NovelToon NovelToon
Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Berondong
Popularitas:758
Nilai: 5
Nama Author: Bechahime

Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Filsafat dan Kejedot Nasib (Bagian 1)

Dua minggu berlalu sejak kejadian di perempatan maut itu. Dua minggu sejak aku dituduh cabul oleh pria tinggi, dingin, dan sayangnya—tampan secara ilegal. Tapi tenang. Aku sudah move on. Sudah menata hati. Sudah memaafkan dunia.

Aku menikmati kerjaan kantorku yang masih di warnai dengan tawaran perjodohan yang tidak ada hentinya.

“Meisya~” sapa Mas tegar di depan mejaku.

Tuh kan, mulai lagi.

“Udah di pikirkan soal tawaran gue?”

“Gue selalu mengingatnya setiap malam, Mas”

“Bagus, jadi cowok kayak gimana yang menarik hati lo?”

Aku sudah siap dengan jawaban diplomatis, “Yang penting karakternya baik. Bisa ngobrol nyambung. Saling dukung. Sopan. Jujur.”

Tapi yang keluar malah, “Aku sih sukanya cowok yang gak ngetik ‘wkwk’ pas ngobrol serius.”

Mas tegar bengong. Ana yang duduk gak jauh dari mejaku juga menatap bengong. Lalu dia mulai bangkit dan mendekat ke mejaku. Mulai berspekulasi bahkan Mbak Sarah bagian HR juga ikutan nimbrung.

“Berarti lo suka cowok pendiam?” ujar Mas Tegar.

“Ngak juga.”

“Yang lucu?” tambah Ana.

“Boleh.”

“Yang tinggi?”

“Optional.”

“Yang…tampan?” kali ini Mbak Sarah yang bicara.

Aku menunduk sok misterius, lalu berbisik, “Itu hak semua wanita untuk berharap, Mbak.”

Ironisnya, aku sebenernya gak benci ide kencan buta. Justru aku suka…karena serunya berakting. Aku bisa jadi siapa aja. Meisya versi pinter, versi lembut, versi suka hiking padahal naik tangga aja ngos-ngosan. Aku bisa pura-pura kalem, sambil di dalam hati teriak,

‘TOLONG AKU BUTUH NASI GORENG DAN KEBEBASAN!’

Tapi ya karena aku pada dasarnya introvert, bertemu orang asing cukup menguras tenagaku. Jadi intinya aku se-enggak jelas itu.

“Oke, gue udah jelas garis besarnya, stay tune update dari gue, ya.”

Setelah kalimat singkat itu, Mas tegar pergi. Mbak Sarah ngikut di belakang, sedangkan Ana mengepalkan tangannya untuk memberiku semangat.

Mereka gak tau aja, di tengah-tengah kesibukan perencanaan jodoh versi mereka, harga diriku sudah jatuh karena cowok ganteng yang aku temui. Bukan di kantor, bukan di arisan dan jelas bukan di Tinder. Tapi di penyebrangan dekat perempatan jalan.

Aku menghela nafas. Teringat lagi dengan ucapan tante Wira ke mamaku.

“Meisya ini butuh cowok dominan yang bisa menaklukkan.”

“Dia tuh butuh yang sabar, ngerti dunia dia,” timpal mamaku.

Padahal aku cuma butuh rebahan sambil scrolling tik tok, nonton drama yang alurnya udak ketebak dan minum boba tanpa mikir diabetes dan tanpa ada yang nanya, “Kapan nikah?”

Sebelum pulang, Mas Tegar sempat-sempatnya bilang kalau dia sudah mengatur pria yang tepat untukku dan dalam perjalanan untuk memenangkan tender perjodohan.

Aku hanya berdoa semoga dia kalah tender, tapi di depannya masih dengan ceria mengatakan kalau aku sangat menantikannya. Untungnya hari ini adalah jum’at jadi besok aku bisa me-time di coffee shop Mas Johan sambil pencitraan untuk Story instagram.

Aku memutuskan pergi ke toko buku demi kepentingan pencitraan publik.

Iya. Pencitraan. Karena jujur saja, aku butuh konten baru. Feed-ku sudah terlalu penuh dengan selfie absurd, makanan dan satu postingan bijak hasil repost akun motivasi yang caption-nya aku tulis ulang biar keliatan pinter.

Jadi kubilang ke diri sendiri, “Meisya, hari ini kita cari buku filsafat. Biar keliatan intelektual. Walau gak dibaca, minimal estetik.”

Singkat cerita, aku masuk ke toko buku kekinian yang pencahayaannya syahdu dan rak-raknya terbuat dari kayu reclaimed yang entah kenapa bikin jadi keliatan sepuluh kali lebih mahal. Aku menyusuri lorong-lorong dengan serius. Mataku menelisik rak bertuliskan Filsafat, Budaya, Sosial seperti mahasiswa semester akhir yang sedang mencari jawaban hidup, padahal…ya, cuma cari background buat foto flat lay.

Dan tiba-tiba….

BLOK!

Sebuah buku jatuh dari rak atas. Aku refleks jongkok. Tangan terulur, jari hampir menyentuh sampulnya—.

DUG!!

“AWW!!”

Dahi dan kepala bagian atas kejedot sesuatu yang keras. Keras dan…hangat?

Aku mendongak.

Dan semesta kayaknya lagi iseng banget.

Itu dia.

PRIA ITU.

Pria yang dua minggu lalu memanggilku “CABUL” dengan wajah dingin dan suara rendah seperti efek Dolby Atmos.

Kami sama-sama membeku. Tatapannya tetap tajam. Tapi jelas ada keterkejutan kecil di balik mata kelamnya. Mungkin karena aku masih hidup. Mungkin juga karena dia gak nyangka ketemu “si cabul” di lorong filsafat.

Dan tiba-tiba, ujung bibirnya naik. Senyum miring muncul. Senyum mengejek. Dan lalu… kalimat itu meluncur dengan indahnya.

“Lo konsisten, ya, dengan kecabulan lo.”

DUNIA. STOP.

Aku ternganga. Hidungku kembang kempis. Otakku nge-lag.

“A-ap---ha?”

Dia mengangguk pelan ke arah buku di tanganku. Pelan-pelan aku menunduk dan membaca judulnya,

“The Art of Pleasure”

Dengan font yang melengkung sensual, seolah buku itu bukan tentang filsafat eksistensial, tapi panduan jadi bintang film dewasa yang merenung.

Aku membeku. Antara ingin menjelaskan dan ingin mengubur diriku di balik rak “Spiritual & Agama”.

“Astaga, bukan! Maksud gue bukan pleasure itu! Gue kira ini buku—ini kan bagian filsafat! Ini pasti… ini pasti seni dalam arti yang mendalam, bukan…”

Aku gagap. Bahkan Rahma pun gak bisa nolong aku sekarang.

“G-gue…ini bukan… ini… bukan yang lo pikir. Ini pasti ada makna mendalam! Ple… pleasure-nya itu bukan yang… lo kira… ini pasti bukan pleasure cabul! Ini pleasure eksistensial! Spiritual! Filosofikal!”

Si pria itu masih diam. Tatapannya skeptis. Seolah berpikir aku adalah masalah yang di kirim semesta untuk menguji kesabarannya.

Lalu—dan ini yang bikin aku pengen mewek sambil salto—dia menyentuh buku di rak sebelah, membuka halaman, lalu berkata,

“Buku tentang makna hidup di atas. Buku ‘pleasure’ itu biasanya di rak Seksualitas & Hubungan, sebelah kiri, dekat toilet.”

DEMI APA?!

AKU BERDIRI DI ZONA YANG SALAH.

Rak “FILSAFAT” yang tadi itu… ternyata lagi di bongkar dan labelnya di pindah.

AKU BERDIRI DI ZONA “CINTA, KEINTIMAN & GAYA HIDUP NAKAL.”

ASTAGA PETAKA INI ASALNYA DARI KESALAHAN LABEL RAK!”

si cowok hoodie misterius itu, cuma menatapku lama. Keningnya sedikit berkerut, seolah heran melihat aku yang strunggle kayak ikan cupang kehabisan oksigen. Dan…dia memutuskan untuk pergi.

Gitu aja.

Dia membalikkan badan dan melangkah pelan, seolah adegan tadi bukan hal aneh. Seolah menuduh orang cabul dua kali itu hal biasa.

Aku masih berdiri dengan satu tangan memegang The Art of Pleasure dan satu kaki di ambang kehancuran martabat. Dan tentu saja…dia menghilang di balik rak Biografi Tokoh Dunia.

Aku akhirnya berhasil merangkai pembelaan logis yang elegan dan terhormat…. tapi sepuluh menit kemudian. Sayangnya, cowok cakep itu sudah raib. Tinggal kenangan. Dan rasa malu.

Setelah itu aku tidak tau apa yang terjadi, yang jelas aku sudah berada di rumah Rahma dengan muka merah padam dan harga diri yang telah terpuruk.

“Kayanya lo sama dia benar-benar Jodoh deh, coba lo pikir lagi gimana ceritanya semesta mempertemukan lo kembali dengan situasi-- HAHAHA”

Dan seperti biasa… Rahma ketawa. Bahkan ketawanya sampai ngik-ngik.

“Lo kok malah ngetawain nasib sial gue sih?”

“Meisya, hidup lo sekarang udah sesuai dengan sikap lo yang—HAHAHA. Absurd dan kocak—HAHAHA.”

“Apa maksud lo kocak? Ini masalah harga diri gue yang dipertaruhkan, belum lagi wajahnya ganteng, lo bayangin aja gue di salah pahami sebagai cabul dua kali?”

“Atau dia memang calon jodoh lo yang di kirim semesta jalur plot twist?”

“Rahma… gue lagi serius nih, berhenti berhipotesis, dengar suaranya bilang ‘lo konsisten, ya, dengan kecabulan lo’, itu aja udah bikin gue berasa berlari-lari di kutup utara dengan beruang kutup sambil dengar ost drama Goblin.”

“Trus lo mau apa? Nyari dia? Selain dia yang bilang lo cabul—Hahaha. Memang ada lagi yang lo tau tentang dia?”

Aku menggeleng. Narik nafas. Menyeruput boba yang baru datang di antar Mas-Mas ojek online.

Sruuutttttt-huek!!

Air mataku keluar. Bukan karena meratapi nasib tapi boba yang nyangkut di tenggorokan.

Setelah melakukan rutinitas mengeluh harian. Aku pamit pulang dengan pikiran optimis kalau aku tidak bertemu lagi si pria hoodie misterius itu.

1
nide baobei
berondong gak tuh🤣
kania zaqila
semangat thor💪😊
nide baobei
ya ampun meisya🤣🤣🤣
nide baobei
ngakak🤣🤣, semangat thor💪
nide baobei
🤣🤣🤭
nide baobei
udah pede duluan🤣🤣
nide baobei
🤣🤣🤣 si meisya lucu banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!