Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Keputusan Nadia untuk menerima Bramantyo kembali sebagai pasangan sejajar membawa kedamaian sementara di istana Dirgantara.
Malam itu, Nadia menghadiri pameran seni rupa bergengsi sebagai pemilik baru Dirgantara Group. Bramantyo sedang berada di luar kota untuk urusan bisnis, jadi Nadia datang sendiri dengan pengawalan ketat.
Saat ia sedang mengagumi sebuah lukisan abstrak berjudul "The Lost Windmill" (Kincir Angin yang Hilang), seorang pria dengan setelan kasual namun elegan berdiri di sampingnya.
"Warna birunya tidak pas. Biru yang asli di taman itu jauh lebih cerah, bukan?" suara itu terdengar berat namun sangat akrab di telinga Nadia.
Nadia menoleh dan jantungnya seolah berhenti berdetak. "Raka?"
Raka Pratama. Dia adalah cinta pertama Nadia saat SMA, sebelum kehidupan Nadia hancur dan ia terjebak menjadi simpanan Bramantyo. Raka adalah pria yang dulu berjanji akan membawanya keluar dari kemiskinan, namun menghilang tepat saat Nadia paling membutuhkannya karena beasiswa seni ke Florence, Italia.
Raka kini bukan lagi pemuda miskin dengan kanvas kusam. Ia telah menjadi pelukis kelas dunia yang sukses. Sorot matanya masih sama—penuh kasih dan kejujuran—berbeda jauh dengan sorot mata Bramantyo yang selalu penuh perhitungan dan kegelapan.
"Aku mencarimu ke mana-mana, Nadia. Saat aku kembali ke Jakarta dua tahun lalu dan mendengar kau menjadi... milik seorang Dirgantara, aku tidak percaya," bisik Raka, menatap Nadia dengan luka yang dalam. "Aku tahu kau tidak menginginkan hidup seperti ini. Kau bukan wanita yang bisa dikurung dalam sangkar emas."
Nadia merasa dinding pertahanannya yang dingin mulai retak. Bersama Raka, ia merasa menjadi "Nadia" yang dulu—gadis polos yang suka melukis, bukan Nyonya Besar yang harus mengurus konflik berdarah.
Tanpa sepengetahuan Nadia, Bramantyo mempercepat kepulangannya karena rindu. Ia langsung menyusul ke galeri seni dan melihat dari kejauhan istrinya sedang berbicara dengan seorang pria asing. Ia melihat cara Nadia menatap pria itu—sebuah tatapan lembut yang jarang ia dapatkan.
Bramantyo mendekat, langkah kakinya yang tegas memecah suasana. Ia langsung melingkarkan lengannya di pinggang Nadia, sebuah klaim kepemilikan yang sangat jelas.
"Nadia, sayang, kau tidak mengenalkanku pada teman lamamu ini?" suara Bramantyo terdengar ramah, namun matanya memancarkan ancaman yang mematikan.
Nadia menegang. "Ini Raka. Teman sekolahku dulu."
Raka tidak gentar. Ia menatap balik mata Bramantyo. "Hanya teman? Kita hampir bertunangan jika saja keadaan tidak merampasnya, bukan begitu Nadia?"
Suasana seketika menjadi sangat panas. Bramantyo mempererat genggamannya pada pinggang Nadia hingga Nadia sedikit meringis. "Keadaan tidak merampas apa pun, Raka. Keadaan hanya menyaring siapa pria yang cukup kuat untuk menjaga Nadia tetap hidup, dan siapa yang pergi meninggalkannya demi cita-cita pribadi."
Malam itu di mobil, terjadi keheningan yang mencekam. Bramantyo tidak meledak marah seperti dulu, ia jauh lebih tenang namun itu justru lebih menakutkan.
"Kau masih mencintainya?" tanya Bramantyo saat mereka sampai di rumah.
Nadia menatap keluar jendela. "Dia adalah bagian dari masa laluku yang tidak ternoda oleh darah dan uang, Bram. Sesuatu yang tidak pernah bisa kau berikan padaku."
Kalimat itu menghantam Bramantyo lebih keras daripada peluru mana pun. Ia sadar, meskipun ia memiliki raga Nadia dan hartanya, ia mungkin tidak akan pernah memiliki bagian "murni" di hati Nadia yang sudah ia hancurkan sejak awal.
Di sisi lain, Raka tidak tinggal diam. Ia kembali ke Jakarta bukan hanya untuk pameran seni. Ia memiliki sebuah rahasia besar: Ia didukung oleh pesaing bisnis Dirgantara yang ingin menjatuhkan Bramantyo melalui titik lemahnya, yaitu cintanya pada Nadia.
Raka mengirimkan pesan singkat ke ponsel pribadi Nadia: "Nadia, aku tahu rahasia tentang kematian anak pertamamu yang sebenarnya belum kau ketahui sepenuhnya. Datanglah ke studioku besok. Sendiri."
Nadia terjepit. Di satu sisi ada Bramantyo yang kini berusaha menjadi ayah dan suami yang baik, di sisi lain ada Raka yang mewakili masa lalu yang indah namun kini membawa informasi yang bisa menghancurkan hubungannya dengan Bramantyo lagi.