NovelToon NovelToon
DEWA PERANG NAGA TERLARANG: Menantu Sampah Yang Mengguncang Langit

DEWA PERANG NAGA TERLARANG: Menantu Sampah Yang Mengguncang Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Robot AI / Anak Yang Berpenyakit / Kultivasi Modern
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Zen Feng

Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15: KEPULANGAN SANG HANTU & TEROR MALAM PERTAMA

Enam hari perjalanan tanpa henti.

Baskara berlari membelah hutan, mendaki gunung, dan menyeberangi sungai deras nyaris tanpa istirahat. Tubuhnya yang kini berada di tingkat Ranah Pengumpulan Prana Bintang 8 memberikannya stamina yang seolah tak terbatas.

Namun, ada satu hal yang mulai menggerogoti konsentrasinya.

Lapar.

Bukan lapar biasa akan energi spiritual, melainkan lapar fisik yang manusiawi. Selama di Jurang Larangan, ia bertahan hidup dengan menyerap esensi kehidupan monster. Prana murni yang langsung mengisi sel-sel tubuhnya, membuatnya lupa rasa makanan.

Tapi sekarang, di dunia manusia, perutnya menuntut upeti.

Sayangnya, tengah malam seperti ini, tidak ada kedai yang buka.

Di kejauhan, Kota Batu Karang mulai terlihat.

Kota kecil itu tampak seperti kumpulan kunang-kunang di lembah gelap. Tembok batu rendah mengelilinginya—pertahanan yang lebih bersifat simbolis daripada fungsional.

Tepat di jantung kota, atap-atap berukir dan menara Kediaman Keluarga Cakrawala menjulang angkuh, seolah memandang rendah bangunan lain di sekitarnya.

Baskara berhenti di puncak bukit terakhir. Jubah hitamnya berkibar ditiup angin malam. Tatapannya sulit diartikan.

Tiga tahun ia hidup di sana sebagai "Menantu Sampah".

Tiga tahun dihina, dipukuli, dan diludahi.

Tiga tahun menelan harga diri demi bertahan hidup.

Dan malam ini, ia kembali.

Bukan sebagai korban yang memohon belas kasihan.

Melainkan sebagai algojo yang membawa vonis mati.

Senyum dingin terukir di bibirnya yang kering.

"Aku pulang," bisiknya. Suaranya mengandung getaran antisipasi yang berbahaya.

Di sebuah gang sempit, belakang pasar. Sosok tua berjalan cepat sedikit tertatih.

Ki Gareng berjalan terburu-buru, mendekap keranjang berisi sayuran sisa pasar malam. Wajah tuanya yang penuh kerutan tampak semakin layu, namun matanya tetap waspada.

Ia adalah pelayan paling senior di Keluarga Cakrawala. Empat puluh tahun pengabdian, melihat tiga generasi tumbuh dan berkuasa. Dan di antara ratusan penghuni kediaman itu, dialah satu dari sedikit orang yang memperlakukan Baskara selayaknya manusia.

Memberi roti sisa diam-diam. Mengompres memar di punggung Baskara. Membisikkan kata-kata penyemangat saat pemuda itu nyaris bunuh diri.

Ki Gareng menghela napas berat.

Tiga belas hari sudah sejak Tuan Muda Baskara menghilang. Kabar resmi mengatakan dia mati—jatuh ke jurang saat melarikan diri. Upacara pemakaman palsu bahkan sudah digelar tiga hari lalu. Peti kosong dikubur sebagai formalitas belaka.

Dan Nona Larasati...

Hati tua Ki Gareng terasa diremas mengingat kondisi nona mudanya.

Gadis itu dikurung. Mogok makan. Menangis hingga air matanya kering. Tatapannya kosong, selalu mengarah ke jendela, seolah menunggu hantu suaminya mengetuk kaca.

"Kasihan sekali," gumam Ki Gareng serak. "Orang sebaik itu... kenapa nasibnya sekejam ini..."

Ia berbelok di persimpangan gang sempit menuju pintu belakang kediaman.

Tiba-tiba, sebuah bayangan memotong langkahnya.

Ki Gareng tersentak, hampir menjatuhkan keranjangnya.

Sesosok tubuh tinggi tegap berjubah hitam melangkah keluar dari kegelapan. Tudung kepalanya menutupi wajah, namun aura yang dipancarkannya membuat bulu kuduk Ki Gareng meremang.

"Si-siapa—"

Sosok itu menurunkan tudungnya perlahan.

Cahaya bulan menyoroti wajah di baliknya.

Ki Gareng membeku. Keranjang di tangannya terjatuh. Sayuran menggelinding ke tanah.

Wajah itu ia kenal. Wajah yang ia pikir sudah membusuk di dasar jurang.

Namun ada yang berbeda. Garis rahangnya lebih tegas. Tatapannya tajam menusuk. Dan ada hawa keberadaan yang... mendominasi.

"Tu-Tuan Muda?" suaranya tercekat. "TUAN?! ANDA MASIH—"

WUSH!

Baskara bergerak secepat kilat, menutup mulut Ki Gareng dengan telapak tangannya sebelum teriakan itu pecah.

"Ssttt..." bisiknya lembut namun tegas. "Jangan keras-keras, Ki. Jangan sampai ada yang tahu."

Mata tua Ki Gareng banjir air mata. Ia meraba lengan Baskara, memastikan ini bukan mimpi. Hangat. Nyata.

Baskara melepaskan tangannya perlahan.

"Tu-Tuan..." Ki Gareng berbisik gemetar. "Bagaimana... bagaimana Tuan bisa selamat dari Jurang Larangan? Semua orang bilang Tuan sudah—"

"Mati?" Baskara tersenyum tipis. Senyum yang tidak mencapai matanya. "Ya. Biarkan mereka tetap berpikir begitu."

Ia menarik Ki Gareng lebih dalam ke bayangan gang.

"Ki Gareng, dengarkan aku. Aku butuh informasi. Ceritakan semua yang terjadi selama aku pergi. Jangan lewatkan satu detail pun."

Ki Gareng mengangguk cepat, menyeka ingus dan air matanya dengan lengan baju lusuhnya.

"Tuan... Keluarga mengumumkan Tuan mati diserang bandit saat kabur. Nona Larasati... dia tidak percaya. Dia dikurung di kamarnya oleh Nyonya Ratih karena terus memberontak."

Rahang Baskara mengeras. Prana di sekitarnya bergejolak, membuat suhu di gang sempit itu turun drastis.

"Teruskan."

"Tuan Muda Wibawa..." Ki Gareng ragu, takut melihat kilatan merah di mata Baskara. "Dia... dia merayakan kematian Tuan. Pesta minum-minum setiap malam. Dia membual pada semua orang bahwa akhirnya 'sampah' itu sudah disingkirkan."

"Dan..." lanjut Ki Gareng, suaranya makin lirih, "Tuan Muda Adipati Lesmana dari Kota Waja Kencana akan datang tujuh minggu lagi. Untuk melamar Nona Larasati secara resmi."

"Tujuh minggu," gumam Baskara. "Cukup."

Ia menatap lurus ke mata pelayan tua itu.

"Ki Gareng, aku percaya padamu. Tutup mulutmu rapat-rapat. Bahkan pada Larasati. Belum waktunya dia tahu."

"Tapi Tuan, Nona sangat menderita—"

"Aku tahu!" potong Baskara, suaranya mengandung nyeri. "Dan aku akan membuat mereka membayar setiap tetes air matanya. Tapi aku butuh waktu untuk mempersiapkan panggungnya. Aku butuh mereka lengah."

Ki Gareng menatap pemuda di hadapannya. Rasa takut bercampur kagum menjalar di hatinya. Pemuda ini bukan lagi menantu yang pasrah dipukuli. Dia telah berubah menjadi sesuatu yang... menakutkan.

"Saya mengerti, Tuan," bisik Ki Gareng sambil membungkuk dalam. "Apa perintah Tuan?"

"Makanan," jawab Baskara singkat. "Dan informasi. Terus pantau pergerakan mereka. Kita bertemu di sini setiap tengah malam."

"Siap, Tuan. Tunggu sebentar, saya ambilkan sisa makan malam dari dapur."

“Ah, Ki Gareng...” Baskara mengeluarkan kantong penuh uangnya, memberikan semua emasnya dan menyimpan semua Batu Rohnya. “Ini untukmu.”

“Apa ini, Tuan?!”

“Sedikit dariku, aku tahu ini tak cukup membalas kebaikanmu padaku.”

“Ini terlalu banyak, Tuan.” Ki Gareng gemertar memegang sekantong penuh emas itu.

“Tidak, tidak. Tanpamu aku sudah lama mati, terimalah Ki.”

Mata Ki Gareng berkaca-kaca.

Ia berulangkali membungkuk sebelum berlari kecil pergi, langkahnya terasa lebih ringan. Harapan telah kembali.

Baskara berdiri sendirian dalam gelap, menatap atap kediaman yang menjulang.

"Tujuh minggu," desisnya. "Cukup waktu untuk mengubah hidup kalian menjadi neraka."

SATU JAM KEMUDIAN

(Area Kediaman Keluarga Cakrawala)

Baskara bergerak bagaikan hantu.

Dengan kultivasi Bintang 8, melompati tembok setinggi lima meter hanyalah permainan anak kecil. Ia menyusup melewati penjaga patroli tanpa menimbulkan suara sedikit pun—bahkan angin tidak menyadari kehadirannya.

Ia mendarat di atap genteng yang menghadap ke taman dalam.

Di bawah sana, ia melihat jendela kamar Larasati. Jendela yang dulu sering ia tatap dari kejauhan.

Lilin masih menyala di dalam.

Baskara menahan napas, menajamkan pendengarannya.

Suara isak tangis tertahan terdengar sayup-sayup.

"Baskara..." suara itu begitu rapuh, begitu hancur. "Kenapa kau pergi... kumohon, bilang ini cuma mimpi... kembalilah..."

Jantung Baskara serasa diremas tangan tak kasat mata. Kakinya bergerak inci demi inci mendekati tepi atap. Tangannya terangkat, ingin mengetuk, ingin melompat masuk dan memeluk wanita itu.

Namun, ia berhenti.

Tangannya mengepal hingga kuku menancap ke daging.

"Belum," bisiknya pada diri sendiri. "Belum waktunya."

Jika ia muncul sekarang, Keluarga Cakrawala akan waspada. Adipati Lesmana akan mengirim pembunuh bayaran tingkat tinggi. Ia belum cukup kuat untuk melawan satu dunia.

"Tunggu sebentar lagi, Sayang. Bertahanlah."

Dengan tekad baja, Baskara membalikkan badan. Meninggalkan suara tangis yang menyayat hati itu di belakangnya.

Ia melesat menuju Sayap Timur—area gudang dan kamar pelayan yang jarang dijamah.

Ia menyelinap masuk ke kamar lamanya. Kamar sempit, berdebu, dan lembap. Tempat ia disiksa selama tiga tahun.

Kini, tempat ini akan menjadi markas operasinya.

Baskara duduk bersila di lantai berdebu.

[Rencana selanjutnya, Tuan?]

Baskara membuka matanya. Ada kilatan merah darah di sana.

"Berburu," jawabnya dingin. "Kita mulai teror malam ini."

TIGA MALAM BERLALU

Baskara hidup seperti siluman di rumahnya sendiri.

Siang hari, ia bermeditasi di ruang tersembunyi, menekan auranya hingga nol sambil menyerap Batu Rohnya.

Malam hari, ia keluar. Mengintai. Menguping. Belajar.

Setiap malam, Ki Gareng membawakan makanan dan intelijen.

Malam Pertama:

"Wibawa menghabiskan uang di rumah bordil. Membual tentang bagaimana dia 'membuang sampah'."

Malam Kedua:

"Patriark dan Tetua Satriya membahas mahar pernikahan. Mereka menyebut Larasati sebagai 'aset yang menguntungkan'."

Malam Ketiga:

Ki Gareng datang dengan wajah pucat.

"Tuan... Wibawa menyewa penjaga khusus untuk mengawasi kamar Nona Larasati. Namanya Karto. Anak buah Aditya. Wibawa memerintahkan: 'Jika Larasati mencoba bunuh diri atau kabur, patahkan kakinya'."

Mata Baskara menyipit.

"Karto," gumamnya. "Pengumpul Prana Bintang 5. Mantan bandit."

"Benar, Tuan. Dia patroli di koridor timur dari tengah malam sampai subuh."

Baskara berdiri. Jubah hitamnya berkibar pelan.

"Bagus," senyumnya melebar mengerikan. "Aku sudah punya target pertama."

TENGAH MALAM - KORIDOR TIMUR

Karto berjalan santai sambil bersiul pelan. Pedang terselip di pinggangnya.

Kerjaan mudah. Bayaran besar. Mengawasi janda cengeng yang tidak bisa kultivasi? Ini liburan baginya.

Tiba-tiba, siulannya terhenti.

Udara di koridor itu mendadak dingin. Lilin-lilin di dinding berkedip-kedip aneh, seolah kekurangan oksigen.

Dan ada... bau.

Bau amis darah yang sangat tipis.

Insting bandit Karto menyala. Ia berhenti, tangannya menyentuh gagang pedang.

"Siapa di sana?!" bentaknya.

Hening.

Hanya suara angin malam yang mendesau lewat celah jendela.

"Cih. Cuma tikus," gumamnya, mencoba menenangkan diri.

Ia berbalik untuk melanjutkan langkahnya—

Dan menemukan sesosok tubuh berjubah hitam berdiri tepat tiga langkah di depannya.

Karto terlonjak kaget. Jantungnya nyaris copot.

"SIAPA KAU?!" Ia mencabut pedangnya dengan panik.

Sosok itu diam tak bergerak. Wajahnya tertutup tudung gelap. Namun, aura yang memancar darinya...

Itu adalah Niat Membunuh (Killing Intent) yang begitu pekat hingga terasa lengket di kulit. Aura predator yang telah mandi darah.

"Ka-kau..." Lutut Karto gemetar.

Sosok itu mengangkat wajahnya sedikit. Sepasang mata merah menyala di kegelapan tudung.

"Aku?" Suara itu berat dan serak, seperti gesekan dua batu nisan. "Aku adalah hantu masa lalu."

WUSH!

Baskara bergerak.

Karto bahkan tidak melihatnya datang. Ia hanya merasakan angin kencang menerpa wajahnya.

Detik berikutnya, ia sudah terangkat ke udara.

Tangan Baskara mencengkeram lehernya dengan kekuatan besi. Kaki Karto menendang-nendang udara, pedangnya jatuh berdenting ke lantai.

"Kau yang ditugaskan mematahkan kaki istriku?" tanya Baskara santai.

Mata Karto melotot, mengenali wajah di balik tudung itu.

"Bas... ka... ra...?"

"Bingo."

Cengkeraman tangan Baskara mengerat.

"Kesalahanmu adalah menerima pekerjaan ini."

KRAK!

Baskara meremas leher Karto hingga remuk. Bunyi tulang patah menggema di koridor sunyi.

Karto mati seketika. Matanya melotot kaku.

Baskara melepaskan mayat itu.

"Serap."

Tangan kanannya menyentuh dada mayat. Prana Karto tersedot habis dalam hitungan detik. Tubuh kekar itu mengkerut, layu, dan berubah menjadi mumi kering.

[Menyerap Kultivator Bintang 5. Prana dipulihkan.]

[Fragmen Memori Diperoleh: Teknik Pedang Bayangan.]

Baskara menatap mayat kering itu tanpa emosi.

"Satu," hitungnya.

Ia menjinjing mayat ringan itu dengan satu tangan, membawanya keluar jendela, dan melesat menuju hutan belakang. Melemparnya ke semak-semak sebagai makanan hewan liar.

"Sistem, berapa target lagi?"

[Target Utama: 4 orang (Patriark, Nyonya Ratih, Wibawa, Tetua Satriya). Target Pendukung: 16 orang (Pelayan korup, penjaga bayaran, pengawal).]

"Dua puluh nyawa," Baskara menatap bulan purnama. "Tidak terlalu banyak."

Ia kembali ke atap kediaman, duduk bersila mengawasi kamar Wibawa di kejauhan.

"Aku akan mulai dari pion-pion kecil. Satu per satu. Membuat mereka bertanya-tanya. Membuat mereka takut pada bayangan sendiri."

"Dan saat mental mereka hancur..." Baskara menyeringai. "Barulah aku muncul untuk memenggal kepala Rajanya."

PAGI BERIKUTNYA - AULA MAKAN

Wibawa sedang menikmati sarapan mewahnya—daging panggang dan anggur pagi.

Hidupnya sempurna. Saingannya mati. Sepupunya akan menikah dengan bangsawan kaya. Kekayaan keluarga akan meningkat drastis.

Tiba-tiba, seorang pelayan berlari masuk, wajahnya pucat pasi seperti mayat.

"Tuan Muda! Tuan Muda Wibawa!" pelayan itu tersandung karpet, jatuh berlutut.

"Apa?!" bentak Wibawa kesal. "Pagi-pagi sudah ribut! Mau mati?!"

"Ka-Karto... Karto menghilang!"

Wibawa mengerutkan kening. "Menghilang? Mungkin dia mabuk di selokan."

"Ti-tidak, Tuan... Kami menemukan jejak di koridor timur..."

"Jejak apa?"

Pelayan itu menelan ludah susah payah.

"Darah, Tuan. Ada jejak darah... tapi tidak ada mayat. Hanya pedangnya yang tertinggal di lantai... patah jadi dua."

CLANG!

Garpu di tangan Wibawa jatuh ke piring.

Hening.

Untuk pertama kalinya dalam tiga belas hari kemenangan ini, Wibawa merasakan sesuatu merayapi punggungnya.

Rasa dingin yang familiar. Rasa takut.

Di suatu tempat di dalam rumah besar ini... ada sesuatu yang mengawasi mereka.

[BERSAMBUNG KE BAB 16]

1
Meliana Azalia
Hahahaha 🤣
Ronny
Alamak ngerinyoo, lanjut thor🔥
Heavenly Demon
anjayy manteb manteb keren ni Baskara
Zen Feng
Feel free untuk kritik dan saran dari kalian gais 🙏
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
Ren
mantab saya suke saya suke /Drool/
Ren
kedelai tidak jatuh di lubang yang sama dua kali👍
Ren
nasib orang lemah dimana mana selalu diremehin 😭
apang
toorrrrr si wibawa harus dimatiin ya
Ronny
Nekat si mc nekat banget
Heavenly Demon
suka banget pembalasan dendamnya, mntabss
Heavenly Demon
pembalasan dendam yang satisfying
Heavenly Demon
mantab dari cupu jadi suhu
Abdul Aziz
anjay seru banget figtnya ga cuma ngandelin otot tapi otak juga, brutal parah 😭 jangan sampe berhenti di tengah jalan thor, harus sampe tamat ya!!!
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe
Abdul Aziz
gila gila bener bener brutal! mantab👍
Abdul Aziz
hoho balas dendam pertama
Abdul Aziz
lanjut lanjut thor gila fightnya brutal banget keren👍👍👍
Abdul Aziz
anjai modyar kan lo hampir aja
Abdul Aziz
kena batunya lo bas, keras kepala si lo
Abdul Aziz
huahahaa🤣 otaknya uda sengklek
Abdul Aziz
blak blakan banget ini mesin 🤣🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!