Shaqila Ardhani Vriskha, mahasiswi tingkat akhir yang sedang berada di ujung kewarasan.
Enam belas kali skripsinya ditolak oleh satu-satunya makhluk di kampus yang menurutnya tidak punya hati yaitu Reyhan Adiyasa, M.M.
Dosen killer berumur 34 tahun yang selalu tampil dingin, tegas, dan… menyebalkan.
Di saat Shaqila nyaris menyerah dan orang tuanya terus menekan agar ia lulus tahun ini,
pria dingin itu justru mengajukan sebuah ide gila yang tak pernah Shaqila bayangkan sebelumnya.
Kontrak pernikahan selama satu tahun.
Antara skripsi yang tak kunjung selesai, tekanan keluarga, dan ide gila yang bisa mengubah hidupnya…
Mampukah Shaqila menolak? Atau justru terjebak semakin dalam pada sosok dosen yang paling ingin ia hindari?
Semuanya akan dijawab dalam cerita ini.
Jangan lupa like, vote, komen dan bintang limanya ya guys.
Agar author semakin semangat berkarya 🤗🤗💐
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rezqhi Amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mantan gebetan
Siang hari itu, matahari sedang tinggi-tingginya, menyengat dari atas kepala. Panas memantul dari aspal, membuat udara bergelombang. Shaqila berdiri di bawah bayangan pohon besar dekat pagar rumahnya, menunggu taksi online yang baru ia pesan.
Keringat kecil muncul di pelipisnya.
"Mana sih… kok lama banget," gerutunya sambil memeriksa layar ponsel.
Beberapa menit kemudian, sebuah sedan putih melambat dan berhenti tepat di depannya. Nomor dan model mobilnya sesuai dengan di aplikasi. Tanpa pikir panjang, Shaqila membuka pintu belakang dan masuk.
Entah mengapa gadis itu merasa di dalam taksi itu suasana sangat mencekan meski AC menyala. Tidak ada musik, hanya suara mesin yang bergetar pelan, seperti menahan sesuatu.
Shaqila merapikan roknya. Rok selutut yang biasanya terasa normal dan nyaman tapi tiba-tiba hari ini terasa terlalu pendek.
Shaqila menangkap sesuatu dari spion tengah.
Mata sopir mengawasinya.
Menatapnya lama, tanpa risih.
Ia tersentak dalam hati ketika melihat pandangan sopir itu menuruni wajahnya… ke lehernya… lalu ke kaki jenjangnya yang sedikit terekspos ketika ia duduk. Tatapan itu bukan sekadar melihat...lebih seperti mengupasnya.
Shaqila merapatkan tas ke pangkuan, mencoba menutupi bagian tubuhnya yang terasa tidak aman.
Mobil melaju pelan sekali, padahal jalanan siang itu cukup lengang, tidak ada macet.
Ia sudah tidak tahan.
"P-pak… berhenti!" ucap Shaqila dengan suara bergetar.
Sopir itu meliriknya lewat spion lagi, senyum miring muncul di bibirnya.
"Kenapa berhenti, Neng? Kampus kan masih jauh."
Nada itu membuat perut Shaqila mual ketakutan.
Tangannya bergetar dan meraih ponselnya. Entah mengapa pikirannya tertuju pada Reyhan.
Dosen galak:
Pak tolongin saya. Supir taksi ini kayaknya berniat jahat. Dia gak berhenti lihat saya dari spion.
Shaqila mengirim pesan itu secepat mungkin berharap dosennya itu menolongnya.
Satu menit,
Dua menit,
Tiga,
Empat,
Lima menit,
Pesan itu tetap centang abu-abu.
Ia hampir menangis karena menurutnya hidupnya saat ini tidak aman.
Namun ponselnya seketika bergetar, dengan cepat ia membuka pesan itu.
Angkat telepon saya dan nyalakan speakernya.
Sebelum ia sempat menarik napas lega, panggilan masuk. Dengan gugup, Shaqila menekan tombol hijau dan menyalakan speaker.
"Halo."
Suara Reyhan terdengar tegas, berat, memantul di seluruh sudut mobil. "Kamu masih di taksi, kan?"
Suara itu cukup keras untuk didengar sopir.
"Ingat," lanjut Reyhan, sengaja menaikkan volume bicaranya, "hp kamu masih tersambung sama sistem saya. Saya bisa pantau posisi dan memastikan kamu aman. Dan kamu tahu sendiri kan suamimu ini abdi negara."
Sopir itu menelan ludah, terlihat dari gerakan kecil di rahangnya.
"Siapapun yang berani ganggu kamu…" suara Reyhan menurun, menjadi lebih tajam, "akan berhadapan dengan saya. Sama seperti mantanmu dulu. Kamu ingat kan bagaimana akhir yang dia dapat karena mengganggumu?"
Shaqila melihat sang sopir langsung tegang. Tangan pria itu mencengkeram setir lebih keras, lalu ia menginjak gas. Mobil melaju cepat namun dalam batas yang masih normal.
Shaqila tahu, efek kata-kata Reyhan berhasil. Menurutnya selain menjadi dosen Reyhan juga berbakat menjadi aktor.
"I-iya sayang… sebentar lagi aku sampai," ucapnya, memainkan peran itu agar sopir semakin takut. "Aku tutup ya."
Ia memutus telepon.
Napasnya bergetar. Sekarang ia sedikit merasa aman.
Sementara di Universitas Harapan,Reyhan baru masuk ke ruangannya setelah kelas siang yang melelahkan. Ia hendak memesan makanan karena perutnya mulai terasa kosong.
Tapi sebelum jari jari kekarnya menekan menu makanan, muncul notifikasi pesan dari Shaqila.
Setelah membacanya, ekspresinya langsung berubah.
Tanpa berpikir panjang, ia membalas pesan tersebut.
Lalu menekan tombol telepon dengan cepat, berharap Shaqila mengangkat dalam satu dering.
***
Akhirnya taksi yang ditumpangi Shaqila berhenti tepat di depan gerbang kampusnya, membuat gadis itu menghembuskan napas panjang yang seolah terkurung di dadanya sejak tadi. Lega, bahkan sangat lega yang kini ia rasakan.
Atmosfer mencekam di perjalanan barusan masih tersisa seperti bayangan gelap di belakangnya, tapi setidaknya ia sudah sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Perutnya langsung meronta efek dari ketakutan yang membuatnya hampir lupa cara bernapas. Gadis itu memutuskan untuk mampir ke kantin dulu. Ia berjalan menyusuri koridor kampus yang mulai dipenuhi mahasiswa lain baik dari maba, semester tengah maupun semester akhir. Hembusan angin disepanjang koridor menampar lembut wajahnya, membantu menetralkan sisa panik di tubuhnya.
Sambil melangkah, ia membuka ponselnya. Jempolnya lincah mengetik pesan untuk Siska.
'Sis, akhirnya gue udah di kampus. Lo di-'
Ketikannya terpotong karena tiba-tiba saja ia menabrak seseorang.
Tubuhnya memantul sedikit ke belakang, ponselnya hampir terlepas dari tangannya. Shaqila langsung menunduk dan hampir mengumpat.
"JALAN K-"
Ia terdiam.
Matanya membelalak.
Sosok yang ia tabrak berdiri di hadapannya dengan ekspresi kaget kecil namun cepat memudar. Tinggi, rapi, dengan aura yang dulu sempat membuat hati gadis itu jungkir balik setiap kali melihatnya di kampus.
Arga Mahendra.
Mantan Ketua BEM, kakak tingkat yang paling populer pada masanya sekaligus mantan gebetan Shaqila sejak ia masih maba.
"K–Kak Arga?" Shaqila reflek bergumam, suaranya tercekat di tenggorokan. "Eh, sorry kak! gue nggak lihat tadi soalnya lagi fokus ngabarin teman."
Panik, gugup, semuanya bercampur aduk menjadi satu sampai-sampai ujung jarinya terasa dingin.
Arga mengangkat tangan, memberi isyarat tidak apa-apa sambil tersenyum kecil. Senyum itu… membuat Shaqila ingin melayang karena sudah lama ia tidak melihat laki-laki itu tersenyum.
"Nggak masalah kok. By the way, lo mahasiswa semester akhir ya, soalnya gue agak famaliar sama wajah lo? nama lo siapa?"
Perkataan itu bagaikan tamparan keras untuknya.
Arga nggak ingat namanya sama sekali. Padahal waktu dia maba, Arga menjadi panitia saat PLKMB (Pengenalan Lingkungan Kampus Mahasiswa Baru) bahkan menjadi panitia pendamping di kelompoknya saat itu.
Tapi disisi lain dia tahu Shaqila semester akhir, dan itu cukup untuk membuat hatinya menghangat sedikit. Setidaknya Arga masih mengingat tentang dirinya walau hanya secuil.
Shaqila tersenyum miris, berusaha menutupi rasa kecewa yang menusuk. "ya, bener kak. Gue Shaqila. Hmm… kakak ke kampus ngapain ya? Setahu gue kakak udah lulus."
Arga mengangguk sambil merapikan strap tasnya. "Iya, gue kesini karena diundang jadi pemateri di acara seminar yang di adakan BEM,"
"Oh… gitu." Shaqila mengangguk cepat, sedikit terlalu cepat, karena jantungnya masih belum stabil sejak insiden tabrakan tadi.
"Kalau begitu gue duluan ya," ucap Arga sopan.
"Eh tunggu kak, ka-kalau tidak salah kakak dulu lulusan terbaik di tahun kemarin kan. Kalau boleh minta tolong, lo bisa nggak ngebantu gue kerjain skripsi. Kepala gue mumet banget enam belas kali di tolak," ucap Shaqila dengan sedikit gugup bercampur malu.
Sebenarnya itu hanya alibi Shaqila saja biar bisa dekat dengan Arga. Dan perkataan yang barusan muncul itu refleks keluar tanpa dirancang sedikitpun.
Mata Arga membelalak mendengar itu. "Jangan bilang dospem Lo pak Reyhan?" tanya Arga.
"Kok bisa tahu sih, apa sedari dulu ia memang begitu ya? rasanya gue mau bunuh diri disuruh revisi sebanyak itu. Enggan berperikemanusiaan banget, dengan entengnya tu mulutnya bilang iling, nggik liyik," ucapnya seraya bibirnya maju membentuk cibiran halus, tidak terlalu jelas, tapi cukup menunjukkan kekesalannya.
Arga tertawa ringan melihat hal itu. "Okey, nih nomor gue," ucapnya seraya memperlihatkan ponselnya pada Shaqila.
Dengan mata yang berbinar dan semangat empat puluh lima, gadis itu menyalin nomor tersebut.
Gadis itu tidak sadar, sosok yang dicibirnya tadi memperhatikannya dari jauh dengan mata yang tajam.
Hai hai hai guys,
Kembali lagi bersama Author,
Jangan lupa untuk like, komen, suscribe, vote,dan bintang limanya ya guys😉😉😉🍓
Biar author semakin semangat berkarya 😅😅
See you next part 😉😉
tapi bener juga sih instruksi dan kata-kata tajamnya itu.. skripsi itu mengerti apa yang dikerjakan😌