Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.
Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. Kehidupan Alya
“Bu? Kamu manggil bunda ‘buuu’?? Tambahin huruf ‘n’ nggak?” Suara nyaring terdengar, yang hanya terisi dengan tiga orang di sebuah ruangan. Dengan hanya dua yang terjaga.
Hampir tengah malam setelah acara makan bersama, rumah yang kembali lengkap anggotanya tersebut tidak mengenal kata sepi. Hal itu dikarenakan beberapa orang yang tidak Raisa kenal berdatangan silih berganti menjenguk, sungguh memenatkan baginya harus berinteraksi dengan mereka, apalagi dia tidak mengenal mereka.
Kenapa tidak besok saja sih bertamu? Kalimat yang selalu dia pertanyakan dalam hati saat ada orang baru yang datang.
Dari berbagai jenis orang sekarang ruang tamu rumah keluarga Ardan mulai lengang hingga menyisakan dia bersama ibu dan ayahnya yang tidur telentang di sofa, Maura dan Hutomo. Mereka berdua mengunjungi putri kesayangan dengan membawa berbagai barang. Tentu saja ini baru pertama kalinya setelah terakhir anak semata wayangnya itu dirawat inap di rumah sakit.
Badan Raisa terhempas ke samping karena dorongan Maura ketika memelotot protes, dia tertawa. Tenyata ibu Alya lebih asyik daripada ibu Ardan, bahkan lebih asyik daripada ibu asli Raisa sendiri.
Sejak tadi mereka sudah membicarakan banyak hal dari yang masuk akal hingga tidak. Misalnya: mereka akan membahas bagaimana serunya kalau manusia bisa terbang dan berteleportasi sehingga tidak perlu macet di jalanan. Membahas bagaimana jadinya kalau manusia bisa mendapatkan rasa aman tanpa harus berpakaian sama sekali. Sampai menceletuk juga harusnya lelaki berengsek yang suka menjadikan perempuan sebagai objek fantasi seksual, pabrik anak yang kerjanya di kasur, dapur, sumur bisa hamil deh biar bisa bikin-bikin sendiri!
Dan ujungnya, hanya pendapat abu-abu yang dilontarkan dengan selalu diakhiri tawa dan kalimat: ya nggak tahu lah ya, soalnya nggak masuk akal banget. Karena tahu bahwa itu ujungnya hanya ada dibayangan mereka saja dan tidak mungkin terjadi.
Tetapi ketika mendengar itu Raisa tertegun sekilas. Lalu yang dia alami ini apakah tidak merupakan salah satu hal mustahil untuk terjadi?
“Alya denger tidak, huh? Bunda ya, b-u-n-d-a. Bukan ‘bu’. Sekali lagi apa? Bunda. Pokoknya harus bunda, nggak mau yang lain. Mau dipanggil tuan putri, kanjeng ratu, atau apalah itu, nggak mau! Maunya dipanggil bunda! Kan sudah dari kecil kamu selalu patuh disuruh manggil begitu.” Tidak tahu saja Maura bahwa bukan anaknya-lah yang sedang berbicara dengannya.
Memang benar, raga Alya di hadapannya tetapi Raisa-lah yang sebenarnya sedang dia ajak bicara. Baik perilaku, pemikiran, ingatan, dan keterampilannya.
“Iya, iya, Bun! Iya, siap!” Dia terbahak-bahak. Mengingat Maura yang setiap lima menit selalu mengingatkan hal sama. Raisa memberi salam hormat, mengangkat tangannya ke pelipis dan bersikap duduk tegak.
“Iya iya terus! Sama jangan lupa besok beneran berangkat loh yaaa! Awas aja! Duit besar, nih!”
Ah, satu lagi yang Raisa tahu hari ini mengenai Alya. Profesi perempuan itu sebagai model ternyata akhir-akhir ini mengalami masalah.
Bisa dibilang sejak tiga bulan terakhir, alias sejak menikah dengan Ardan perempuan tersebut menghadiri pemotretan dan peragaan busana bisa dihitung jari. Sudah berkali-kali ternyata Alya tidak berangkat bekerja dan memilih mengikuti kemana-mana Ardan pergi. Mulai ke kantor, komunitas seni, hingga keluar hanya mengisi bensin saja perempuan itu memaksa ikut.
Fakta itu dia dapatkan disela mengobrol dengan Maura yang protes anak gadisnya sering absen sehingga dia lelah memberi penjelasan pada manajer agensi anaknya bekerja, yang kebetulan dekat dengan Maura. Tentu saja ketika anaknya susah untuk diajak bicara, orang lain yang dekat dengannya adalah solusi baik untuk menjembatani komunikasi antara keduanya.
Berniat enggan melepaskan Alya yang merupakan aset agensi juga.
Raisa yang mendengarnya saja sampai keheranan, secinta itukah sehingga harus mengikuti kemana saja Ardan pergi? Apa baiknya lelaki itu? Jangan-jangan mencintainya hanya karena bermodal tampang saja? Bahkan di era apa-apa serba uang ini perempuan tersebut mengambil keputusan untuk mengekor orang yang dia cintai tanpa mendapat balasan perasaan yang sama. Sungguh luar biasa!
Mungkin memang ada orang-orang seperti itu diluaran sana.
Tidak terasa obrolan mereka semakin larut semakin tidak keruan, mengabaikan Hutomo yang tanpa sadar sibuk mengelap lautan air liur yang menggenang berjatuhan di pipi.
Meskipun juga berkali-kali keduanya sudah menguap dan mengeluh butuh tidur. Dua orang itu benar-benar seperti tidak kehabisan topik. Apalagi meningat Raisa yang baru mengenalnya, sungguh kejadian luar biasa bisa mengobrol sebetah itu. Bahkan dengan Maura dia tidak berusaha mengorek lebih dalam tentang pemilik tubuh yang dia tempati kini. Karena tanpa begitu Maura sudah memberinya informasi dengan sendirinya.
“Ardan mau kemana?”
Mendengar Maura bicara, Raisa menoleh ke belakang. Netranya menangkap Ardan yang rapi dengan badan terbalut jaket warna kopi susu dan celana selutut. Di tangan Ardan yang masih dibebat perban tergenggam kotak yang Raisa yakin itu adalah kotak yang sama yang sebelumnya dia temukan di lemari, kamar mereka.
Raisa merasa perhatiannya ke kotak tersebut diketahui Ardan, terlihat lelaki tersebut langsung menyingkirkannya ke belakang badan.
“Ada urusan, tante,” jawab Ardan sekenanya.
“Kok tante sih? Bunda, Ardan. Bunda. B-u-n-d-a. Ini pada kenapa sih hari ini?” Maura protes, dia lantas cekikikan dan melanjutkan, “klop banget, nih, kalian berdua. Momongan bisa kali, momongan.” Dia melirik Raisa dan menyenggolnya kecil, menggoda. Yang disenggol hanya diam saja.
“Pergi dulu, tante,” pamit Ardan, menyalami Maura. Terlihat dari gerak-geriknya terusik dengan penuturan Maura.
“BUNDA ARDAN! BUNDA!”
“… iya, bunda. Saya mau pergi dulu.”
“Hati-hati, Dan.” Raisa yang berbicara. Dia melambaikan tangan, memberikan tanda perpisahan.
Tidak mendapat jawaban sama sekali dan langsung pergi dari hadapannya.
Maura sontak menyenggol Raisa. “Kamu nggak ikut dia?”
“Enggak.”
“Tumben.”
“Mending tidur, Bun, aku.”
Dan malam ini secara sadar Raisa tidak ingin mengikuti apa yang telah Alya lakukan dulu. Entah akan sejauh apa dia akan membawa tubuh Alya sesuai yang ingin dia lakukan, persetan dengan membuat orang bertanya kenapa Alya begini dan begitu. Berbeda dari biasanya.
...****************...