Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Suasana rumah keluarga Leon berubah. Bukan lagi sehangat dulu. Setiap kali Shanum datang berkunjung bersama si kembar dan Sagara, Mami Kartika selalu menyambut dengan senyum yang dipaksakan. Senyum yang tampak lembut di permukaan, tetapi dingin di balik sorot matanya.
“Shanum, taruh saja anak-anak di ruang bermain,” kata Mami Kartika suatu pagi, tanpa menatap wajah Shanum sedikit pun. Nada suaranya sopan, namun tidak lagi memiliki kehangatan seorang ibu mertua.
Shanum menunduk, menuruti tanpa membantah. Ia tahu, sejak Sagara mengumumkan pernikahan siri mereka, Mami Kartika masih sulit menerima.
Sagara memperhatikan perubahan itu. Ia tahu Shanum terluka. Setiap kali istrinya menunduk terlalu lama, ia bisa membaca air mata yang ditahan di balik senyum lembut itu. Entah kenapa, setiap luka Shanum, justru menambah dalam kasih sayang dan cinta kepadanya.
Hari itu, selepas makan malam, Sagara memanggil Shanum ke ruang tamu.
“Duduklah di sini,” katanya lembut, menarik tangan Shanum untuk duduk di sampingnya.
Shanum menunduk, masih gugup setiap kali diperlakukan lembut oleh suaminya di depan orang lain.
“Mas tahu kamu tertekan,” ucap Sagara dengan nada dalam. “Mami memang belum bisa menerima semuanya. Tapi, jangan biarkan sikapnya mengubah caramu tersenyum.”
Shanum terdiam. Suara detak jam dinding terdengar jelas di antara hening yang menekan dada.
“Mas, aku tidak ingin membuat hubungan Mas dengan Mami dan Papi renggang,” bisik Shanum. “Aku hanya ingin menjadi istri yang baik dan ibu yang layak untuk Arsyla dan Abyasa.”
Sagara menatapnya lama, lalu menyentuh pipi istrinya dengan lembut. Tatapan matanya hangat dan senyumnya menenangkan.
“Kamu sudah lebih dari layak, Shanum. Kamu penyembuh dan penyemangat dalam hidupku.”
Nada suara Sagara bergetar.
“Aku kehilangan arah setelah Sonia pergi. Tapi kamu datang, mengisi rumah ini dengan cahaya baru. Aku tidak akan biarkan siapa pun memadamkannya.”
Kata-kata itu membuat dada Shanum sesak. Ia menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh.
Perlahan, Sagara memeluknya. Sentuhan itu membuat waktu seolah berhenti.
Shanum bisa merasakan degup jantung Sagara, berat dan stabil, seakan menjadi tempatnya bersandar. Entah kenapa wanita itu merasa tenang.
***
Sagara semakin terbuka menunjukkan perasaannya kepada Shanum. Tiada hari tanpa cinta dan kasih sayang untuk wanita itu. Kebahagiaan semakin terlihat dalam kehidupan rumah tangga mereka.
“Mas, ini masih hangat,” kata Shanum suatu pagi, menyodorkan secangkir kopi.
Sagara tersenyum, lalu menggenggam jemari istrinya. “Terima kasih, Sayang. Kamu tahu? Rasanya seperti minum kebahagiaan setiap kali kamu yang membuatkan.”
Shanum tertawa pelan. Tawanya bening dan jujur.
"Mama!" teriak Abyasa yang sedang makan cemilan bayi.
"Papa!" teriak Arsyla tidak kalah nyaring sambil mengangkat gelas minumnya.
Shanum dan Sagara tertawa melihat kedua anaknya aktif dan sudah pandai beberapa kosakata, walau belum bisa merangkai kalimat, jika diajak berbicara.
Namun, di sela kebahagiaan itu, bayangan dingin Mami Kartika tetap menghantui. Setiap kali mereka berkunjung, Shanum selalu bisa merasakan tatapan menilai.
Bahkan ketika ia berusaha sebaik mungkin menyajikan teh, membantu di dapur, atau menenangkan si kembar yang rewel. Mami Kartika tetap memandangnya seperti duri yang menancap di mata.
Sampai suatu hari, Shanum tak sengaja mendengar percakapan Mami Kartika dengan Papi Leon di ruang tengah.
“Wanita itu terlalu cepat menguasai hati Gara,” ucap Mami Kartika pelan, tapi tajam. “Aku takut, dia hanya memanfaatkan rasa kehilangan anak kita.”
Papi Leon hanya menghela napas. “Mungkin benar, tapi aku melihat Gara tampak bahagia, Kartika. Kita tidak bisa memaksakan luka lama terus berdarah.”
“Bahagia sesaat tidak sama dengan tenang seumur hidup,” balas Mami Kartika. “Aku hanya takut dia bukan cinta sejati Gara, tapi pelarian.”
Shanum berdiri di balik pintu dengan napas yang tercekat. Kata-kata itu seperti sembilu yang menggores pelan dadanya. Dia ingin masuk dan menjelaskan, tapi sadar bukan tempatnya untuk membela diri. Yang bisa ia lakukan hanya menahan air mata dan tersenyum saat keluar dari ruangan, seolah tak mendengar apa pun.
Malam itu, Sagara menemukan Shanum duduk di balkon, memandangi langit tanpa suara.
Udara malam terasa dingin, tapi wajah istrinya justru tampak pucat dan sendu.
“Kenapa belum tidur?” tanya Sagara, mendekat. Lalu, memeluknya dari belakang dan menciumi lehernya yang mulus.
Shanum menunduk, menggenggam kedua lututnya. “Aku hanya sedang berpikir, Mas. Apa aku pantas berada di sini, Mas?”
Pertanyaan itu seperti jarum yang menusuk hati Sagara. Ia membalikkan tubuh Shanum sehingga mereka saling berhadapan, menatap lurus ke mata istrinya.
“Jangan pernah bicara seperti itu lagi.”
Nada suara Sagara tegas, tapi lembut di telinga.
“Kamu bukan orang asing di rumah ini, Shanum. Kamu bagian dari aku. Kalau kamu pergi, separuh hidupku juga ikut hilang.”
Shanum menggeleng, air matanya jatuh. “Aku tidak ingin merebut kasih Mami dan Papi darimu.”
Sagara menyentuh dagunya, memaksa Shanum melihat kepadanya. Kedua pasang mata itu saling menatap.
“Cinta tidak bisa dibagi seperti warisan, Sayang. Mami dan Papi adalah orang tuaku. Kamu adalah istriku. Mereka bisa tidak menyukaimu, tapi aku akan tetap melindungimu.”
Lalu, Sagara memeluk Shanum dengan erat. Pelukan itu begitu hangat, seolah menutup semua luka yang selama ini menekan dada Shanum.
***
Beberapa minggu setelah itu, hubungan mereka semakin hangat. Shanum tidak lagi sedih atau gelisah, karena ada Sagara dan anak-anak yang menjadi kekuatannya.
Di setiap pagi, Sagara selalu menyempatkan diri memeluk Shanum sebelum berangkat kerja.
Kadang hanya sesederhana mencium kening dan bibirnya, tetapi cukup untuk membuat Shanum tersenyum sepanjang hari.
Lalu, di malam hari di balik temaram lampu kamar, cinta mereka semakin mekar dalam kehangatan. dan gelora asmara.
Sagara memperlakukan Shanum seolah ia ratu dalam istananya. Setiap sentuhan, setiap belaian, bukan sekadar hasrat, tetapi penegasan kasih yang tulus.
Sagara sering menatap Shanum lama setelah mereka terbaring berdampingan, mengusap rambutnya yang berserak di bantal, dan berbisik, “Aku tidak tahu bagaimana aku bisa hidup tanpamu.”
Shanum hanya tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Baginya, cinta Sagara adalah anugerah sekaligus ujian. Ia tahu kebahagiaan ini belum sepenuhnya diterima, tapi hatinya sudah terlalu dalam untuk berpaling.
Sementara itu di belahan dunia lain, Soraya melipat tangan di dadanya. Ekspresi wajahnya terlihat cemberut.
“Bagaimana mungkin tidak ada sedikit pun informasi tentang Sonia? Dia bukan orang yang suka pergi tanpa izin,” ucap seorang wanita paruh baya yang sedang berbaring di atas brankar rumah sakit.
"Mommy, Sonia itu sudah besar. Dia punya pikirannya sendiri. Mungkin dia pergi karena tidak bahagia bersama Gara,” balas Soraya dengan nada kesal.
“Hei, Sonia itu sangat mencintai Gara. Dia bahkan rela tinggal di Indonesia sendirian agar bisa dekat dengan Gara," bakal Nirmala dengan sorot mata tajam.
“Di mata Mommy, Sonia itu baik tanpa cela. Sementara aku selalu di cap anak liar," balas Soraya, lalu pergi meninggalkan ibunya seorang diri di ruang rawat inap.