Hidup Naura yang sudah menderita itu, semakin menderita setelah Jessica anak dari Bibinya yang tidak sengaja menjebak Naura dengan seorang pria yang dikenal sebagai seorang preman karena tubuhnya yang penuh dengan tato, berbadan kekar dan juga wajah dingin dan tegas yang begitu menakutkan bagi warga, Naura dan pria itu tertangkap basah berduaan di gubuk hingga mereka pun dinikahkan secara paksa.
Bagaimana kelanjutannya? siapakah pria tersebut? apakah pria itu memang seorang preman atau ada identitas lain dari pria itu? apakah pernikahan mereka bisa bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ini Istananya Siapa?
Perjalanan di dalam mobil mewah itu terasa sunyi, hanya deru mesin halus dan gemerlap lampu kota dari kejauhan yang menemani Naura dan Aiden. Naura menoleh ke samping, menatap wajah Aiden yang kini terlihat jauh lebih serius, ketegangan yang samar kini tergantikan oleh aura kekuasaan yang tak dapat disangkal, seperti seorang komandan yang akan segera kembali ke medan perang.
"Mas," panggil Naura pelan.
Aiden menoleh, menggenggam tangan Naura yang ada di antara mereka, "Iya?" tanya Aiden.
"A-apa yang sebenarnya terjadi? Masalah apa yang harus Mas selesaikan sampai Mas harus kembali ke kota, bukan pergi sebentar tapi sampai pindah?" Naura memberanikan diri bertanya dan terlihat jelas matanya penuh kecemasan.
Aiden tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Semua akan baik-baik saja, Naura. Masalah ini sudah lama ada dan sekarang waktunya aku menyelesaikannya, aku hanya butuh kamu di sampingku. Kita harus pindah agar aku lebih mudah menyelesaikannya," ucap Aiden.
"Tapi, ini terdengar menakutkan, Mas. Aku tidak tahu apa-apa tentang kota. Aku khawatir tidak bisa beradaptasi saat di kota, aku juga dengar di kota begitu bebas berbeda dengan desa yang ketat dengan peraturan tak tertulisnya," ujar Naura.
Aiden menarik tangan Naura ke bibirnya, mengecup punggung tangannya lembut. "Aku akan menjagamu, Naura. Kamu tidak perlu melakukan apa-apa selain menjadi dirimu sendiri. Di sana mungkin akan banyak kejutan, tapi percayalah, aku akan selalu ada untukmu," ucap Aiden tang berusaha meyakinkan Naura.
Kata-kata Aiden memang menenangkan, namun nada misteriusnya justru membuat Naura semakin penasaran sekaligus takut.
Beberapa jam kemudian, mobil mewah itu melaju ke area bandara. Tapi, bukan di terminal keberangkatan umum, melainkan menuju terminal privat yang sepi dan eksklusif, Naura semakin tercengang.
"Kita... kita mau naik pesawat, Mas?" tanya Naura tak percaya.
"Iya, kota asalku cukup jauh, kita harus naik pesawat," jawab Aiden sambil membantu Naura keluar dari mobil.
Sopir yang mengantar mereka membuka bagasi, sementara seorang pria berpakaian rapi dengan tatapan tajam menghampiri mereka. Pria itu tampak sangat formal, jauh dari kesan orang desa.
Pria berjas hitam itu membungkuk sedikit, gerakannya anggun dan terarah. "Bagaimana?" tanya Aiden pada pria tersebut.
"Semua sudah siap," lapornya dengan suara datar namun penuh hormat.
Aiden mengangguk singkat. "Bagus, Ardi. Kau sudah mengatur segalanya?" tanya Aiden lagi.
"Sesuai instruksi Anda dan rute penerbangan sudah disetujui," ucap Ardi.
"Kalau begitu, kita segera berangkat," ucap Aiden.
"Silahkan," ucap Ardi.
"Ayo, Sayang," bisik Aiden, menggandeng tangan Naura erat dan menuntunnya melewati karpet merah menuju tangga pesawat.
Saat menaiki tangga, Naura merasakan jantungnya berdebar kencang karena ini adalah pertama kalinya ia melihat pesawat dari jarak sedekat ini, apalagi ini adalah pesawat pribadi, bukan maskapai komersial yang ia dengar dari cerita-cerita.
Di dalam pesawat, interiornya mewah luar bias, kursi kulit lembut, meja kayu mahoni dan pencahayaan yang hangat, seorang pramugari dengan seragam elegan menyambut mereka dengan begitu sopan.
Setelah duduk dan sabuk pengaman terpasang, pesawat pun mulai bergerak perlahan, lalu melaju kencang dan dalam beberapa menit, mereka sudah mengangkasa, pemandangan lampu-lampu kota yang menyusut di bawah mereka membuat Naura terdiam.
Akhirnya pesawat pun mendarat mulus di landasan pacu yang sepi, bukan di terminal kedatangan umum. Naura yang tertidur pulas di bahu Aiden selama beberapa jam terakhir, terbangun perlahan saat merasakan perubahan tekanan dan getaran halus dari roda yang menyentuh tanah.
"Kita sudah sampai," bisik Aiden lembut, mengecup pucuk kepala Naura.
Naura membuka mata, terkejut melihat seberkas cahaya pagi yang mulai menyelinap masuk melalui jendela pesawat. Tujuh jam penerbangan terasa seperti sekejap mata karena kelelahan dan rasa nyaman yang ia rasakan dalam pelukan Aiden.
Saat pintu pesawat terbuka, udara segar pagi hari yang dingin langsung menyambut mereka, namun Naura segera menyadari perbedaan mencolok dengan desanya. Udara ini terasa lebih berat, bercampur aroma knalpot dan kesibukan.
Di bawah tangga pesawat, Ardi sudah menunggu dam didampingi oleh dua pria berbadan tegap lainnya yang memiliki tatapan tajam dan serius. Di belakang mereka, bukan mobil biasa yang menunggu, melainkan iring-iringan mobil mewah berwarna hitam legam, sebuah limusin panjang di depan, diikuti oleh dua SUV besar, semuanya memancarkan aura keamanan dan kekuasaan.
"Ayo," ajak Aiden.
Aiden menuntun Naura menuju limusin, pria berbadan tegap itu dengan sigap membuka pintu mobil dan Naura mendongak untuk melihat interior mobil yang lebih mirip ruang tamu mini dengan sekat kaca otomatis ke arah pengemudi.
Saat mereka duduk, limusin itu bergerak mulus, diikuti oleh dua SUV pengawal di belakangnya, Naura menempelkan pandangannya ke jendela, melihat kota besar yang kini ia tinggali.
Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi seolah menusuk langit pagi, lalu lintas padat dengan deretan mobil mewah dan orang-orang yang berjalan dengan langkah cepat dan tujuan yang jelas, semuanya serba cepat dan asing.
"Mas... ini benar-benar kota," bisik Naura, merasa kecil dan tersesat di tengah hiruk pikuk kota yang begitu megah.
"Iya, aku tahu kamu perlu beradaptasi dengan suasana kota," ucap Aiden.
Mobil mewah tersebut berbelok dari jalan raya utama dan memasuki sebuah gerbang besar yang dijaga ketat oleh petugas keamanan berseragam. Gerbang itu terbuka, menampakkan jalan masuk yang dikelilingi taman yang terawat sempurna dan di ujungnya berdiri sebuah istana.
Naura terkesiap, bagi Naura itu bukan sekadar rumah. Itu adalah mansion kolosal bergaya klasik dengan pilar-pilar tinggi, marmer berkilauan dan air mancur besar di tengah halaman. Rumah ini memancarkan kemewahan yang sunyi, namun penuh dengan bobot sejarah dan kekayaan.
"Ini istananya siapa?" tanya Naura.
"Ini bukan istana, tapi ini adalah rumah kita," ucap Aiden.
Jawaban Aiden pun mengejutkan Naura, Naura menatap penuh tanya sang suami. "Juragan Adit yang kasih ini semua?" tanya Naura.
"Bukan, tapi ini pakai uangku sendiri. Aku akan jelaskan nanti," ucap Aiden.
Aiden dan Naura keluar dari limusin, Naura merasa aneh, gugup dan tidak nyaman ketika melihat banyaknya pria berbadan kekar bahkan para pelayan yang berjejer rapi di samping pintu.
"Ayo," ajak Aiden.
Saat Naura melangkah masuk, ia merasa seperti memasuki sangkar emas. Desa yang tenang dan sederhana kini terasa seperti kehidupan lampau. di depannya terbentang kemewahan, kekuasaan dan yang paling menakutkan adalah konflik tersembunyi yang baru saja dimulai.
"Selamat datang, Tuan Aiden," sapa pria muda yang umurnya tak jauh dari Fandy, dia adalah Justin salah satu asisten Aiden yang bertugas di mansion mewah milik Aiden.
'Tuan? kenapa pria itu manggil Aiden pakai panggilan Tuan? kayak Aiden bos aja, dia kan cuma anak buahnya Juragan Adit,' batin Naura.
.
.
.
Bersambung.