Semua wanita pasti menginginkan suami yang bisa menjadi imam dalam rumah tangganya, dan sebaik-baiknya imam, adalah lelaki yang sholeh dan bertanggung jawab, namun apa jadinya? Jika lelaki yang menjadi takdir kita bukanlah imam yang kita harapkan.
Seperti Syahla adzkia, yang terpaksa menikah dengan Aditya gala askara, karena sebuah kesalahpahaman yang terjadi di Mesjid.
Akankah syahla bisa menerima gala sebagai imamnya? ataukah ia memilih berpisah, setelah tahu siapa sebenarnya gala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
syahga 6.
Malam harinya beberapa orang dirumah kang mus berkumpul, tetangga dekat dan beberapa pemuda pos ronda yang diundang pun ikut duduk dirumah sederhana itu. Syahla dan gala duduk berdampingan menghadap pada pak penghulu dan kang mus, dimana acara sakral akan segera dilaksanakan.
Gala melirik syahla sekejap yang terlihat cantik dengan make up tipis, gadis itu mengenakan gamis putih tulang dengan hijab berwarna senada, ia diam dengan menundukkan kepalanya. Tak ada senyum yang tergambar dibibirnya hanya jemarinya yang saling meremas.
Sedangkan gala, lelaki itu mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam yang sengaja sasa belikan saat belanja kepasar tadi pagi, tak lupa ia juga membelikannya kopiah.
"Bismilah ...," ucap pak penghulu memulai acara ijab kabul tersebut.
Penghulu mengatakan sambutan dan mulai mempersiapkan catatan yang dibutuhkan untuk pernikahan mereka, ada kartu kependudukan yang menjadi identitas keduanya, beberapa lembar catatan sebagai pelengkap syarat pengajuan menikah.
Karena gala bukan orang asli kampung tersebut, pak penghulu akan memprosesnya besok dan mungkin membutuhkan waktu untuk membuat buku nikah untuk pasangan tersebut, karena surat yang dari gala belum lengkap.
Kang mus dan gala saling berjabat tangan dimana janji siap dilakukan, penghulu mulai membacakan sesuatu yang akan mengikat keduanya.
"Ananda aditya gala askara bin jendral arsyad askara saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya, syahla adzkia binti mustofa dengan mas kawin uang tunai seratus ribu dibayar tunai," ucap kang mus dengan tegas.
"Saya terima nikah dan kawinnya syahla adzkia binti mustofa dengan mas kawin sekian dibayar tunai," dengan sekali tarikan nafas gala mengucapkannya.
"Bagaimana saksi?" tanya penghulu melirik kanan dan kiri dimana ada dua orang yang menjadi saksi pernikahan mereka.
"Sah"
"Sah"
"Alhamdulillah ...," penghulu mulai mengucapkan do'a sembari mengangkat kedua tangannya diikuti oleh mereka yang hadir dalam acara sakral tersebut.
Syahla menyalami tangan kanan gala dan lelaki itu dengan tanpa ragu mencium puncak kepala wanita yang sudah menjadi istrinya, entahlah semua terasa mudah, lancar dan bahkan begitu damai.
Namun, dibalik tirai alesia menyunggingkan senyum mendengar mahar yang diterima oleh saudara tirinya, jika bisa ia ingin mengejeknya sekarang dengan tawa yang kencang. Uang tunai seratus ribu sangat jauh dari kata orang kaya, itu artinya kakak iparnya itu sangat miskin dari pada suaminya yang memberikan mahar seperangkat alat sholat, emas dan juga uang tunai sebanyak belasan juta.
Alesia masuk kedalam kamar ibunya, ia lihat wanita yang melahirkannya itu masih menangis sesenggukan, sesekali ia lihat ibunya mengusap hidungnya yang sudah kemerahan.
Ia duduk disamping ibunya, menghela nafas panjang dan tersenyum senang.
"Mamah denger kan tadi, si sasa dapat maharnya seratus ribu pasti suaminya itu miskin banget, ngasih mas kawin segitu," ujar Alesia dengan nada mengejek pada syahla lalu ia tertawa puas.
Tapi ibunya tak peduli, ia terus menangis dan tetap pada posisinya membuat alesia berdecak kesal melihatnya.
"Mamah tuh kenapa sih? Nangis mulu," ujar Alesia memasang wajah sebal.
Bagaimana tidak sebal, saat ia pulang kerumah ibunya sudah menangis dan mengurung diri dikamarnya, alesia baru tahu alasannya setelah tetangga membicarakan ibunya diam-diam.
"Kamu gak lihat mamah lagi sedih," jawab bu luna sembari mengusap ingusnya dengan tisu kering.
"Kamu juga, kenapa pergi seharian ini? Kamu gak tahu mamah ketakutan dihajar kang mus tadi," keluh bu luna suaranya membentak pelan agar tak ada yang mendengar.
Ya, kejadian tadi siang saat dimana bibirnya tanpa sadar membuat suaminya marah, masa lalu akhirnya terungkap pelan. Namun bukan itu yang dia tangisi melainkan sikap suaminya yang sudah tak sama lagi, sejak keributan itu kang mus mulai mengacuhkannya dan mendiamkannya bahkan didepan orang lain sekalipun.
Makanya bu luna hanya berdiam diri dikamarnya setelah kejadian tersebut, tak hanya itu ia sangat malu mendengar para tetangga yang mulai bergosip tentang dirinya yang memfitnah ibunya syahla, khadijah.
Teman makan teman, itulah yang para tetangga ujarkan padanya bahkan didepannya sekaligus, apalagi bu luna bukanlah orang asli kampung tersebut sehingga mereka lebih memuji dan merasa iba pada hidup khadijah.
"Dijah teh udah baik sama dia, eh suaminya malah direbut. Dasar pelakor tuh ikan tuna," ujar ibu tetangga yang masak dirumanya.
"Ati-ati deh, ntar malah suami kita yang direbut. Amit-amit dah," timpal ibu lainnya bergidik ngeri.
"Betul tuh, aku kasihan ama dijah soalnya dulu ikut nge-ghibah," ucap ibu lainnya, kala mengingat perbuatannya pada khadijah.
Begitulah kata para ibu-ibu tetangga yang mencibir bu luna hingga tak ingin keluar kamar lagi, ia lebih memilih mengurung diri dari pada membantah apalagi membantu memasak atau lainnya.
Sementara diruang tamu, proses acara pernikahan syahla dan gala sudah selesai, para tamu undangan lalu mengucapkan kata selamat pada kedua mempelai. Banyak yang mendo'akan mereka termasuk para pemuda yang melakukan pos ronda.
"Kang, selamat nya! Setelah ini baru boleh nina-ninu asal tong dimesjid, itu mah tempat ibadah," ujar kang wahyu mengejek.
Gala dan syahla saling tatap lalu kembali menatap kang wahyu dengan senyum terpaksa, tentu saja ada rasa malu dan canggung baru bertemu sudah dilabrak pemuda pos ronda gimana kalo iya melakukannya, mungkin dilabrak satu Rw.
"Kang, selamat ya! Oh nya, sarungnya gak usah dibalikin buat akang saja," ujar pemuda dengan rambut kriting bernama jae itu.
"Iya kang jae, makasih," ucap Gala sembari bersalaman.
"Sejak kapan kamu bagi-bagi sarung?" sela kang wahyu.
"Hehehe, dapat warisan dari abah akung. Kan lumayan bagus-bagus dari pada meser," jawab jae menunjukan giginya, nyengir.
Gala menelan salivanya, lumayan paham dengan perkataan jae yang ternyata sarung yang diberikan padanya adalah bekas orang yang sudah meninggal.
Satu persatu mereka salami dan juga mendapatkan do'a samawa dari para tetangga, setelahnya mereka makan bersama.
Waktu berlalu begitu cepat, jam dinding diruang tamu sudah menunjukan angka 10 malam lebih, beberapa tamu mulai pulang kerumahnya dan kini hanya ada sasa yang membereskan piring-piring kotor didapur. Sedangkan di ruang tamu ada gala yang ikut membantu membereskan tikar lalu memasukkan kembali sofa dan meja ke dalam rumah bersama ilham dan kang mus.
Saat gala duduk melepas penatnya di sofa, kang mus datang mendekat lalu duduk disampingnya, segera gala duduk dengan tegak.
"Coba ceritakan siapa kamu sebenarnya? saya belum sempat bertanya tentang kamu, gala," tanya kang mus dengan wajah yang serius.
"Saya_" ucapan Gala menggantung, ia ragu untuk menjelaskan siapa dirinya.
Dia bingung menceritakan bagaimana dan kenapa ia bisa sampai di kampung tersebut? Akankah mereka percaya dengan apa yang dia jelaskan? Ataukah ia akan diusir.
Antara rasa takut, gugup dan bingung bercampur aduk didalam kepalanya. Jika mereka tahu, akankah dia diterima dengan tangan terbuka ataukah sebaliknya?
"Dia kena begal, yah. Pinggangnya terluka kena benda tajam hingga harus dijahit," suara Syahla terdengar menjelaskan, dia melangkah mendekati mereka kemudian duduk disamping gala.
Mata kang mus membola, ia terkejut, pria asing yang berasal dari jakarta itu ternyata di begal bahkan terluka pun ia tak tahu karena gala terlihat baik-baik saja.
Gala pun semakin bingung dengan ucapan syahla, ia ingin membantah tapi takut terbongkar tentang identitasnya hingga nantinya bisa tambah runyam.
"Benar begitu?" tanya kang mus menoleh pada gala kembali.
"Iya," jawab Gala berbohong tapi kepalanya mengangguk dan ia belum siap mengatakannya dengan jujur.
Gala merasa harus merahasiakannya, karena ia merasa ragu dan ia harus waspada, apa lagi saat melihat kang mus yang mirip preman pasar. Tidak, lebih tepatnya kang mus memang mantan preman pasar yang berasal dari jakarta dan ia berubah karena wanita bernama khadijah, gala mendengar itu dari para tetangga yang tengah memasak sambil menghibah.
"Semua barang diambil, mas gala hanya disisakan KTP dan hanya punya uang seratus ribu yang tadi dia jadikan mahar buat sasa," papar Syahla kembali bercerita.
Sedangkan kang mus hanya menyimak, ia diam lalu kembali ke pertanyaan berikutnya.
"Memangnya kamu dari mana? Mau kemana?" tanya kang mus lagi.
Gala merasakan tenggorokannya kering, ia merasa tengah di interogasi oleh mertuanya tersebut, namun lagi syahla yang menjawabnya.
"Bertemu temannya," ujar anak sulung kang mus.
"Ayah bertanya sama gala, kenapa kamu yang jawab?" protes kang mus melirik syahla tajam.
"Sejak kapan ayah peduli? Mau seperti apa suami sasa apa ada untungnya buat ayah?" tanya Syahla dengan nada yang menyindir.
Mata syahla menyalakan api yang terpendam selama ini, kebencian itu ia luapkan kini didepan ayahnya. Sakit, nyeri dan sesak itu tergambar jelas dimatanya seakan membuatnya menjadi orang yang berbeda.
Tak ada kelembutan lagi bagi sasa, ia sudah muak dengan ayahnya setelah mendengar sendiri apa yang terjadi dengan hubungan orang tuanya di masa lalu.
"Tidak yah, Syahla ikhlas jika punya suami preman ataupun bos mafia sekalipun, asal dia baik sama sasa. Mau melindungi dan menjaga sasa itu sudah cukup, dari pada seorang ayah yang menyia-nyiakan putrinya," ucap Syahla yang membalas tatapan tajam ayahnya.
Gala melirik wanita yang sudah menjadi istrinya, bibirnya mengulas senyum samar, ada kelegaan dihatinya mendengar tuturan kalimat yang sasa ucapkan.
Tapi berbeda dengan kang mus, pria paruh baya itu merasakan firasat aneh, gala berasal dari jakarta dan hal itu membuatnya terpikirkan akan nasib putri sulungnya.
Bisakah ia percaya pada gala? Sedangkan ia tahu seperti apa manusia-manusia yang tinggal di kota metropolitan itu.
Kang mus menyandarkan punggungnya pada kursi sofa lalu memijat keningnya yang terasa berdenyut, ia menyesal, merasa bersalah, tapi sayangnya semua terasa terlambat. Syahla tak lagi bersikap baik padanya, putrinya dari khadijah sudah benar-benar membencinya.
"Ayo mas! Kita masuk ke kamar," ajak Syahla menarik tangan suaminya.
Gala hanya menurut patuh saja, ia paham dan setuju dengan apa yang syahla katakan pada ayahnya, melawan dengan tegas dan acuh tak acuh memang pantas mereka dapatkan.
Sementara dari sudut lain, ilham hanya terpaku mendengar ucapan syahla, ia melihat mantan pacarnya yang sudah berubah tak lagi seperti dulu. Lemah lembut, tutur kata yang sopan dan hal yang paling ia suka adalah kesholehah-annya.
Setelah di kamar, pasangan pengatin baru tersebut hanya duduk ditepi ranjang. Gugup dan canggung mereka rasakan diruangan sempit yang berukuran 2 meter × 2,5 meter itu.
"Terima kasih, suda menikahi syahla. Soal tadi_" ucapan syahla tergantung begitu saja.
"Gue yang harusnya berterima kasih, kamu mau menerima keadaan gue. sorry juga karena ngasih mahar seratus ribu," sahut gala dengan tersenyum lega, dan sasa hanya menjawabnya dengan mengangguk sembari tersenyum sebentar.
Mereka kembali diam, tak tahu apa yang harus dibicarakan tapi jauh dari lubuk hati yang dalam keduanya merasakan ketegangan.
Tegang atas bawah yang membuat gala panas dingin, lagi dan lagi dia harus berduaan dengan gadis asing yang sudah menjadi istrinya sejak beberapa jam lalu.
Memang sudah halal tapi mereka belum lama untuk saling mengenal, mereka tak bisa melakukan hal intim karena mereka tak saling kenal. Seperti halnya kata pepatah "Tak kenal maka tak sayang, tak sayang makanya tak cinta" lalu bagaimana mereka mau intim jika kenal saja enggak.
Syahla meremat jemarinya dengan kepala tertunduk, ia mulai memikirkan kejadian di ruang tamu, baru kali ini ia bersikap kurang sopan pada ayahnya, tapi mau bagaimana lagi hatinya sedang dikelilingi amarah tadi.
Lalu gala mengalihkan perhatiannya melirik tiap sudut kamar tersebut, tak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Mas, kita sholat dulu yuk! Kamu jadi imamnya," ajak Syahla setelah cukup lama mereka diam.
Gala tertohok, sholat. Kapan terakhir kali ia melakukannya?
rambut panjang trus laki.