Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 9
"Hari-hari menjadi budol, tidakkah membuatmu lelah, kawan?" komentar Kafka, yang langsung diabaikan Ganesha. Gadis itu tetap asyik menggulir layar, mengagumi satu per satu potret Tenggara dari berbagai sisi dan kondisi.
"Emang dasar monyet," gumam Kafka, kesal karena tidak digubris.
Hilang sudah suasana romantis empat hari lalu. Lenyap segala tutur kata lembut yang pernah ia pakai untuk menenangkan Ganesha yang menangis tersedu-sedu malam itu. Pupus keramahan, kerendahan hati, dan limpahan kasih sayang yang sempat dia tumpahkan. Kafka kini kembali ke mode default: cerewet dan menyebalkan.
"Gila, Kak Aga ganteng banget pakai style ini! Iya, sih, gue tahu dia emang ganteng—selalu ganteng, malah. Tapi style ini tuh bikin dia kayak ... berkali lipat gantengnya!" seru Ganesha, matanya berbinar.
Yang bisa Kafka lakukan hanyalah mendengus, lalu berkomat-kamit tanpa suara. Karena yang diajak bicara oleh Ganesha saat ini jelas bukan dirinya, melainkan Selena.
Dan bagaimana respons Selena? Tersenyum. Ya, si model kebanggaan mereka itu tersenyum menanggapi ocehan ngelantur Ganesha, seolah otak korslet si bucin tolol itu sudah merembet ke dirinya juga.
"Aduuuh, ganteng banget sih ... rugi amat kalau nggak jadi pacar gue," celoteh Ganesha, penuh semangat.
Kafka memutar bola mata malas. Lama-lama jengah juga dia mendengar Ganesha yang selalu berkhayal menjadi kekasih Tenggara, tapi tak pernah cukup berani untuk jujur soal perasaannya.
Kadang, Kafka sampai merasa bersalah pada Tenggara—meskipun dalam diam ia sering mengumpati pria itu. Karena nyatanya, masalah terbesar bukan berada pada lelaki itu ... tapi pada Ganesha sendiri. Yang kesepian. Yang takut ditinggalkan.
"Bacot lo tuh gede kalau lagi sama kita doang, Nesh. Giliran disuruh confess, ada aja alesannya," cercanya, sukses menghapus lengkungan senyum di bibir Ganesha hingga berubah menjadi garis lurus.
"Lo kira confess tuh gampang?" balas Ganesha, nadanya lebih terdengar seperti sedang menantang sih.
"Gampang, lah. Tinggal bilang, 'gue suka sama lo, mau nggak jadi pacar gue?'. Udah, gitu doang, nggak ribet." Kafka menjawab enteng, seolah segalanya bisa selesai hanya dengan satu kalimat.
Ganesha menghela napas sambil geleng-geleng kepala. Kafka ini memang jago teori, tapi action-nya? Nol besar. Ibarat guru mata pelajaran, lelaki itu hanya paham soal teori, tetapi dalam praktiknya selalu kewalahan sendiri.
"Kalau confess emang segampang itu, kenapa lo masih jomblo sampai sekarang? Coba jelasin ke gue, kenapa?"
"Gue pernah pacaran, ya! Sama Siska waktu kelas XI! Terus sama Andine tuh, anak HI pas semester empat!" Kafka mulai nyolot. "Gue bukan lo yang rela menjomblo selama sembilan tahun cuma buat nungguin cowok yang lo taksir peka!"
Namun, berbanding terbalik dengan Kafka yang terlihat kebakaran jenggot, Ganesha justru menanggapinya dengan santai. "Perlu digarisbawahi bahwa status pacaran itu bisa terjalin karena cewek-cewek itu duluan yang confess ke lo. Dan lo, wahai cowok kaku kayak kanebo kering, lo nggak pernah bener-bener jatuh cinta sama mereka."
Ganesha menyedot jus jeruk miliknya sebelum melanjutkan, "Tiga bulan adalah durasi pacaran paling lama, itu pun lo yang diputusin karena cewek-cewek itu nggak kuat sama sikap kaku lo itu."
Ia berhenti sejenak, sebelum kemudian menatap Kafka dengan sorot serius. "Kalau confess emang segampang itu, gue yakin lo sekarang pasti udah menjalin hubungan sama seseorang yang bener-bener lo suka, yang lo taksir sampai rasanya nggak ada lagi manusia di dunia ini yang menarik di mata lo selain dia."
"Gu--"
"Confess emang nggak semudah itu, kok." Di tengah perdebatan panas, Selena tahu-tahu masuk ke dalamnya.
Sontak saja, kedua temannya yang tadi saling adu tatap menoleh ke arahnya secara serempak. Gerakan mereka begitu kompak, seolah mereka adalah robot yang bergerak dengan sebuah program yang sama. Keheranan tergambar jelas di wajah mereka. Rasa penasaran pun semakin lama semakin besar, menuntut untuk segera dipuaskan.
Sedangkan yang ditatap malah terlihat biasa saja. Matanya, yang kini dipasangi kontak lensa warna biru, tampak mengedip-ngedip dengan ekspresi jenaka. Bibirnya, yang dipulas warna merah, sedikit maju karena jus jambu yang belum tertelan sejak ia menyedotnya beberapa saat lalu.
"Lo pernah naksir sama orang, Sel?" tanya Ganesha begitu berhasil menarik diri dari kebingungan.
Selama enam tahun mereka berteman, ia sama sekali tidak pernah mendengar soal Selena Kiehl menyimpan perasaan pada siapa pun. Kalau yang naksir dia, sih, tidak usah ditanya lagi. Dari kelas satu SMA sampai lulus sarjana, hampir tidak pernah ada waktu tenang bagi gadis itu. Dari semua penjuru, selalu saja ada cowok-cowok yang menamakan diri mereka sebagai Selena Lovers, yang bertingkah sedemikian rupa untuk menarik perhatian si gadis kebanggan.
"Siapa?" sahut Kafka.
Saking penasarannya, cowok itu sampai melongokkan kepala, mencondongkannya sampai hidung tingginya nyaris menyentuh milik Selena.
Yang dicecar refleks mundur, bergantian menatap dua temannya yang kini tampak seperti hantu penasaran. Bulu kuduk Selena meremang. Sensasinya mirip saat ia duduk di ruang sidang.
"Siapa cowok yang lo taksir?" tagih Kafka lagi. Wajahnya makin maju, mungkin akan terus maju sampai hidungnya betulan bersentuhan dengan milik Selena—kalau saja Ganesha tidak menarik bagian belakang kausnya.
"Iya, siapa?" todong Ganesha. Kafka memang sudah ditarik mundur, tapi sekarang gantian dia yang bergerak maju. "Gue sama Kafka kenal nggak, siapa orangnya?"
"Berengsek, nggak?" tanya Kafka, gantian menarik mundur Ganesha supaya bisa mengambil posisi paling depan.
Terus ditodong seperti itu membuat Selena akhirnya mengembuskan napas panjang. Tapi bukannya menjawab, ia malah menyambar jus jambunya lagi. Disedot isinya hingga nyaris tandas. Entah kenapa, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering tanpa alasan yang jelas.
"Sel," desak si bucin tolol—makin penasaran siapa gerangan cowok beruntung yang berhasil ditaksir gadis secantik, sepintar, dan sepopuler Selena Kiehl.
"Jawab, atau gue jungkir balikin bumi ini."
Ancaman Kafka itu nyaris membuat Selena tersedak air liurnya sendiri. Cowok itu memang sering melontarkan ancaman absurd, tetapi masalahnya, dia juga tipikal yang akan merealisasikan ucapannya dengan berbagai macam cara. Maka wajar jika kini Selena merasa was-was.
"Iya," ucap Selena akhirnya. "Gue naksir seseorang, dan kalian kenal siapa orangnya."
Kafka dan Ganesha saling tatap. Beberapa detik dihabiskan untuk berkomunikasi tanpa suara, sebelum akhirnya mereka serempak menoleh ke arah Selena.
"Abang?"
"Si Bro?"
Kafka dan Ganesha serempak menebak, merujuk pada satu orang yang sama, meskipun menggunakan panggilan berbeda.
Selena tidak menjawab secara langsung. Seolah mengiyakan, ia hanya diam, lalu kembali menyedot jus jambunya dengan santai—kali ini hingga benar-benar tandas tanpa sisa.
"Wah...." Ganesha melongo tak percaya. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa sahabatnya ini ternyata menyimpan rasa terhadap abangnya sendiri. Meskipun harus diakui, abangnya memang menarik. Andai bukan karena status sebagai adik kandung, mungkin Ganesha pun akan ikut jatuh hati pada lelaki itu.
Namun, masalahnya, ini adalah Selena—teman yang selalu menempel dengannya. Dan... bagaimana mungkin ia tidak menyadarinya?
"Serius Si Bro?" entah kenapa, suara Kafka mendadak kecil. Seolah sebagian besar energinya tersedot oleh sesuatu yang tak kasat mata, ditelan lubang hitam, dan terpenjara di sana karena tak ada jalan keluar.
Obrolan sore itu terhenti di titik itu, tanpa satu pun jawaban tambahan dari Selena, yang tiba-tiba memilih untuk menggunakan hak diamnya.
Di beranda markas, ditemani semburat oranye di hamparan langit luas, tiga manusia itu menyambut malam dengan isi kepala yang kontras.
Bersambung....
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅