"Meski kau adalah satu-satunya lelaki di dunia ini, aku tetap tidak akan mau denganmu!" Britney menolak tegas cowok yang menyatakan cinta padanya.
Tapi bagaimana kalau di hari Britney mengatakan itu, terjadi invasi virus zombie? Seketika satu per satu manusia berubah menjadi zombie. Keadaan Zayden High School jadi kacau balau. Pertumpahan darah terjadi dimana-mana.
Untungnya Britney mampu bertahan hidup dengan bersembunyi. Setelah keadaan aman, dia mulai mencari teman. Dari semua orang, satu-satunya orang yang berhasil ditemukan Britney hanyalah Clay. Lelaki yang sudah dirinya tolak cintanya.
Bagaimana perjalanan survival Britney dan Clay di hari kiamat? Apakah ada orang lain yang masih hidup selain mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter ⁶ - shower
Mata Britney membulat sempurna. Napasnya tercekat ketika melihat makhluk itu berjalan terseok-seok ke arahnya. Langkah kaki zombie terdengar menyeret lantai, meninggalkan bekas darah kering yang menjijikkan. Aroma busuk menusuk hidung, membuat perut Britney terasa mual. Ia ingin lari, tapi tubuhnya seperti terkunci di tempat.
“Gunakan pisaumu!” suara Clay menggema dari balik meja tempatnya bersembunyi. Nada suaranya tegas, tapi tetap terdengar percaya bahwa Britney bisa melakukannya.
Dengan tangan bergetar, Britney merogoh sakunya dan mengeluarkan pisau kecil itu. Sarung pisau ia lepas dengan cepat. Bilahnya memantulkan cahaya redup dari kaca jendela yang pecah separuh. Gadis itu mengangkat pisaunya, menodongkannya ke arah zombie yang kini jaraknya sudah kurang dari tiga meter.
Namun langkah Britney terus mundur. Ia bahkan tidak menyadari kakinya hampir tersandung pecahan kursi. Wajahnya pucat, matanya bergetar hebat. Setiap kali zombie itu mengerang, nyalinya menciut.
“Cepat, Britney! Jangan mundur terus!” Clay kembali berseru. Tapi gadis itu tidak menjawab.
Zombie itu makin dekat, mulutnya terbuka lebar, meneteskan lendir bercampur darah hitam. Britney akhirnya berhenti. Tubuhnya membentur tepi meja panjang di belakangnya. Ia tersudut. Tidak ada jalan lagi untuk kabur.
Ketika zombie itu sudah mengangkat tangannya, berusaha meraih rambut Britney, gadis itu menutup mata rapat-rapat dan mengayunkan pisau sekuat tenaga. Ia tidak tahu kemana arah serangannya. Ia hanya berharap satu hal, bahwa ayunan itu mengenai sesuatu yang penting.
Seketika terdengar bunyi basah. Clek! Diiringi percikan darah yang langsung menghantam wajah Britney. Gadis itu terkejut, tapi tak berani membuka mata. Darah hangat mengalir di pipinya.
Pelan-pelan, ia berani mengintip. Dan yang dilihatnya membuat tubuhnya gemetar hebat. Zombie itu terhuyung, kemudian jatuh tersungkur ke lantai. Pisau miliknya masih tertancap di salah satu matanya.
“Aku… aku berhasil!” seru Britney dengan mata berbinar. Suaranya bergetar antara lega dan tidak percaya. Untuk pertama kalinya, dia berhasil melindungi dirinya sendiri. Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
Zombie yang dikiranya sudah mati tiba-tiba bergerak lagi. Tubuhnya kejang, tangan kirinya menggapai udara. Perlahan, makhluk itu bangkit dengan gerakan kasar dan tersentak. Britney membeku di tempat. Napasnya tercekat. “Tidak… tidak, tidak, tidak--”
Dalam kepanikan, dia berteriak keras dan tanpa sadar melepaskan pisaunya yang masih menancap di mata zombie itu. Senjata satu-satunya kini jatuh bersama darah yang menetes dari ujung bilah.
“Clay!” jerit Britney, ketakutan.
Melihat situasi itu, Clay tak menunggu sedetik pun. Ia berlari secepat kilat keluar dari tempat persembunyiannya, menghunus pedang panjang yang tersampir di punggung. Dalam satu gerakan tegas, ia menebas kepala zombie itu.
Bruk!
Kepala zombie itu terpisah, menggelinding di lantai. Tubuhnya jatuh tanpa daya. Bau darah menyengat memenuhi ruangan.
Britney terjatuh ke lantai, napasnya tersengal. Jantungnya masih berdetak cepat, seolah hendak meledak keluar dari dada. “Hampir saja… aku hampir mati tadi…” gumamnya di antara napas pendek.
Clay menatapnya tajam. “Kau pikir zombie itu manusia?” nadanya terdengar keras dan tegas. “Kenapa kau menunggunya mendekat dulu baru menyerang? Kau hampir mati karena kelambatanmu sendiri!”
Britney menoleh pelan, wajahnya masih pucat. “Bagaimana aku tahu? Kau tidak bilang kalau mereka bisa bangkit lagi! Lagi pula…” ia menatap Clay dengan nada getir, “harusnya kau menenangkanku, bukannya memarahiku.”
Clay tidak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam dan membuang pandangannya. Mungkin, dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa ucapannya terlalu keras. Tapi ia juga tidak ingin Britney terlena oleh rasa takut.
Tanpa berkata lagi, Clay berjalan ke arah rak-rak makanan di sudut kantin yang masih utuh. Ia membuka satu demi satu lemari kaca, mengambil makanan kaleng yang belum rusak. Tangannya bergerak cepat dan terlatih.
Sementara itu, Britney perlahan bangkit dari lantai. Tubuhnya masih gemetar, tapi ia mencoba tegar. Ia berjalan menuju toilet perempuan, mungkin untuk membersihkan wajahnya yang berlumuran darah.
Clay masih sibuk memeriksa stok makanan. Ia membuka satu kaleng, mengendus aromanya, memastikan tidak basi. Setelah yakin aman, ia membuka dua kaleng lagi dan mulai makan dengan tenang. Namun sesekali matanya menoleh ke arah toilet. Britney belum juga keluar.
Clay menelan makanannya perlahan. “Apa aku tadi keterlaluan?” gumamnya lirih. Ia memandangi kaleng di tangannya, kehilangan selera. Ia tahu kata-katanya tajam, tapi semua itu hanya karena ia khawatir.
Beberapa menit berlalu. Clay mulai gelisah. Ia menoleh lagi ke arah toilet, tapi tetap sunyi. “Apa dia baik-baik saja di sana?” katanya pelan. Kekhawatiran mulai merayap di pikirannya.
Tanpa pikir panjang, ia berdiri dan melangkah menuju toilet. Langkahnya hati-hati, matanya awas ke segala arah. Mungkin saja ada zombie yang masuk dari ventilasi atau pintu belakang.
Namun begitu ia mendorong pintu toilet, pandangannya langsung membeku.
Air dari shower kecil mengalir deras. Uap hangat memenuhi ruangan. Dan di sana, di balik tirai kaca buram yang sedikit terbuka, Clay melihat sosok Britney, berdiri di bawah pancuran air, tubuhnya telanjang tanpa sehelai benang pun.
“HEI! BERANINYA KAU!” jerit Britney begitu sadar keberadaannya diketahui. Ia sontak bersembunyi di balik dinding, wajahnya merah padam antara marah dan malu.
Clay langsung kaget bukan main. “Maaf! Aku tidak tahu kalau kau… mandi!” serunya gugup.
“PERGI!” teriak Britney dengan nada tinggi, suaranya menggema di seluruh toilet.
Clay spontan mundur, nyaris tersandung, lalu berlari keluar secepat mungkin. Wajahnya merah seperti kepiting rebus. Ia kembali ke kantin dan menjatuhkan diri di kursi, berusaha menenangkan diri.
“T-tidak… Clay, ini bukan saatnya berpikiran mesum!” katanya pada diri sendiri sambil menepuk pipinya. “Sekarang kau berada di ambang hari kiamat… bukan di film romantis!”
Namun bayangan tadi tak mau hilang. Setiap kali ia menutup mata, bayangan Britney di bawah pancuran air kembali muncul jelas di pikirannya. Clay menggeleng keras. “Hapus, hapus, hapus!”
Beberapa menit kemudian, suara langkah terdengar dari arah toilet. Britney keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia mengenakan pakaian bersih, kemeja putih dan jaket biru yang membuat wajahnya tampak segar. Tapi ekspresinya jelas cemberut.
Clay buru-buru berdiri. “Maaf sekali lagi. Tadi itu tidak sengaja,” katanya cepat. “Aku pikir kau kenapa-napa, karena kau tidak kunjung keluar dari toilet.”
Britney mendengus kesal. “Ternyata kau sama saja seperti cowok lain,” ujarnya dingin. “Bilang saja kau cari kesempatan, kan? Sepertinya aku tak perlu minta maaf atas penolakanku kemarin. Aku memang tidak akan menyukai lelaki sepertimu, meski kau satu-satunya yang tersisa di dunia ini.”
Setiap kata yang keluar dari mulut Britney seperti anak panah yang menancap di dada Clay. Ia menatap gadis itu, menahan emosi. Rahangnya mengeras. “Kau akan tetap bicara kasar begitu,” katanya akhirnya, “walau aku sudah menyelamatkan hidupmu berulang kali?”
Suasana seketika hening. Hanya suara angin dari jendela pecah yang terdengar.
Britney menatap Clay lama, tapi tidak membalas. Dalam hatinya, sebenarnya ia tahu Clay tidak bermaksud buruk. Tapi rasa malu dan gengsi membuatnya tak bisa mengakui hal itu.
Clay pun memilih bungkam. Ia duduk kembali, menatap kosong ke arah luar jendela. Langit mulai memerah, tanda sore segera datang. Dunia di luar sana masih dikuasai kekacauan, tapi di antara dua manusia yang tersisa itu, kekacauan justru ada di dalam hati masing-masing.
SELAMAT DATANG peradaban baru.
Itulah kalimat yang layak diucapkan saat ini.
Manusia ditakdirkan menjadi khalifah, pembawa perubahan dan pembentuk peradaban di muka bumi.
Mengubahnya dan memicu lahirnya peradaban baru bagi umat manusia.
Virus zombie yang mewabah di hampir semua daerah ini telah mengubah hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat bahkan sangat tidak siap dengan kehadiran wabah yang mematikan ini.
Manusia hadir untuk bertindak melakukan perubahan dan membangun peradaban yang diamanatkan oleh Allah SWT.
Dimana semua orang bisa hidup damai, membuat sebuah daerah mampu bangkit dan berkontribusi dalam peta peradaban...🤩🥰