanya.
Napasnya tercekat di tenggorokan dengan tangan mengepal.
"Rafa!"
Rafa tersentak dan membuka mata ketika lengkingan suara Brayn tertangkap oleh indera pendengaran.
Lelaki itu membuka mata. Dalam kesadaran yang belum utuh ia memandang ke arah sumber suara, kemudian menjadi sangat terkejut ketika menyadari situasi yang ada.
"Bunda ... Brayn!" Ia gelagapan, bingung dan terkejut.
Terlebih Mia sedang berbaring dengan menjadikan lengannya sebagai bantal.
"Kamu apakan adikku!" Suara Brayn menggelegar di udara.
Ia merangsek maju, menerkam. Kepalan tinjunya spontan menghantam wajah Rafa hingga lelaki itu terjerembab mundur.
Pada saat yang sama Joane baru tiba. Ia langsung masuk ke vila ketika mendengar lengkingan penuh amarah dari Brayn.
Ketika masuk, ia disambut dengan keadaan di mana putranya sedang dihajar oleh Brayn.
"Kamu mencintai Mia, kan? Datangi Ayahnya baik-baik untuk memintanya! Bukan dengan cara seperti ini!" teriak Brayn, menghantam dengan kepalan tinju.
"Brayn! Tahan!"
Melihat keributan yang terjadi, Joane segera memposisikan dirinya ke tengah.
Memberi jarak antara Brayn dan Rafa. Satu tangannya menahan dada Brayn, sementara satu tangan lainnya menekan dada Rafa.
"Tenang, jangan pakai kekerasan!" ujarnya menekan.
"Lalu cara apa yang pantas digunakan untuk laki-laki yang berani melecehkan perempuan seperti dia!" Amarah Brayn masih meletup-letup.
Ingin maju menghantam Rafa, tapi Joane terus menghalangi.
"Istighfar! Om paham kamu marah, tapi tenang dulu, Brayn! Masalah tidak akan selesai dengan kekerasan! Istighfar, tenang!"
"Astaghfirullah." Brayn membuang napas kasar.
Matanya memerah, kedua tangannya terkepal kuat hingga urat nadi tampak menonjol.
Luapan amarah itu akhirnya ia lampiaskan dengan menghantamkan kepalan tinjunya ke dinding kamar.
Menciptakan luka pada tulang pangkal jarinya.
Joane memandang dua lelaki di hadapannya secara bergantian.
Kemudian menatap Airin yang berdiri lemas di ambang pintu dengan mata yang basah, wajah pucat dan tubuh gemetar.
"Airin, tolong percaya anakku. Dia pasti punya penjelasan untuk semua ini," ucap Joane.
Namun, wanita itu seolah tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Selain dengan isak tangis.
Terlalu menyakitkan.
"Apapun penjelasannya, tidak bisa dibenarkan. Dia melakukan ini, Om!" Brayn masih menunjuk Rafa dengan amarah tertahan.
"Ya, kamu benar! Tapi, setidaknya sebelum kita menghakimi berikan kesempatan bagi Rafa untuk menjelaskan apa yang terjadi, pasti ada yang tidak beres di sini. Kamu pasti tahu seperti apa Rafa."
Sepasang mata Brayn terpejam dengan hela napas panjang. Mencoba mengurai ledakan emosi yang berkecamuk dalam jiwa.
Kakak laki-laki mana yang tidak marah jika melihat adik perempuannya dilecehkan?
Akan tetapi, akal sehatnya turut membenarkan ucapan Joane.
Brayn yang paling tahu seperti apa seorang Rafa Baskara, sosok yang telah berteman dengannya sejak kecil.
Jangankan berpacaran, menyentuh atau berpandangan dengan lawan jenis yang bukan mahram saja tidak pernah ia lakukan.
"Astaghfirullah." Brayn berusaha menahan air mata yang dipicu oleh amarah. "Raf, apa yang kamu lakukan pada adikku? Aku percaya kamu akan menjaganya, tapi kenapa malah melakukan ini?"
Mendengar pertanyaan itu, Rafa hanya bungkam. Tak ada kata dari mulutnya untuk membela diri.
Joane melirik putranya penuh tanya. Sama seperti Brayn, ia pun sangat marah saat ini.
Namun, sebisa mungkin bersikap tetap tenang. Jika tidak, keadaan akan semakin kacau.
"Nak, apa yang terjadi? Kenapa kamu dan Mia bisa berada dalam situasi seperti ini ?" tanya Joane.
Rafa yang masih dalam keadaan bingung dan terkejut itu menghela napas. Menunduk dan tak berani menatap ayahnya.
"Ayah, aku rasa masalahnya berasal dari jus jeruk yang diberikan Mia. Kami minum dari gelas yang sama. Mia juga mengalami gejala yang sama seperti aku."
Melalui penjelasan Rafa, Joane mencoba mengurai sebuah kesimpulan. Tidak mudah memang, namun ia harus tetap berdiri di tengah.
Tidak membela putranya, tapi tak juga memojokkan. Terlebih ia tahu keadaan Rafa sebelumnya karena mereka sempat berbicara di telepon.
"Oke. Tenang!" pintanya kala melihat Rafa semakin gelisah.
Rasa bersalah dan malu memancar dari tatapan lelaki itu.
"Aku minta maaf, aku tidak tahu kenapa bisa sampai sejauh ini. Aku membawa Mia ke kamarnya supaya bisa istirahat, tapi...." ujar Rafa dengan sebelah tangan terangkat menjambak rambut.
Brayn masih menatap tajam.
Joane kembali melirik Airin yang belum juga berpindah dari tempatnya berdiri.
Matanya tertuju pada putrinya yang terbaring tanpa busana dan hanya terbalut selimut tipis dalam keadaan tak sadarkan diri.
"Aku benar-benar minta maaf, Airin. Aku akan memastikan Rafa bertanggungjawab untuk perbuatannya. Kemungkinan ada yang sedang berusaha menjebak mereka. Mari, kita bicara dengan kepala dingin."
Joane memperhatikan situasi sekitar. Beruntung, belum ada satu pun mahasiswa yang kembali dari masjid.
"Kita selesaikan masalah ini dengan tenang, tanpa kekerasan. Tapi, jangan di sini. Mumpung yang lain belum datang. Kasihan Mia kalau kejadian ini sampai diketahui orang lain," ucap Joane.
Airin hanya mengangguk pasrah.
Brayn pun mendorong dada Rafa hingga lelaki itu bergerak mundur.
Ia lalu mendekat ke tempat tidur dan menatap adik sepupunya dengan perasaan hancur berkeping-keping.
Selimut ia tarik dan membalut tubuh Mia hingga hanya kepala yang terlihat, kemudian meraih tubuhnya dan memeluk. Mencium ubun-ubunnya.
"Bangun, Dek! Maafkan Kakak tidak bisa menjaga kamu." Ia berbisik sambil mendekap tubuh lemah itu sangat erat.
"Papa dan Ayah pasti akan kecewa karena aku gagal menjaga adik perempuanku," imbuh lelaki itu lirih.
Sedangkan Airin masih mematung di ambang pintu.
Menunduk dan terisak, mengepalkan tangan di depan dada. Seluruh kekuatan tubuh seolah lenyap. Hatinya hancur berkeping-keping.
Menyalahkan diri sendiri.
************
************
jangan mudah terhasut mia
apa Mia GX tinggal bareng Rafa, terus Rafa gmana
tambah lagi thor..🙏😁🫣