Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENGALIHAN ISSUE
Arru menyadari itu.
Ia selalu menyadari detail kecil.
Rapat berakhir tanpa insiden. Arru meninggalkan ruangan lebih dulu, meninggalkan jejak dingin yang tak kasatmata. Shima menghembuskan napas perlahan, tak tahu mengapa dadanya terasa sedikit berat.
Ia tidak tahu bahwa di waktu yang hampir bersamaan, kekacauan kecil sedang disiapkan.
Di lorong belakang rumah sakit, Ethan berdiri dengan jaket kasual dan kacamata hitam jelas tidak cocok dengan suasana medis. Tangannya memegang ponsel, matanya menyipit menatap layar CCTV yang baru saja ia retas.
“Wow,” gumamnya. “Ini rumah sakit atau lokasi sinetron jam prime time?”
Di layar, Arya dan Laura terlihat di ruang istirahat dokter yang seharusnya kosong. Jarak mereka terlalu dekat. Suara mereka pelan. Tangan Arya nyaris menyentuh pinggang Laura.
Ethan mengepalkan rahang.
“Boss bilang cari bukti,” katanya lirih. “Bukan bikin aku trauma.”
Ia menghela napas, lalu senyum tipis muncul.
“Oh, kalian mau main api?”
“Baik. Kita main pemadam kebakaran.”
Tanpa ragu, Ethan menekan tombol.
Detik berikutnya
WEEE… WEEE…. WEEE…
Sirene ambulans meraung keras, memecah ketenangan lantai itu.
Arya tersentak. Wajahnya langsung berubah panik.
“Pasien!” teriaknya refleks.
Ia berlari keluar ruang istirahat, jas dokternya berkibar. Laura memaki pelan di belakangnya.
“Sialan!”
Tak punya pilihan, Laura ikut berlari, menyusul Arya ke UGD, ekspresinya kesal tapi profesional. Dalam hitungan detik, keduanya kembali menjadi “dokter teladan”.
Di kejauhan, Ethan bersandar santai di dinding, menyeringai puas.
“Olahraga siang,” gumamnya. “Bagus buat jantung. Apalagi yang berdosa.”
Ia mengirim satu pesan singkat ke Arru:
Target confirmed. They’re sloppy.
Ethan memasukkan ponselnya ke saku, lalu melangkah pergi, meninggalkan rumah sakit dengan satu kepastian
Permainan ini baru saja dimulai.
Dan Shima adalah pusat dari segalanya.
***
UGD kembali riuh.
Tandu masuk bergantian. Suara monitor jantung berpadu dengan langkah cepat para perawat. Shima berdiri di sisi pasien, tangannya cekatan, suaranya tenang meski keringat mulai membasahi pelipisnya.
Di sudut lain, Arya terlihat sibuk terlalu sibuk. Ia memberi instruksi terburu-buru, nadanya meninggi, beberapa kali salah sebut data. Laura sigap menutupinya, menyodorkan berkas, membenarkan keputusan sebelum kesalahan itu terlihat jelas.
Shima memperhatikan.
Bukan karena cemburu.
Melainkan karena… ada yang berubah.
Lalu suasana UGD seolah bergeser.
Arru Vance masuk.
Bukan sebagai pemilik rumah sakit. Bukan sebagai CEO.
Melainkan sebagai pemimpin.
Ia berdiri di tengah ruang, menilai situasi dalam diam. Tatapannya menyapu cepat pasien, alat, tenaga medis. Dalam hitungan detik, ia menunjuk satu dokter senior.
“Ambil alih trauma bed tiga.”
“Kamar operasi siapkan sekarang.”
“Dokter Senja, Anda tetap di sini.”
Perintahnya singkat. Tidak ada nada tinggi. Tidak ada kepanikan. Tapi semua bergerak.
Shima menoleh.
Ia tidak tahu kenapa dadanya terasa lebih ringan ketika mendengar suaranya. Tidak ada keraguan di sana. Tidak ada basa-basi. Arru tidak bicara banyak ia hanya memastikan semuanya berjalan benar.
Arya berdiri beberapa langkah dari Arru. Untuk pertama kalinya, Shima melihat suaminya… ragu.
Arru menatap Arya sebentar. Hanya sebentar.
Tatapan dingin yang tidak menghakimi namun membuat seseorang sadar akan posisinya.
Arya menunduk, lalu kembali bekerja tanpa sepatah kata.
Kontras itu terlalu nyata untuk diabaikan.
Di sela kekacauan yang mulai terkendali, ponsel Arru bergetar di saku jasnya.
Ia melirik layar.
Pesan dari Ethan.
Arru tidak membalas.
Ia hanya membaca lalu sudut bibirnya terangkat tipis.
Senyum yang tidak hangat.
Senyum seseorang yang tahu ia memegang semua kartu.
Ia mengunci layar, kembali fokus pada pasien, seolah pesan itu tidak pernah ada.
Sementara itu, di koridor dekat ruang arsip
Ethan sedang… melakukan kesalahan fatal.
Ia terlalu fokus membuka file di tablet sampai tidak sadar ada langkah kaki mendekat.
“Tuan…?”
Suara itu.
Ethan membeku.
Ia menoleh perlahan.
Shima berdiri dua langkah darinya, alisnya sedikit berkerut.
“Eh…” Ethan tersenyum kaku. “Dokter Senja, ya?”
Shima mengangguk. “Anda… keluarga pasien?”
Otak Ethan bekerja keras.
“Ah… ya. Jauh. Sangat jauh. Jauh sekali.”
Ia tertawa kecil, terlalu kecil, terlalu palsu.
Shima memiringkan kepala. Tatapannya tajam, khas dokter yang terbiasa membaca kebohongan pasien.
“Kenapa Anda keluar dari ruang arsip staf?”
Ethan menelan ludah.
“Tur rumah sakit?” jawabnya ragu. “Saya… suka arsitektur medis?”
Hening.
Satu detik.
Dua detik.
Shima hampir membuka mulut saat sebuah suara rendah menyela.
“Ethan.”
Arru berdiri di ujung koridor.
Wajahnya datar. Nada suaranya tenang. Tapi cukup untuk menyelamatkan satu nyawa secara sosial.
“Ruanganku. Sekarang.”
Ethan langsung tegak. “Yes, boss.”
Ia menoleh ke Shima, tersenyum canggung. “Senang bertemu, Dokter.”
Shima hanya membalas dengan anggukan bingung.
Arru melangkah mendekat. “Dokter Senja,” katanya singkat.
“Ya, Tuan Vance?”
“Terima kasih atas penanganan pasien tadi.”
Tidak ada pujian berlebihan. Tapi Shima merasakannya pengakuan yang tulus dan profesional.
“Jika ada kebutuhan apa pun di UGD,” lanjut Arru, “laporkan langsung ke direktur. Atau… ke saya.”
Shima terdiam sesaat. “Baik, Tuan.”
Arru mengangguk, lalu berbalik pergi membawa Ethan bersamanya.
Di belakang mereka, Shima berdiri mematung.
***
Malam turun pelan di mansion Vance.
Lampu-lampu kristal menyala temaram, memantulkan kilau dingin pada dinding marmer dan jendela-jendela tinggi yang menghadap kota. Di kamar tidur utama luas, rapi, nyaris tanpa sentuhan personal Arru berdiri di dekat jendela dengan segelas minuman di tangannya.
Ethan duduk santai di sofa kulit hitam, kaki disilangkan, ponselnya di satu tangan. Jaketnya tergantung di kursi, sepatu kerjanya tergeletak sembarangan di sudut ruangan. Jelas ini bukan kali pertama ia bermalam di sana. Beberapa kemeja miliknya bahkan tergantung rapi di lemari Arru.
“Kau sadar gosip ini nggak mati-mati?” gumam Ethan tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Arru tidak menjawab.
Ia menatap layar ponselnya sendiri sebuah artikel lama yang kembali naik ke permukaan.
ARRU VANCE: CEO DINGIN YANG TAK PERNAH MENIKAH. TAK BISA MOVE ON, ATAU MENYEMBUNYIKAN SESUATU?
Di bawahnya, spekulasi demi spekulasi. Tentang masa lalu. Tentang ketidaktertarikannya pada perempuan. Tentang dugaan orientasi seksualnya.
Arru menggeser layar, membaca dengan wajah datar.
“Lucu,” katanya akhirnya. Suaranya rendah. “Mereka lebih tertarik pada hidup pribadiku daripada perusahaan yang bernilai miliaran.”
Ethan mendengus kecil. “Media selalu lapar. Dan kau… jarang memberi mereka makanan.”
Arru mematikan layar ponselnya. Ia meneguk minumannya sekali lagi, lalu meletakkan gelas di meja.
“Aku sudah terlalu lama membiarkan mereka mengarang cerita,” ucapnya pelan. “Sekarang… aku perlu narasi yang baru.”
Ethan akhirnya menoleh. Tatapannya berubah lebih serius.
“Kau mau mengubur gosip itu,” katanya, bukan bertanya.
Arru mengangguk tipis.
“Dan mendapatkan sesuatu sebagai gantinya,” tambah Arru.
Hening sejenak.
Ethan tersenyum samar, seolah kepingan terakhir akhirnya jatuh ke tempatnya. “Dokter Shima Lyra Senja.”
Arru tidak menyangkal.
“Perempuan itu bersih,” lanjut Ethan. “Reputasinya nyaris sempurna. Dokter. Istri. Loyal. Publik akan memakannya mentah-mentah.”
“Bukan publik yang utama,” potong Arru. “Aku.”
Nada suaranya datar, tapi tegas.
Ethan menghela napas pendek. “Kau yakin?”
Arru menatap keluar jendela. Kota terlihat kecil dari ketinggian itu. Sama kecilnya dengan kebohongan yang sedang runtuh di kehidupan Shima tanpa ia sadari.
“Aku tidak melakukan sesuatu tanpa perhitungan,” katanya.
“Dan perempuan itu… berada di posisi yang tepat.”
Ethan mengangguk pelan. Ia sudah mengenal Arru cukup lama untuk tahu ketika Arru mengatakan tepat, artinya semua variabel sudah dihitung.
“Kalau begitu,” kata Ethan sambil berdiri, “aku akan pastikan semua berjalan rapi.”
Arru menoleh sedikit. “Tanpa menyakitinya. Tidak lebih dari yang sudah terjadi.”
Itu satu-satunya batas yang ia pasang.
Ethan menatap Arru sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kau peduli.”
Arru tidak menjawab.
Lampu kota berkelip di kejauhan, seolah menandai awal dari sebuah langkah yang tidak bisa ditarik kembali.
bikin mereka yg menyakiti melongo.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.