Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Vincent menatap Areta sejenak dengan pandangan tak terbaca.
"Aku tidak memasang rantai ataupun borgol.Tapi kamu harus istirahat total. Jangan turun dari tempat tidur."
Areta hanya diam dengan tatapannya yang kosong.
Vincent bangkit dan memerintahkan pelayan untuk membersihkan kekacauan bubur itu.
"Ingat, Areta. Kamu masih terikat padaku, Areta. Kau adalah jaminanku. Lain kali kamu menolak makan, hukumanmu akan lebih berat."
Vincent lekas mandi dan bersiap kerja. Tak lama kemudian, ia menuruni tangga dan menuju ke ruang makan.
Nyonya Helena dan Clara sudah menunggunya di meja sarapan.
"Mana pemalas itu?" tanya Nyonya Helena, Ibu Vincent, tanpa basa-basi, merujuk pada Areta.
Vincent menarik kursi dan duduk. "Dia di kamar. Aku memintanya untuk istirahat total."
Clara, adik Vincent, sedikit terkejut ketika mendengar perkataan dari kakaknya itu.
Biasanya Vincent akan membiarkan jaminannya menderita.
"Istirahat? Apa dia pura-pura sakit setelah pesta semalam? Jangan terlalu memanjakannya, Vincent. Dia hanya seorang peminta-minta," cibir Nyonya Helena.
Vincent mengabaikan ibunya dan mulai menyantap sarapannya dengan tatapan dingin. Kelembutan sekecil apa pun yang ia tunjukkan pada Areta sudah cukup menimbulkan ketegangan di meja makan.
Selesai sarapan ia memanggil Jonas untuk menjaga Areta.
Ia meminta ibu dan adiknya untuk tidak melakukan apa-apa kepada Areta.
Selesai sarapan, Vincent menghela napas pendek.
Ia memanggil Jonas, salah satu anak buah kepercayaannya dan juga sahabatnya.
"Jonas, kau bertugas menjaga Nyonya Areta hari ini," perintah Vincent dengan suara rendah dan tegas.
"Pastikan dia minum obat dan tidak bergerak dari tempat tidur. Jika terjadi apa-apa, segera hubungi aku."
"Siap, Tuan Vincent." jawab Jonas sambil menganggukkan kepalanya.
Vincent kemudian menoleh pada Ibu dan Adiknya, matanya tajam dan tidak memberikan ruang untuk negosiasi.
"Aku minta kalian berdua, jangan mendekati kamarku. Jangan melakukan apa pun pada Areta. Biarkan dia istirahat total. Aku tidak ingin ada masalah lagi saat aku kembali."
Nyonya Helena mendengus kesal, sementara Clara hanya menyunggingkan senyum remeh, tetapi mereka berdua tahu bahwa perintah Vincent harus dipatuhi jika menyangkut "miliknya".
Vincent menyelesaikan sarapannya dan bergegas meninggalkan rumah, meninggalkan Areta dalam pengawasan Jonas, dan di bawah tatapan penuh kebencian dari Ibu serta Adiknya.
Jonas naik ke lantai atas dan duduk di sofa yang ada di kamar tidur utama, menjaga Areta sesuai perintah.
Areta tampak tertidur pulas, wajahnya masih pucat namun napasnya mulai teratur. Jonas merasa lega, setidaknya tugasnya tidak akan terlalu sulit.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar bergerak pelan dan Clara muncul, mengendap-endap masuk.
Ia bergerak dengan kehati-hatian layaknya kucing, memanfaatkan postur tubuh besar Jonas yang teralih sejenak ke ponselnya.
Clara menghampiri nakas di samping ranjang dan dengan gerakan cepat dan terampil yang tersembunyi dari pandangan Jonas.
Clara mengeluarkan dua botol obat yang identik. Botol pertama berisi antibiotik yang diberikan oleh Dr. Leonard. Botol kedua adalah miliknya, berisi kapsul yang bentuknya sama persis.
Ia menukar isi kapsul di dalam botol milik Areta dengan obat yang telah disiapkannya.
Obat aslinya ia buang diam-diam ke tempat sampah kamar mandi. Senyum licik terukir di bibirnya.
Ia membungkuk ke arah Areta yang tertidur. "Aku tidak mau kamu hidup di sini, peminta-minta," bisiknya pelan, penuh kebencian.
Setelah selesai dengan aksinya, Clara keluar dari kamar kakaknya dengan langkah seringan mungkin.
Jonas bahkan tidak menyadari apa yang baru saja terjadi.
Tepat pukul dua belas siang, jam makan siang. Jonas masuk kembali ke kamar membawa nampan berisi bubur dan segelas air.
"Nyonya Areta, ini waktunya Anda makan dan minum obat. Tuan Vincent sudah memerintahkan saya," ujar Jonas dengan nada hormat namun tegas.
Areta perlahan membuka matanya dan ja masih merasa lemas, tetapi ancaman Vincent semalam membuatnya tidak berani menolak lagi.
"Saya akan membantumu," kata Jonas, bergerak mendekat.
Areta menggelengkan kepalanya lemah. "Tidak perlu, aku bisa sendiri."
Dengan sisa tenaga, Areta mencoba duduk dan mengambil mangkuk bubur.
Ia memaksa dirinya makan hanya satu sendok penuh. Rasa sakit di tubuhnya membuatnya sulit menelan.
Setelah itu ia meraih botol obat yang ada di nakas dan meminum dua kapsul sekaligus, membasuhnya dengan segelas air.
Dalam hitungan detik setelah obat masuk ke tubuhnya, mata Areta membelalak.
Tubuhnya yang lemas tiba-tiba menjadi tegang, ia merasakan panas yang menyebar dari lambungnya, disusul kejang hebat. Mangkuk bubur yang dipegangnya terlepas.
"GHHKK... A-AHHH...!"
Mulut Areta terbuka, dan busa putih mulai keluar dari sudut bibirnya.
Tubuhnya langsung mengejang hebat di atas ranjang.
Jonas yang melihat itu langsung panik. Wajahnya pucat pasi.
Ia segera menjatuhkan nampan, mengambil ponselnya, dan dengan tangan gemetar.
Ia langsung menghubungi Vincent dan layanan ambulans.
"TUAN VINCENT! GAWAT! Nyonya Areta, dia keracunan! Dia kejang! Saya sudah panggil ambulans!" teriak Jonas panik ke telepon.
Jonas berlari mendekati Areta yang kini tak sadarkan diri, kejangnya mulai mereda, namun Areta sudah tidak bergerak dan napasnya sangat dangkal.
Setengah jam kemudian, Vincent tiba di rumah sakit dengan kecepatan gila.
Ia menerobos koridor gawat darurat, matanya mencari Areta. Jonas menyambutnya dengan wajah penuh ketakutan.
"Di mana dia?" raung Vincent.
"Di dalam, Tuan Vincent! Dia sedang ditangani!" jawab Jonas, menunjuk ke sebuah ruangan yang pintunya tertutup rapat.
Vincent mencengkeram kerah baju Jonas. "Apa yang terjadi?"
Jonas menelan salivanya saat mendengar pertanyaan dari Vincent.
"Saya membantunya makan, Tuan. Lalu, dia minum obatnya, dua kapsul sesuai resep. Setelah itu, dia langsung kejang. Dia tidak sempat makan buburnya banyak-banyak. Saya tidak tahu Tuan, saya sungguh tidak tahu!"
Vincent melepaskan cengkeramannya, tatapannya menyala karena amarah.
"Obatnya? Obat Dr. Leonard?"
Belum sempat Jonas menjawab, seorang dokter keluar dari ruangan. Wajahnya serius dan tegang.
"Dokter! Bagaimana istri saya?" tanya Vincent, nadanya memaksa.
Dokter itu menghela napas panjang saat menjawab pertanyaan dari Vincent.
"Kami berhasil menstabilkan detak jantungnya, Tuan. Tapi kondisinya kritis. Kami sedang melakukan pencucian lambung darurat. Kami juga sudah memeriksa sisa zat yang ada di tubuhnya."
"Apa itu?"
Dokter itu memandang Vincent dengan ekspresi penuh pertimbangan, seolah ia menyampaikan berita paling buruk.
"Tubuh Nyonya Areta menunjukkan reaksi keracunan parah. Ada kandungan Sianida tingkat tinggi, Tuan. Untungnya, dosisnya tidak mematikan, tetapi dia harus dipantau ketat."
Kata-kata 'Sianida' menghantam Vincent seperti tinju. Wajahnya yang dingin langsung berubah gelap dan mengerikan.
Ia menoleh ke arah Jonas yang berdiri mematung di belakangnya, lalu matanya kembali menatap pintu kamar gawat darurat, di mana jaminannya kini terbaring nyaris tak bernyawa.
Seseorang telah mencoba membunuh istrinya. Seseorang telah melanggar perintahnya.
"Sianida..." gumam Vincent.
lanjut Thor💪😘