Menikah dengan orang yang aku cintai, hidup bahagia bersama, sampai akhirnya kami dikaruniai seorang putra tampan. Nyatanya setelah itu justru badai perceraian yang tiba-tiba datang menghantam. Bagaikan sambaran petir di siang hari.
Kehidupanku seketika berubah 180 derajat. Tapi aku harus tetap kuat demi putra kecilku dan juga ibu serta adikku.
Akankah cinta itu kembali datang? Sementara hatiku rasanya sudah mati rasa dan tidak percaya lagi pada yang namanya cinta. Benarkah cinta sejati itu masih ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iin Nuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Om Ganteng ( 1 )
Awan POV.
Siang ini seperti biasa guru-guru di TK seberang jalan memesan makanan dan minuman untuk makan siang mereka. Dan karena kebetulan pegawaiku ada yang cuti dua orang, jadi aku sendiri yang mengantarkan pesanan guru-guru tersebut. Ya, itung-itung membantu kerepotan para pegawaiku yang lainnya juga. Soalnya kalau jam makan siang seperti ini kafe memang lumayan ramai.
Dalam perjalananku balik ke kafe, setelah mengantar pesanan para guru TK, tiba-tiba saja pandanganku jatuh pada seorang anak kecil yang sedang duduk sendirian di ayunan. Seorang anak laki-laki dengan seragam TK ini. Dan yang membuatku penasaran adalah wajah murung anak kecil itu yang sepertinya sedang melamun.
Karena tertarik akhirnya aku pun melangkah mendekati anak kecil tersebut. Dan setelah aku cukup dekat dengannya, aku begitu terkejut ketika mendengar perkataan anak kecil itu.
"Yaa Allah, Keinan juga pengen punya ayah kayak temen-temen Keinan yang lain. Keinan juga pengen ngerasain disayang sama ayah, dianterin ke sekolah sama ayah, dijemput, diajak main, diajak jalan-jalan, diajak jajan. Kapan Yaa Allah, Keinan bisa punya ayah baru? Tolong kasih Keinan ayah yang baru ya, Yaa Allah," ucap lugu anak kecil itu seraya mengangkat wajahnya menghadap ke langit.
Deg.
Entah kenapa hatiku seakan bisa ikut merasakan kesedihan yang sedang dirasakan oleh anak kecil itu. Anak kecil itu tidak punya ayah-kah? Atau apa mungkin ayahnya sudah meninggal? Kenapa dia sampai berdo'a meminta seorang ayah baru seperti itu?
Aku kemudian mendekati anak kecil itu dan mendudukkan diriku di ayunan di sebelahnya.
"Hai. Lagi nunggu jemputan ya?" tanyaku mencoba bersikap ramah.
Anak kecil itu mengangkat wajahnya dan melihat ke arahku. Tetapi kemudian dia mengalihkan pandangannya lagi.
"Iya, Om," jawab anak kecil itu singkat.
Hatiku langsung berdesir mendengar suara kecilnya yang lugu itu. Aku jadi semakin tertarik dengan anak kecil itu. Aku lalu mengulurkan tangan kananku kepadanya seraya tersenyum.
"Kenalin, nama Om Awan. Kamu boleh panggil Om dengan panggilan Om Awan," kataku, memperkenalkan diri.
"Maaf. Bunda bilang aku nggak boleh kenalan sama sembarangan orang," balas anak kecil itu datar.
Aku tersenyum mendengar perkataan anak kecil itu. Anak yang cerdas dan tegas. Tapi juga sangat tenang dan berani.
"Bunda kamu emang bener sih. Tapi Om ini bukan orang jahat kok. Om kesini cuma mau nemenin kamu aja. Soalnya dari tadi Om perhatiin kamu sendirian, jadi Om pengen nemenin kamu," kataku menjelaskan, agar anak kecil itu tidak mengira kalau aku ini punya niat jahat kepadanya.
Dapat kulihat anak kecil itu masih diam, tapi sepertinya dia juga sedang berpikir. Mungkin sedang mempertimbangkan perkataanku tadi. Hmm, mungkin aku harus lebih meyakinkannya lagi.
"Kamu lihat nggak kafe di sebelah sana?" tanyaku seraya menunjuk kafe milikku di seberang jalan.
"Om Awan kerja disana. Tadi kebetulan Om habis nganterin pesanan dari guru-guru kamu buat makan siang, makanya Om ada disini," lanjutku menambahkan.
Kulihat anak kecil itu mengikuti arah jari telunjukku dan melihat kafe milikku yang terletak di seberang jalan. Anak kecil itu kemudian kembali melihat ke arahku. Kembali aku menyunggingkan senyum manis, berusaha meyakinkan anak kecil itu.
"Jadi, Om boleh kenalan sama kamu nggak?" tanyaku seraya mengulurkan tangan kananku lagi.
Sedikit ragu-ragu, tapi akhirnya anak kecil itu menerima juga uluran tanganku.
"Nama aku Keinan, Om," jawab anak kecil yang ternyata bernama Keinan itu.
Desiran di hatiku kembali kurasakan ketika aku menjabat tangan kecilnya itu. Entah kenapa, tapi ada suatu perasaan yang tidak bisa aku jelaskan saat ini.
"Oh, Keinan ya? Nama Om Awan. Keinan boleh panggil Om Awan aja, ya," balasku kembali mengulang namaku.
"Iya, Om."
"Keinan lagi nunggu jemputan ya?"
"Iya, Om."
Simpel sekali. Tapi aku justru semakin tertarik untuk mengajak Keinan ngobrol lebih banyak lagi dan kembali mendengarkan suara kecilnya yang lugu itu.
"Keinan dijemput sama siapa? Bunda ya?"
"Bukan. Om-nya Keinan."
"Oh, om-nya Keinan," balasku dengan manggut-manggut. "Emang sekarang om-nya Keinan lagi dimana? Kok telat jemput Keinan-nya?"
"Om-nya Keinan lagi sekolah disana," kata Keinan seraya menunjuk gedung kampus tidak jauh dari sana.
Aku mengernyit. Sekolah? Ah, mungkin maksudnya Keinan itu kuliah. Jadi om-nya Keinan kuliah di kampus X ya? Kebetulan dulu aku juga kuliah disana sih. Siapa tau aku juga kenal dengan om-nya Keinan itu.
Tiba-tiba saja,
"Keinan!" panggil seseorang.
Aku dan Keinan kompak mengarahkan pandangan kami ke arah orang yang memanggil Keinan tadi. Nampak seorang pemuda setengah berlari menghampiri kami berdua. Tapi,,, tunggu dulu,,, bukankah itu...
"Hamzah?" panggilku seakan tidak percaya setelah pemuda itu sampai di depanku dan juga Keinan.
Hamzah ini adik tingkatku dulu ketika di kampus. Kami lumayan dekat karena dulu sama-sama bergabung di BEM ( Badan Eksekutif Mahasiswa ). Dan kami juga sering ketemu pas sholat. Bahkan kami juga sering mengurusi kajian mahasiswa bersama di masjid kampus.
"Loh, Kak Awan?" tanya Hamzah juga yang juga nampak terkejut.
Aku menganggukkan kepalaku. Kami tersenyum bersama kemudian saling berjabat tangan.
"Apa kabar, Ham?" tanyaku.
"Alhamdulillaah baik, Kak. Kak Awan sendiri gimana kabarnya?"
"Syukurlah kalau gitu. Kakak juga alhamdulillah baik kok."
"Syukur alhamdulillah."
"Jadi Keinan ini keponakan kamu, Ham?"
"Iya, Kak. Keinan keponakanku. Loh, kok Kak Awan bisa sama Keinan?" tanya Hamzah bingung setelah menyadari situasinya.
"Tadi habis nganterin pesanan guru-guru disini terus nggak sengaja lihat Keinan duduk sendirian. Ya udah deh, kakak deketin terus ngajak kenalan. Niatnya mau kakak temenin gitu sambil nunggu jemputannya datang. Eh nggak taunya itu kamu, Ham, yang lagi dia tunggu," jawabku menjelaskan.
"Wah, bisa kebetulan gitu ya?" tanya Hamzah.
"Iya nih, takdir kayaknya," jawabku asal.
Aku dan Hamzah kemudian tertawa bersama-sama.
"Tuh kan sampai lupa kalau ada Keinan juga," kataku seraya mengusap kepala Keinan yang hanya diam saja memperhatikan perbincanganku dengan Hamzah.
"Eh, iya. Duh, maaf ya. Assalamu'alaikum, Keinan," ucap Hamzah.
Hamzah kemudian berjongkok di depan Keinan. Keinan langsung mengangkat tangannya dan mencium punggung tangan kanan Hamzah.
"Wa'alaikumsalam, Om."
"Maaf ya Om kelamaan. Tadi Om bantuin dosen Om dulu buat ngumpulin tugas kuliah temen-temen Om," kata Hamzah menjelaskan.
"Nggak pa-pa kok, Om."
"Ya udah, kita pulang sekarang yuk!" ajak Hamzah seraya berdiri kembali.
Keinan menganggukkan kepalanya.
"Pamit dulu sama Om Awan. Om Awan ini temennya Om Hamzah."
Keinan kemudian mengulurkan tangannya dan aku pun langsung menyambutnya. Tidak kusangka sebelumnya, Keinan ternyata juga mencium punggung tanganku. Dan lagi-lagi, hatiku berdesir hebat. Astaga, perasaan apa ini?
"Keinan pulang dulu ya, Om Ganteng," pamit Keinan.
"Eh," aku dan Hamzah sama-sama terkejut mendengar panggilan dari Keinan tersebut.
"Namanya Om Awan loh Kei, kok jadi Om Ganteng?" tanya Hamzah.
"Udah nggak pa-pa, biarin aja, Ham. Senyamannya Keinan aja mau manggil apa. Lagipula kan kakak emang ganteng juga," balasku dengan sedikit berkelakar.
Aku dan Hamzah tertawa lagi.
"Iya deh, Kak, percaya kok. Masih ingat Hamzah gimana dulu Kak Awan sering dapet banyak surat cinta rahasia dari para penggemar Kak Awan, hahahaha," kata Hamzah menggodaku.
"Hush, ngawur kamu. Ada Keinan ini," tegurku, pura-pura marah.
"Eh, maaf deh, maaf. Ya udah kalau gitu, aku sama Keinan balik dulu ya, Kak," pamit Hamzah juga.
"Oke. Hati-hati di jalan. Nanti kontak-kontak kakak ya, Ham. Nomor kakak masih yang dulu itu kok."
"Oke Kak, siip," balas Hamzah dengan mengacungkan jempol kanannya. "Ayo Keinan, salam dulu."
"Assalamu'alaikum, Om Ganteng," salam Keinan.
"Wa'alaikumsalam, Keinan sayang," balasku seraya mengusap kepala Keinan.
"Kita balik ya, Kak. Assalamu'alaikum," pamit Hamzah lagi.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Ham."
"Pasti Kak."
Hamzah kemudian menggandeng tangan Keinan dan mengajaknya untuk pulang.
Aku tersenyum kecil. Keinan. Ah, kenapa anak kecil itu begitu menarik perhatianku.